Apa itu Salim Said Corner?
Salim Said, profesor dengan jam terbang tinggi itu bertahun-tahun berfikir mengenai nasib buku-bukunya kelak ketika Allah menjemputnya kembali ke haribaanNya. Tentu saja pikiran itu tidaklah sederhana. Pikiran itu tentu menembus zaman dimana orang tak lagi merasa penting untuk membaca, berdiskusi memahami realitas masa lalu, kini, dan mendatang. Juga pentingnya menulis buku, opini publik, atau bahkan catatan harian macam Ahmad Wahib yang sangat digandrungi anak-anak HMI untuk berlatih berfikir independen.
Kerisauan Prof. Salim, begitu kami memanggil sang Guru Besar bidang Ilmu Politik yang melihat politik dari perspektif sosial dan sejarah ini sejatinya adalah bentuk kerisauan Orang-Orang Beradab (OOB). Membaca, menulis, dan berdiskusi itu sendiri adalah ciri masyarakat yang beradab. Salim Said adalah guru kami, mentor, dan motivator kami di Institut Peradaban dalam membaca realitas sosial politik dan budaya masyarakat Indonesia yang sedang berjalan. Memahami setiap kasus yang muncul dan menterjemahkan dalam sikap-sikap keseharian sesuai dengan latar belakang masing-masing.
Bagi Salim Said mengerti persoalan adalah etape yang sangat penting dalam menyikapi setiap kejadian politik di tanah air ini. Kegagalan dalam memahaminya akan berakibat fatal. Saya pribadi sudah 7 tahun ( Sejak 2014) atas jasa Pak Sukojo Sekretaris Utama beliau, diajak menjadi santri beliau di Institut Peradaban yang beliau pimpin. "Ong, kamu lebih baik ikutan majelis yang khusus, hari Rabuan disitu banyak orang-orang hebat berdiskusi, saya yakin kamu bisa mengikutinya," bujuk Pak Sukojo dengan tulus. Saya pun langsung mengiyakannya. Pak Kojo orang yang ramah, baik hati dan selalu setia dengan Prof. Salim.
Salim Said Corner?
Apa itu Salim Said Corner? Menurut Salim Said, di Indonesia banyak orang yang tidak paham apa itu Corner dari seorang tokoh. Apa tujuan dan manfaatnya bagi peradaban ilmu pengetahuan secara luas. Apa pentingnya meletakkan kaum intelektual dan kaum artistik sebagai garda terdepan dalam mendinamisir kemajuan suatu negara. Bagi seorang intelektual cendekia, Corner merupakan pojok koleksi buku-buku yang ia baca dan ia tulis selama perjalanan hidupnya. Koleksi buku-buku dan manuskrip-manuskrip penting itu dikumpulkan pemiliknya selama puluhan tahun tentunya. Mereka biasanya memburu buku-buku itu dengan uang yang tidak sedikit. Tidak hanya di dalam negeri, namun juga dari berbagai negara. Salim Said sendiri mengaku mengumpulkan buku-bukunya hingga mencapai 10.000 (sepuluh ribu) judul. Semua tercatat secara terindex rapi dalam sistem komputerisasi yang modern. Hal itu semua untuk mempermudah pencarian buku yang dibutuhkan.
Koleksi buku Salim Said tersebar dalam tiga lantai rumahnya. Ada ruangan khusus membaca dan menulis aneka bidang ilmu yang beliau tekuni. Sebagai seorang jurnalis senior, pendiri majalah Tempo bersama Gunawan Muhammad, Salim memiliki kesempatan yang luas untuk menjelajah beberapa negara penting di dunia mulai jazirah Arabia, Eropa, hingga Amerika. Di Amerika, Salim Said sempat bermukim disana selama kurang lebih 10 tahun lamanya menimba ilmu pengetahuan. Beliau selama belajar di Amerika; disamping belajar Ilmu Politik, namun juga mengambil studi tambahan mengenai Politik Rusia. The Kremlin Theory kerap menyembul juga dalam diskusi-diskusi kami di Institut Peradaban.
Salim Said adalah sosok intelektual multi-talenta. Khazanah ilmunya memiliki horizon dan spektrum yang luas. Mulai seni dan theater, sejarah, psikologi, politik, militer, pertahanan suatu negara, hingga pemikiran Islam.
Salim Said memiliki pengetahuan yang komplit. Meskipun demikian beliau tidak segan-segan bertanya perihal dinamika politik mutakhir pada murid-muridnya, terutama Muhammad Ichsan Loulembah, Agus Abubakar, Umar Husin, Zaki Mubarok, Alfan Alfian, Ali Munhanif, maupun narasumber diskusi yang beliau undang untuk membahas topik tertentu.
Semua pertanyaan itu sebagai upaya beliau untuk mengupdate informasi kekinian agar ilmu yang dimilikinya memiliki relevansinya dengan problem-problem yang sedang aktual.
Apa guna Corner?
Sejak menjadi mahasiswa saya sudah menjadi reporter Koran Kampus. Saya belajar banyak dari senior Muhadjir Effendi dalam menulis. Waktu itu Koran "Komunikasi" yang dipimpin Menko Kesra Muhadjir Effendi itu menjadi tempat saya berlatih menulis dan menginterview banyak profesor di Malang dan sekitarnya. Setiap interview kadang saya diajak masuk di perpustakaan pribadi mereka. Berlimpah buku para profesor itu. Padahal usia mereka sudah semakin menua. Sementara anak-anak mereka tidak memiliki minat baca yang sama tingginya dengan bapaknya yang profesor itu. Disitu saya berfikir; mengapa negara tidak berfikir untuk menyelamatkan koleksi mewah para profesor itu dalam perpustakaan besar di kampus-kampus itu. Disitu dikumpulkan koleksi mereka secara utuh. Untuk apa? Agar mahasiswa dan seluruh civitas akademika dan para peneliti lain dapat memahami pemikiran seorang tokoh intelektual dan karya karya mereka serta buku apa saja yang mereka baca. Apa yang ada dibenak para profesor itu secara utuh. Apa mimpi-mimpi strategisnya tentang bangsanya di masa depan. Corner akan mempermudah pembaca dalam memahami jiwa, ideologi, fokus perhatian sang tokoh, melalui literasi yang mereka kumpulkan selama puluhan tahun itu.
Trend hibah buku untuk perpustakaan kampus dalam bentuk Corner itu menurut Salim Said sudah biasa dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa. Salim Said ingin agar buku-buku para profesor itu dihibahkan saja pada perpustakaan kampus agar lebih bermanfaat bagi pembangunan dan kemajuan pendidikan yang lebih berkualitas. Sekarang beliau sudah memberi contoh yang sangat baik dengan memberikan buku-bukunya ke Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta secara bertahap. Beliau berharap buku-buku itu secara bertahap bisa dikonsumsi masyarakat kampus swasta tertua itu dan terawat dengan baik. InshaAllah akan jauh lebih bermanfaat daripada memenuhi rumah-rumah mereka. "Sebagian yang masih saya pakai biar disini dulu Ong, saya masih mau menulis buku soal Peradaban Islam, nanti anda datanglah untuk memotret penyerahan buku-buku saya itu ke UII, " ujar Prof. Salim tadi pagi 27 Januari 2021 via seluler.
Dari UMM, Perpusnas, Lalu UII
Suatu saat saya terkejut membaca postingan Profesor Dr. Didik J Rachbini, ekonom Indef asal Pamekasan Madura perihal nasib buku-buku Pak Salim Said itu. Kabarnya akan dihibahkan ke Kampus di Yogyakarta yaitu Universitas Islam Indonesia (UII). Suatu waktu saya bersama Zaki Mubarak seorang dosen UIN Jakarta diajak naik ke lantai 3 rumah beliau untuk melihat koleksi buku-bukunya yang tersebar rapi dari lantai 1 hingga 3. Sepengetahuan saya, buku-buku tersebut pertama kali akan dihibahkan beliau kepada Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang dirintis pendiriannya oleh Prof. Malik Fadjar, mantan Menteri Agama, Menteri Pendidikan, Menko Kesra dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Seiring perjalanan waktu, rencana hibah buku-buku tersebut rupanya tidak jadi. Tidak jelas benar apa penyebabnya. Mungkin saja ruangan perpustakan UMM tidak mampu menampung 10 ribu koleksi mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta itu. Atau juga karena alasan lain. Tidak jadi ke UMM, Pak Salim berfikir keras kemana lagi tempat yang bisa menampung koleksi bukunya tentang film, theater, sosiologi, psikologi, politik, kebudayaan, Islam, hingga jurnalistik itu hendak dihibahkan.
Di sela-sela kesibukannya datanglah ide agar buku-buku tersebut dikirim saja ke perpustakaan nasional. Lalu setelah bikin janji dengan kepala Perpustakaan Nasional berkunjunglah Prof. Salim disampingi Sekretaris Utama Pak Sukojo, Muhammad Ichsan Loulembah, Zukfikar, Zaki Mubarok dan Fathorrahman Fadli ke perpustakaan nasional. Tekad menghibahkan buku-buku tersebut sudah bulat, tinggal prosesi pemindahan secara bertahap. Hari-hari pun berjalan tak terasa. Usia Prof. Salim pun kian bertambah.
Cerita soal hibah buku ke Perpustakaan Nasional pun kembali tak terdengar lagi. Samar-samar saya dengar perpustakaan nasional kurang memahami makna corner itu apa dan apa manfaatnya bagi kemajuan bangsa. Atau mungkin karena kesulitan dalam mengelola buku-buku yang banyak itu karena faktor ruang yg tersedia atau masalah teknis tata kelola lainnya. Hingga datang berita akan dihibahkan pada Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta sana. Semoga UII mampu merawat harta karun itu dengan baik dan bermanfaat bagi usaha menceesaskan anak- anak bangsa.
Di tengah-tengah kesibukannya membaca, menulis, memberi kuliah di kampusnya Universitas Pertahanan (Unhan), menjadi narasumber seminar, ILC, serta berdiskusi di Institut Peradaban, beliau terkadang beberapa kali harus dirawat di rumah sakit. Alhamdulillah jaringan teman-teman dokternya sangat mendukung beliau dengan perawatan yang excellent. Beberapa teman dokternya itu juga memiliki rumah sakit. Sejauh beliau sehat, Pak Salim selalu menyempatkan berdiskusi dengan kami di Institut Peradaban. Semangatnya untuk menulis dan membaca patutlah diteladani bagi kita semua sebagai generasi yang lebih muda.
Dalam setiap diskusi Prof. Salim selalu mengingatkan kita agar terus berusaha membaca dengan baik setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat. Mengapa? Karena Indonesia itu kata beliau, tergolong masyarakat yang mudah dipecah-belah (fragmented society).
"Indonesia itu masih on going process, jadi kita mesti hati-hati dalam merawat Indonesia. Tidak boleh ceroboh, sebab jika kita salah dalam mengelola Indonesia, maka bangsa ini akan berantakan. Saya tidak yakin Indonesia ini bisa bertahan hingga 100 tahun jika cara kita mengurus negara ini ceroboh," pesan Prof. Salim yang mengaku takut hal itu terjadi. Semoga langkah Prof. Salim membuat Corner Library di Universitas Islam Indonesia (UII) itu bisa menjadi langkah teladan yang kelak akan disusul oleh para profesor lainnya di kampus-kampus di seluruh Indonesia.
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)
Advertisement