Apa Beda Kiai, Guru dan Dosen? Penjelasan Ini Cukup Mengejutkan
Pendidikan pesantren kini banyak dilirik orang. Di samping mengajarkan ilmu umum, di pesantren juga diajarkan ilmu-ilmu keagamaan. Bahkan, antara ilmu keagamaan dan ilmu ilmu bisa menjadi serasi untuk kepentingan dalam kehidupan kita.
Saat ini banyak orang menganggap antara kiai, guru dan dosen tak ada bedanya. Merek sama-sama mengajarkan ilmu. Benarkah demikian?
KH Achmad Shampton Masduqie, putra Kiai Masduqi Mahfudz (pendiri Pesantren Nurul Huda Mergosono Malang), ternyata mempunyai pengertian yang berbeda. Memang sih sama dalam pengertian mereka merupakan transfer ilmu kepada para murid dan santri. Penjelasan berikut cukup mengejutkan:
Antara kiai, guru dan dosen, harusnya sama saja. Mereka semua mendampingi kita untuk meraih ilmu.
Namun kiai yang saya jumpai tidak pernah mencukupkan pada transfer ilmu semata. Mereka memberi contoh, tidak mengatakan yang mereka tidak lakukan, dan yang paling susah ditiru mereka menganggap santri-santri seperti anak sendiri. Kecintaan, empati dan cara pandang terhadap santri tak ada bedanya dengan kecintaan, empati pada anak. Sebagaimana isyarat Imam Nawawi dalam kitab Tibyan.
Saat ikut menemui Allah yarhamuh Kiai Bukhari Masruri di ndalem Abah Kiai Mustofa (KH Ahmad Mustofa Bisri, Rembang, Red).
Beliau cerita tentang Mbah Kiai Ali Maksum Krapyak punya undang-undang antik: "Santri yang mengambil barang kiai hukumnya halal asal tidak ketahuan, kalau ketahuan harus dikembalikan."
Kiai Bukhari Masruri bercerita, beberapa kawan beliau yang kalau diutus mijeti kiai, sengaja pakai celana yang diikat bagian bawahnya dan usai mijeti, ia mampir ke dapur dan mengisi celananya dengan beras di dapur kiai. Tentu saja, hukumnya halal, karena sudah dihalalkan oleh sang kiai.
Santri-santri bahkan sering punya undang-undang sendiri: "kalau ilmunya diberikan cuma-cuma apalagi harta bendanya..."
Begitulah, kita semua pun ketawa haha...
Kepada santri-santri, setiap kali ada yang orang tuanya meninggal, abah Kiai Masduqi Mahfudz sering berpesan, "Sudah bapak/ibumu sudah ditimbali (dipanggil Sang Khaliq, red). Tugasmu mendoakan dan kamu jangan terlalu sedih, saya orang tuamu. Kalau ada apa-apa mengeluhlah padaku."
Tahukah kita, itu semua berdasar contoh dari Nabi bagaimana beliau merawat para sahabat ahlusuffah, bagaimana Nabi seringkali mendahulukan sahabatnya ahlussuffah dibanding beliau sendiri dan keluarganya.
Budaya yang berlaku di kalangan kiai dan santri laksana bapak anak ini, yang sering tidak mampu dicontoh pesantren-pesantren modern yang pendirinya tidak mempunyai basis pesantren salaf.
#ayo_mondok_dan_memondokkan_anak
Advertisement