Anwar Ibrahim: Sebuah Gagasan Kepemimpinan
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen Hubungan InternasionaI - Universitas Jember
Jalan berkelok itu berakhir elok. Ungkapan ini cocok untuk menggambarkan perjalanan politik Dato’ Seri Anwar Ibrahim (DSAI) selama hampir 25 tahun terakhir. Sempat menjadi a rising star, sempat pula redup bersinar.
Pasalnya, tahun 1998 Mahathir Mohammad memecatnya dari posisi Wakil Perdana Menteri. Kemudian, disusul pemenjaraannya dua kali yang mengundang kontroversi. Tentang nasibnya ini, ia menggambarkannya dengan sebuah metafora: “Dari bintang gemerlap, ditelanjang bulat”.
Namun, penjara tak sanggup memasung pikirannya. Melalui tulisannya, Trial by Ordeal (1999), suaranya tetap lantang dari balik jeruji penjara: “Pengadilan [terhadap] saya atas tuduhan korupsi yang dibuat-buat, ... justru mengungkap begitu pekat dan meluasnya korupsi, disertai dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)”.
Meski secara pribadi tak pernah audiensi, saya sering berjumpa dengan tulisannya. Sejak belia, konon, DSAI merupakan seorang kutu buku dan pembelajar yang tekun. Tak heran jika, kemudian, pemikirannya yang dituangkan dalam tulisan terserak di sekian jurnal internasional, seperti Islamic Studies, New Perspective Quarterly, Sojourn, Journal of Social Issues in Southeast Asia, dan Journal of Democracy.
Salah satu yang membuat saya terkesan adalah ikatan DSAI dengan Indonesia. Semua ini, tak lepas dari pengetahuannya yang luas terhadap sejarah dan spektrum pemikiran tokoh-tokoh Indonesia. Dalam sastra, misalnya, ia kenyam karya HAMKA sampai Sutan Takdir Alisyahbana, khususnya menyangkut tasawuf modern dan falsafah hidup. Sedangkan dalam politik, ia faham mulai dari pemikiran Natsir yang Islamis, Soekarno dan Hatta yang nasionalis, Syahrir yang sosialis, Mochtar Lubis yang eksistensialis, sampai Soedjatmoko yang humanis. Sangat mungkin pemikiran sekian tokoh ini, langsung tidak langsung, ikut berkontribusi dalam pergulatan pemikirannya.
Pengalaman di masa muda turut mempertebal keakrabannya dengan Indonesia. Sebagai pemimpin Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), DSAI begitu dekat dengan Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Bahkan, ia merasa at home di Diponegoro 16, Menteng, Jakarta; Kantor PB HMI (dulu). Selain akrab dengan para tokohnya; ia juga terlibat dalam kegiatan organisasinya. Salah satu ceritanya, DSAI pernah pergi ke Jawa Tengah dengan kereta api, guna mengikuti perkaderan HMI. “Saya memperoleh manfaat dari HMI karena mengikuti materi ideologi politik dan strategi di Pekalongan. Generasi saya itu istimewa. Abang-abang saya adalah Nurcholish Madjid, Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad dan Ekky Syahrudin. Semua hebat-hebat”, kenangnya. Gagasan dan pemikiran selalu membetot perhatiannya. “Saya masih 18–19 tahun saat mengenal Cak Nur. Ketika itu beliau Ketua Umum Pengurus Besar HMI ... [sementara] Ide dan pemikiran Cak Nur masih sangat relevan hingga hari ini”, ungkapnya tegas.
Keakrabannya dengan Indonesia tak jarang melibatkan perasaannya. “Saya tidak pernah merasa asing di Indonesia ... dan saya agak sentimental [jika] bicara soal Indonesia”, ujarnya. Tak heran, jika ia pernah menghardik generasi muda Malaysia yang lengah terhadap sejarah, khususnya menyangkut sumbangsih Indonesia kepada Malaysia. Ia menuturkan bahwa dalam kemajuan Malaysia terdapat kontribusi para guru yang didatangkan dari Indonesia tahun 1970-an, saat negaranya kekurangan tenaga pendidik, terutama di tingkat sekolah menengah.
Aspek lain yang menarik dari DSAI, adalah kapasitas intelektualnya. Ia mampu menuangkan pemikirannya secara menarik, baik secara lisan maupun tulisan. Bahkan, bisa dikatakan ia termasuk kualifikasi ‘singa podium’. Dilengkapi dengan kekayaan referensi bacaannya, pidatonya-pun, meminjam istilah sahabat dari Malaysia, sering membuat banyak khalayak ‘terpegun’ (terkesima). Orasinya sebagai Perdana Menteri Malaysia di hadapan CT Corp Leadership Forum beberapa waktu lalu, sekali lagi, menunjukkan kapasitasnya tersebut.
Sesuai dengan nama forumnya, DSAI bicara tentang leadership. Pandangannya bersumber pada ilmu pengetahuan dan pengalaman pribadinya. Konsepnya merupakan adonan nilai, sikap, dan teladan. Walhasil, terkesan kuat bahwa ia adalah sosok yang bekerja dengan gagasan. Ia berangkat dengan mengilustrasikan dialog klasik antara Caliph Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur Mesir–Malik Al-Ashtar–yang dilantiknya pada tahun 38 Hijriyah. Keduanya membahas ragam masalah mulai dari tata nilai, akhlak, tatakelola (governance), kemanusiaan, termasuk persaudaraan sesama muslim dan hubungan antara muslim dengan non-muslim.
Ilustrasi di atas, menunjukkan rujukan pandangan DSAI yang bertumpu pada Islamic-based view dan nilai kemanusiaan. Komitmennya terhadap dua hal ini tidak muncul secara instant. Sejak usia 30-an, ia sudah kritis terhadap model pembangunan modern ala Barat, yang “at times, [proceeds] at the prices of dehumanisation” (Ibrahim, 1986). Ia mengidentifikasi paradoks di antara kita bahwa: “Kala ilmu pengetahuan kita tentang ‘natural science’ dan ‘rational world’ meningkat pesat, pengetahuan kita tentang kemanusiaan justru berkembang sebaliknya”. Padahal, sejatinya, “man can really know ‘how’ unless he knows ‘why’”. Dalam pandangannya, Islam bukanlah sekedar ‘a theological system’, tetapi mencakup ‘an entire civilization’. Oleh karena itu, secara tegas ia menandaskan bahwa Islam merupakan sebuah paradigma berpikir alternatif, yang menolak model pembangunan “which is void of moral and spiritual values”.
Dalam pandangan DSAI, Islam tidaklah eksklusif; bahkan cenderung kosmopolit. Dalam konteks kehidupan beragama, misalnya, dengan kembali merujuk pada perbincangan antara Caliph Ali bin Abi Thalib dan Gubernur Mesir di atas, yang mana sang Caliph menegaskan bahwa non-Muslim juga merupakan saudara kaum muslim atas dasar sesama manusia.
Dengan rujukan ini, DSAI menandaskan bahwa “humanitarian ideals itu harus terpahat sebagai salah satu tonggak keyakinan dalam kehidupan beragama”. Parameternya, adalah terjaminnya prinsip keadilan dan manusiawi. Penegasannya yang terakhir ini mengingatkan saya pada pemikiran K.H. Achmad Siddiq tentang trilogi ukhuwah, khususnya konsep ukhuwah basyariyah, yang beliau kemukakan menjelang Muktamar NU ke 28 di Yogyakarta, pada tahun 1989.
Dialog di atas juga mencerminkan bahwa tugas pemimpin begitu luas; karena mencakup manajemen politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Dengan background ini, DSAI melontarkan konsep kepemimpinan dengan dua dimensi. Dimensi pertama, langkah awal harus berasal dari atas, yaitu dengan keteladanan. Mengutip Francis Fukuyama, seorang pemimpin harus punya democratic accountability. Dalam hal ini, DSAI melihat akuntabilitas tidak cukup pada angka kemenangan suara dalam pemilu sebagai dasar pengangkatan. Tapi, selama menjabat seorang pemimpin perlu menunjukkan komitmennya terhadap kesederhanaan, prinsip nilai dan akhlak, menghindari cronyism, serta faham arti penderitaan dan kesengsaraan rakyat.
Jadi, menurutnya, akuntabilitas demokrasi seorang pemimpin bukan hanya terbatas pada terpenuhinya proses demokrasi prosedural, tetapi juga harus mencakup terakomodasinya aspek-aspek demokrasi yang substansial, seperti kejujuran dan keadilan. Semua bentuk akuntabilitas ini bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada rakyat, tapi perlu dilambari keyakinan bahwa akuntabilitas, pada akhirnya, juga harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Dengan ini semua, barulah akan muncul “real respect, fear, and compassion”, tegasnya.
Dimensi yang kedua, adalah menetapkan landasan. Seorang pemimpin seringkali bukanlah ahli di bidang yang ditanganinya. Guna mengantisipasinya, DSAI menegaskan bahwa seorang pemimpin perlu mempunyai “the humility to acknowledge” (kerendahan hati untuk mengakui). Pasalnya, salah satu godaan pemimpin adalah cenderung untuk angkuh. Padahal, tantangan kekalnya adalah “to learn from observation, from experience, from listening to the so-called experts and to the common men and women”. Pentingnya kerendahan hati seorang pemimpin, ia suarakan dengan petikan apik bait puisi TS Elliot: “The only wisdom we can hope to acquire is the wisdom of humility, [and] the wisdom of humility is endless”. Sedangkan, kerendahan hati merupakan gerbang emas dari ruang tak terbatas bagi peraihan pemahaman dan ilmu pengetahuan.
Pandangan DSAI tentang leadership merupakan gagasan segar. Di antara variasi konsep leadership, tawaran konsepnya lebih menonjolkan nilai-nilai spiritual dan dimensi manusiawi. Ia menggabungkan konsep modern ala Barat dan tradisi klasik dalam Islam, yang melahirkan formula ‘a soul-based leadership’. Formula ini mencerminkan sosoknya, sebagai seorang muslim yang moderat dan kosmopolit.
Hal ini mengingatkan pada Tariq Ramadan, seorang ahli filsafat dan cucu Hasan Al Banna; yang juga memiliki sosok yang serupa. Ramadan pernah menegaskan, bahwa umat Islam tak perlu bersembunyi mengasingkan diri demi menghindari globalisasi; sebaliknya mereka perlu tampil tanpa kehilangan Islam sebagai jati diri. Gagasan DSAI tentang model kepemimpinan barulah langkah awal. Ia sangat menyadari, seperti ditegaskannya sendiri; bahwa untuk melaksanakannya tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Maklum, ranah politik seringkali menjadi salah satu arena pertarungan paling sengit antara idealisme dan pragmatisme. Wallauhu’alam ...
Himawan Bayu Patriadi, PhD. Dosen Hubungan InternasionaI - Universitas Jember