Antonius Benny Susetyo: NU Butuh Pemimpin Bisa Baca Tanda Zaman
Staff Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo menyatakan, bahwa membaca tanda-tanda zaman dan mampu menjadi jawaban atas masalah yang terjadi dalam bangsa maupun dunia, merupakan kriteria ideal pemimpin NU. Hal ini disampaikan dalam webinar bertema “Sosok Ideal Pemimpin NU Menjelang Satu Abad”, pada Sabtu 16 Oktober 2021.
Dalam sambutan pembukaan webinar tersebut, Rektor Unisma H. Noor Shodiq Askandar, S.E., M.M. menyatakan, tujuan webinar pada hari ini adalah membuka diskusi antara Unisma bersama narasumber dan peserta webinar tentang bagaimana membangun profil pimpinan ideal Nahdatul Ulama (NU) dalam segala bidang. NU tidak saja membutuhkan pemimpin matang, namun juga penuh dedikasi, berpandangan jauh ke depan, moralitas baik dan penerimaan tinggi di tengah-tengah masyarakat.
Dengan kajian akademik melalui webinar ini diharapkan ditemukan profil dan formula pimpinan NU. Sosoknya dapat menjadi pencerah sekaligus penyejuk di tengah umat. Hasil dari diskusi webinar ini diharapkan dapat memberikan formula yang tepat sebagai kado menjelang 100 tahun NU sekaligus menyambut Hari Santri Nasional.
Acara yang diselenggarakan dalam rangka Lustrum ke-8 Unisma ini dihadiri Oleh Gus Miftah Maulana Habiburrahman. Dia menyatakan bahwa pemimpin yang paling ideal memiliki tiga kriteria yaitu memiliki aspek manajerial yang harus dikuasai, networking yang luas di segala bidang tidak hanya agama saja tapi visi yang jelas, dan terukur tentang masa depan organisasi, umat, bangsa, negara dan dunia.
Ketua tanfidz ke depan harus paham dan mengerti tehnologi, adaptif terhadap perubahan zaman serta dapat masuk ke kaum milenial karena mereka yang nanti menguasai negara dan pasar pada masa depan dalam era digital.
Dalam webinar yang dihadiri 400 orang lebih secara daring, Antonius Benny Susetyo menyatakan bahwa NU ke depannya akan menghadapi banyak tantangan. “Siapapun yang nanti akan memimpin NU, dia harus mampu membaca sekaligus menjawab tanda tanda zaman,” ungkapnya.
Antonius Benny Susetyo memberi contoh, kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid atau Gusdur saat Orde Baru harus menghadapi kerepresifan dan kediktatoran Presiden Suharto. Gusdur mampu membangun tatanan masyarakat sipil serta mampu memupuk para generasi muda hingga dapat menjadi tokoh-tokoh besar.
“Visi yang luar biasa ini membuat nama Gus Dur harum tidak hanya dikancah dalam negeri tetapi juga dunia,” sambung dia.
Dalam masa pandemi Covid-19, system dan kekuatan besar telah banyak yang tumbang dan runtuh. Hendaknya NU dapat mengambil kesempatan ini dengan memperkuat diri dalam dunia digital, sekaligus melakukan konsoidasi dengan berbagai unsur masyarakat untuk dapat saling membantu dan bersatu untuk menjaga rasa persatuan di Indonesia.
Hal ini dibutuhkan karena pada era digital, sekat-sekat negara dan wilayah telah runtuh hingga berbagai macam paham atau ideologi dapat masuk dan merusak tatanan masyarakat.
“Opini dapat mudah dan cepat dibangun dalam media sosial sehingga dapat mudah merusak suatu sistem yang telah lama tertata ini,” beber Antonius Benny Susetyo.
Kemampuan persuasi dalam era digital merupakan hal yang utama dimiliki oleh mereka yang ingin bertahan dan berkembang, termasuk NU dan pemimpinnya. NU perlu memenuhi ruang publik dan ruang digital dengan berita-berita dan informasi tentang NU. Sehingga NU dapat tetap menjadi jangkar perdamaian negara, bahkan lebih jauh menjadi jangkar perdamaian dunia.
NU sebagai jangkar perdamaian sangat dibutuhkan saat ini dalam menghadapi ekslusifitas dan ekstrimisme kelompok yang makin meluas dan berkembang dengan memanfaatkan pandemi. NU diharapkan mampu memberi sumbangan bagi perdamaian dunia dengan menjaga dan menghormati inklusivitas di seluruh dunia sehingga nilai-nilai islam yang damai dan universal.
Sementara itu, ideologi Pancasila sebagai identitas bangsa dan NU mampu terbumikan dengan baik dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Sehingga semangat Gus Dur sebagai Bapak Demokrasi dan Bapak Pluralisme Indonesia dapat diteruskan oleh pemimpin baru NU.
“Pemimpin baru NU dalam membaca tanda-tanda zaman diharapkan tidak hanya sekedar dengan menghargai perbedaan pendapat dan pandangan. Namun juga dapat berperan sebagai pemimpin yang dapat memperkuat ekonomi masyarakat bawah. Caranya memaksimalkan jaringan kemasyarakatan NU dan mengembangkannya secara digital,” tutur Antonius Benny Susetyo.
Sedangkan warga NU dapat memaksimalkan potensinya dalam mengembangkan ekonomi, sehingga kesejahteraan seluruh warga NU dapat dicapai. “Kita semua dapat berkontribusi aktif dalam membangun peradaban Indonesia dan dunia,” kata Antonius Benny Susetyo.
Pada akhirnya, lanjut Antonius Benny Susetyo , menjaga kesatuan NU juga berarti menjaga negara dan dunia. Perbedaan visi jangan sampai membuat NU terbelah. NU harus menjawab kebutuhan dunia tentang pemimpin spiritual yang mampu berpikir global.
“Ambil kembali ruang dunia yang telah dirintis Gus Dur menjadi kekuatan untuk memperkuat NU dan Indonesia di mata masyarakat dunia. Eksistensi NU dibutuhkan oleh Indonesia dan dunia,” tutup Antonius Benny Susetyo.