Anti Loncat, Setelah Kintil Sriti Ke Mana-Mana
ITU masih tentang Malaysia. Yang ternyata kini bisa silau dengan Indonesia.
Mereka sekarang sedang, ehm ehm, merumuskan pembatasan masa jabatan perdana menteri: maksimum 10 tahun.
Itulah bagian dari kesepakatan politik paling radikal di Malaysia dua hari lalu. Pemerintah akhirnya juga bersepakat dengan oposisi: mengakhiri sistem politik yang berlaku selama ini --the winner takes all.
Di negara yang dulu kita sering bilang ''kok kita nggak bisa seperti Malaysia sih'' itu politiknya memang lagi seperti lagu 'Balonku''. Sangat kacau. Rakyat sampai muak. Sampai memuji-muji Indonesia (Baca Disway: Hiburan Ummi).
Kemuakan itu akhirnya didengarkan oleh para politisi. Setidaknya oleh Raja Malaysia, Yang Dipertuan Agong Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al Mustafa Billah Shah.
Sang raja kelihatannya punya peran besar mendorong pembaharuan politik itu. Raja dinilai lebih mendengarkan aspirasi rakyat dari pada para pemburu kursi.
Kesepakatan politik itu bisa mulus, kelihatannya, harus diberi gula-gula. Gula terbaik adalah bagi-bagi jabatan.
Jumlah wakil ketua parlemen akan ditambah satu. Menjadi tiga. Salah satu jabatan wakil ketua itu akan diharuskan diduduki partai oposisi. Dengan demikian sistem the winner takes all segera berakhir. Singapura sudah lebih dulu melakukannya: jabatan presiden Singapura wajib dipegang oleh suku Melayu. Begitulah bunyi konstitusi yang diperbarui di Singapura. Itu karena perdana menteri dan hampir semua menteri kunci jatuh ke golongan Tionghoa.
Maka amandemen konstitusi Malaysia juga segera dilakukan. Bukan saja hanya untuk membatasi masa jabatan perdana menteri. Juga untuk dihilangkannya sistem the winner takes all.
Langkah yang sekarang memang belum sampai tahap ini: oposisi masuk dalam kabinet pemenang pemilu. Tapi kerja sama oposisi-pemerintah kian nyata. Mereka sudah sepakat anggota parlemen tidak akan mempersoalkan anggaran untuk mengatasi Covid-19. Termasuk yang dari oposisi. Angka korban Covid-19 di Malaysia, belakangan ini, memang melebihi Indonesia. Padahal penduduknya hanya sama dengan salah satu provinsi di Jawa.
Covid di Indonesia memang begitu mengagumkan belakangan ini. Mereka kagum: "kok kita tidak bisa seperti Indonesia". Mungkin perdana menterinya tidak mau menelepon menteri kesehatannya dari apotek di Bogor. Mereka juga kagum bagaimana antara oposisi dan pemerintah bisa kompak. Mereka rupanya belum tahu bahwa kata ''kompak'' seperti itu tidak cukup. KOMPAK itu harus ditulis dengan huruf besar semua.
Intinya: mereka telah membuat lima kesepakatan besar dalam dunia perpolitikan di Malaysia.
Itu sudah diformalkan dalam dokumen resmi. Tingkatnya memang baru MoU (memorandum of understanding). Belum sampai ke tingkat perjanjian. Tapi sudah disaksikan oleh Raja Malaysia.
Dan lagi yang menandatangani MoU itu pimpinan puncak para pihak: dari pemerintah diwakili perdana menteri sendiri, Ismail Sabri Yaakob. Sedang dari oposisi diwakili 4 orang sekaligus. Termasuk ketua koalisinya sendiri: Datuk Anwar Ibrahim.
Bahkan tiga ketua partai anggota koalisi Pakatan Harapan (PH) ikut tanda tangan. Kuat sekali. Mereka Adalah Lim Guan Eng (Partai Aksi Demokrasi yang berorientasi ke golongan Tionghoa), Mohamad Sabu (dari PAN, Partai Amanat Negara), dan Wilfred Madius (dari Partai Organisasi Progresif Kinabalu Bersatu, Sabah).
Tinggal dua partai kecil yang tidak mau ambil peran: Parti Pejuang Tanah Air dan Parti Warisan Sabah.
Koalisi pemerintah sendiri disebut Perikatan Nasional (PN). Itu terdiri dari partai-partai UMNO, partai Islam PAS, partai Solidaritas Tanah Air, Sabah Progressive Party, dan Parti Gerakan Rakyat Malaysia. Ditambah partai Tionghoa lama MCA dan partai keturunan India.
Lalu, ini dia perubahan yang juga tidak kalah penting: akan disusun UU Anti Loncat Pagar.
Itu istilah yang sangat populer pun di Indonesia. Sejak reformasi tahun 1999 lalu. Ketika siapa saja bisa bikin partai apa saja. Politisi loncat pagar adalah orang yang suka pindah-pindah partai.
Di Malaysia aksi loncat pagar itu justru sering membuat pemerintah jatuh. Itu terjadi di pemerintahan Mahathir Mohamad 2.0.
Juga di zaman Muhyiddin Yassin. Dan hampir saja akan terjadi lagi di era Ismail Sabri Yaakob yang baru berumur dua bulan.
Ismail Sabri sendiri menjadi anggota parlemen dari Partai Keadilan Rakyat. Dari dapil Bera di Pahang. Setelah duduk di parlemen ia loncat ke partai yang selama itu menjadi musuh PK: UMNO.
Bagi yang simpati kepadanya tentu tidak mau itu disebut poncar pagar. Ia itu ''pulang kandang'' –asal-muasalnya memang dari UMNO.
Tidak hanya Ismail Sabri yang Loncat dari PKR. Juga sejumlah anggota parlemen lainnya. Akibatnya tragis: Anwar Ibrahim gagal lagi menjadi perdana menteri. Anwar terpaksa tetap memegang gelar lamanya: perdana menteri dalam masa penantian.
Loncat pagar yang seperti itu akan dilarang. Bahkan sudah berlaku saat itu juga: 13 September 2021. Berarti posisi Ismail Sabri aman. Padahal keesokan harinya, 14 September, sejumlah anggota parlemen yang mendukungnya sudah siap-siap loncat pagar. Yang bisa bikin Ismail Sabri tidak lagi menjadi perdana menteri. Ia selamat oleh kemuakan rakyat pada politik.
Kintil sriti ke mana-mana
Ismail Sabri ternyata aman-aman saja.(*)
*) Tulisan ini dikutip dari Harian Disway.
Advertisement