Antara Transaksi dan Keikhlasan, Ini Pelajaran Habib Muhammad al-Muhdhar
Para pendahulu kita adalah orang-orang yang senantiasa memiliki hati yang tersambung kepada Allah dan menyampaikan seseorang kepada Allah. Dan ketahuilah di antara para pendahulu kita adalah Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar Bondowoso.
Hatinya tiada beda antara saat Tahajjud dan saat di tokonya, selalu tersambung kepada Allah. Inilah bentuk pengamalan dari ilmunya, yang merupakan dasar/pondasi kedua dari prinsip Thariqah Alawiyah.
Demikian dikisahkan Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman al-Jufri. Menurutnya, Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar suatu hari pernah menyembelih 100 ekor kambing untuk menjamu para tamunya. Di waktu lain datang seseorang yang hendak menjual barangnya pada Habib Muhammad al-Muhdhar.
Habib Muhammad menawar dengan harga yang pantas, harga yang cukup murah. Namun orang itu tidak berkenan, hanya dia sendiri yang berhak menentukan harganya.
Orang itu berkata, “Wahai Habib Muhammad, kenapa engkau dengan rela menyembelihkan 100 ekor kambing untuk para tamu tetapi menghargai barangku dengan harga yang sedikit?”
Jawab Habib Muhammad, “Karena saat menjamu para tamu itu ada tujuan/keharusan untuk bermurah hati. Sedangkan kita sedang bertransaksi dalam bisnis sehingga harus ketat dalam menentukan harga.”
Tetapi di dalam ibadah dan tijarah (berdagang) para ulama salih seperti Habib Muhammad al-Muhdhar ini, hatinya dipenuhi dengan keikhlasan hanya mengharap ridha Allah Swt. Dan inilah yang menjadi pondasi ketiga dari Thariqah Alawiyah.
Pondasi keempat adalah al-khasyyah, rasa takut kepada Allah Swt. Ketahuilah bahwa para ulama salih bukan hanya teliti dan detail serta ikhlas dalam melakukan suatu pekerjaan tapi juga dalam hati mereka selalu bergejolak karena takut kepada Allah.
Di antara tokoh Alawiyyin ada yang bernama Syaikh Umar Muhdhar bin Abdurrahman Assegaf, yang diberi karomah (kemampuan) dari Allah mampu mengucapkan “Ya Lathif” seribu kali dalam satu tarikan nafas. Sedangkan para khadimnya (juru laden) mampu mengucapkan “Ya Lathif” sebanyak 500 kali dalam satu tarikan nafas.
Demikianlah Syaikh Umar Muhdhar yang diberi kemampuan beribadah tingkat tinggi, di sisi lain saking hatinya takut kepada Allah Swt. beliau berkata sambil menangis, “Ketahuilah jikalau aku tahu tasbih (wiridan) yang aku baca ini diterima oleh Allah Swt., niscaya seluruh penduduk Kota Tarim ini akan aku jamu 8 hari 8 malam dengan gandung dan daging.”
“Pondasi kelima adalah wara’, yaitu meninggalkan sesuatu yang bukan dosa tetapi dikhawatirkan akan menariknya kepada dosa.” Terang Habib Ali al-Jufri memaparkan lima prinsip dakwah Walisongo dan pondasi Thariqah Alawiyyah.(adi)