Antara Sekolah Tatap Muka dan Nyawa
Pemerintah berniat untuk segera bisa membuka pelaksanaan pembelajaran tatap muka pada tahun ajaran baru 2021 ini. Hal itu dilakukan karena banyaknya informasi yang diterima bahwa pembelajaran secara daring yang dilakukan saat ini berdampak pada menurunnya capaian siswa.
Tak ada yang bisa disalahkan. Sebab ada banyak hal yang menyebabkan penurunan capaian belajar siswa. Misal guru yang tidak siap dengan metode secara daring, kemudian kejenuhan anak didik selama belajar di rumah, serta masalah jaringan internet, dan bahkan ekonomi keluarga untuk selalu membeli paketan internet per bulannya.
“Sesuai materi yang diserap sudah bagus bagi yang bisa menyerap dengan baik, tapi ada beberapa daerah yang sulit misalnya daerah yang sinyalnya gak bagus. Kemudian ada kecerdasan sosial kan ada anak stress dan bosen dirumah wajar saja,” ujar Anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur, Zainal Arifin kepada Ngopibareng.id, Jumat 12 Maret 2021.
Karena itu, kata dia, pembelajaran tatap muka ini tentu sangat diharapkan banyak pihak. Namun, ia pun sadar bahwa masalah pandemi ini sangat mengancam nyawa manusia, termasuk para guru yang usianya sudah masuk usia rentan.
“Tapi kalau kita paksakan bagaimana dengan pandemi yang risikonya adalah kematian. Jadi semaksimal mungkin kita sudah berusaha, pemerintah juga dengan berbagai upaya sudah berusaha,” katanya.
Hanya saja, memang pembelajaran tatap muka ini masih memerlukan pembahasan yang cukup dalam terkait kesiapan sekolah dalam menerapkan protokol kesehatan. Apalagi, bagi siswa jenjang SMK.
Di Jawa Timur sendiri, sudah sejak beberapa waktu lalu dilakukan uji coba pembelajaran tatap muka dengan ketentuan 10 persen Sekolah Luar Biasa di satu kabupaten/kota, kemudian 20 persen SMA di kabupaten/kota, serta 35 persen SMK di kabupaten/kota. Itu pun, hanya daerah yang masuk dalam zona kuning dan oranye saja.
“Pak Kadispendik Jatim mencoba separuh-separuh sambil kita tetap taat protokol kesehatan. Memang ini harus kita jaga betul karena kita tidak tahu siapa terpapar dan kita tidak bisa melihat virus? Sehingga protokol kesehatan harus kita jaga,” ujarnya.
Sementara sejak tingkat pusat, upaya pembukaan sekolah tatap muka ini mulai diupayakan dengan melakukan vaksinasi terhadap guru. Lebih khusus lagi adalah guru yang berusia rentan terpapar.
Namun, menurut pakar epidemologi Universitas Airlangga Surabaya, Windhu Purnomo menganggap hal tersebut masih belum bisa menjadi jaminan. Karena jumlah vaksin yang ada masih terbatas. Apalagi vaksin yang ada juga tak hanya untuk guru saja tapi juga untuk orang lain.
“Per 6 Maret yang saya tahun vaksin kita 73.656 per hari. Kalau mau satu tahun selesai 180 juta, maka per hari harus 1 juta vaksin. Nah, ini kita masih rendah kalau kita hitung sampai Juni mungkin hanya 4,26 persen yang sudah tervaksin,” kata Windhu.
Karena itu, pemerintah diharapkan betul-betul memikirkan untuk terkait upaya mempercepat pembelajaran tatap muka. Pasalnya, guru-guru yang berusia rentan sangat rawan terpapar Covid-19.
“Mereka (murid) bisa nulari guru yang lebih rentan, jadi ya lebih baik ditunda dulu pembelajaran tatap muka ini. Kalau risiko rendah (zona hijau) dan zona kuning oke bisa dicoba, tapi harus hati-hati. Sebab, kalau muncul klaster keluarga, kemudian anak ini terpapar tapi OTG kemudian di sekolah menulari jadi klaster sekolah maka sekolah harus dihentikan. Kalau masih zona oranye jangan dibuka dulu,” pungkasnya