Antara Ridwan Kamil, Deddy Mizwar dan Aa Gym
DUET maut PKS-Gerindra terus berlanjut. Koalisi yang sering disebut oleh Ketua Umum DPP Gerindra Prabowo Subianto sebagai sekutu itu, Selasa (13/6) memutuskan untuk melakukan koalisi permanen di Jabar.
Targetnya merebut kemenangan di pemilihan gubernur dan 16 pemilihan bupati/walikota 2018. Sebuah target yang cukup ambisius, tapi bukan tidak mungkin dapat diwujudkan.
Ada beberapa alasan mengapa target tersebut sangat mungkin terwujud. Pertama, momentum Pilkada DKI. Kedua, PKS factor.
Momentum Pilkada DKI
Sebagai provinsi yang langsung berbatasan dengan DKI, Jabar terimbas langsung pertarungan yang cukup sengit di Pilkada DKI. Bara pertempuran itu hingga kini masih sangat terasa. Demikian pula dengan aura kemenangan masih meruap di udara.
Ibarat sebuah besi yang sedang panas, PKS dan Gerindra tak mau kehilangan masa untuk menempa. Jadi mereka agaknya ingin memindahkan kemenangan itu dengan segera.
Sebagai pasukan yang memenangkan pertempuran semangat mereka masih terjaga, mesin politik juga masih panas. Yang paling penting bahwa kondisi Jabar dalam hal ini dukungan umat Islam, jauh lebih solid dan kuat dibandingkan dengan Jakarta.
Di luar kerja-kerja mesin politik PKS-Gerindra, mereka harus dengan rendah hati mengakui bahwa kemenangan Anies-Sandi di Jakarta ditopang oleh para relawan, terutama kalangan umat dan ulama.
Menolak fakta peran umat dan ulama dalam kemenangan di Jakarta, adalah sebuah sifat durhaka. Hukumnya kira-kira hampir sama halnya dengan seorang anak yang menolak mengakui telah lahir dari rahim ibunya.
Apa yang dikatakan Wagub DKI terpilih DKI Sandiaga Solahuddin Uno kalau mau menang di Pilkada Jakarta harus dekat-dekat dengan umat dan ulama, sungguh benar adanya.
Mengingat latar belakang Jabar yang sangat relijus, jika PKS-Gerindra ingin memenangkan kembali Pilkada, maka mudah saja. Tinggal mengadopsi formula dari Jakarta dengan berbagai penyempurnaan disana-sini.
Formulanya adalah melanjutkan koalisi, merangkul umat dan ulama, serta memperbesar koalisi dengan partai-partai lain yang bisa sejalan.
Langkah pertama koalisi permanen PKS-Gerindra sudah berjalan. Namanya berpasangan, tentu perlu kerendahan hati. Jangan mau menang sendiri.
Apa yang dikatakan oleh Ketua DPD Gerindra Jabar Mulyadi merupakan permulaan yang baik. Gerindra siap menjadi orang nomor satu maupun nomor dua. Semuanya ditentukan oleh survei dan pertimbangan politik lainnya, termasuk kesediaan dana.
Jika dikedua partai tidak tersedia tokoh yang cukup populer dengan elektabilitas tinggi, Gerindra juga bersedia mengambil figur di luar partai. Soal ini harus menjadi perhatian serius karena khusus bagi Gerindra pernah punya pengalaman buruk di Jakarta dan Bandung.
Di Pilkada DKI 2012 Gerindra mengusung pasangan Jokowi-Ahok. Namun Jokowi kemudian menjadi "pembunuh" Prabowo dalam Pilpres 2014. Sementara Ahok membelot dan kemudian menjadi lawan tangguh pada Pilkada DKI 2017.
Di Bandung pada Pilkada 2013 bersama PKS, Gerindra mengusung Ridwan Kamil (RK) sebagai walikota. RK kemudian membelot ke Nasdem dan berjanji akan mendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Padahal ada kemungkinan Prabowo kembali berlaga pada Pilpres 2019. Jika skenario itu kembali terjadi sungguh sebuah tragedi.
Semua pengalaman buruk mengusung calon di luar kader akan menjadi pertimbangan berharga bagi Gerindra. Mereka pasti tidak ingin terantuk pada batu yang sama sampai tiga kali, berarti lebih parah dari keledai. Lagi pula hewan peliharaan kesukaan Prabowo kuda, bukan keledai.
Begitu pula bagi PKS. Selain pengalaman buruk dengan RK, yang harus dicatat selama dua periode Gubernur Jabar dijabat kader PKS Ahmad Heryawan. Harus ada kesinambungan kekuasaan. Seperti sering dikatakan Aher dengan kekuasaan, maka kita bisa melipatgandakan kebaikan. Itu tujuannya.
Bila PKS tidak punya kader yang cukup layak sebagai gubernur, maka setidaknya harus mengisi posisi wakil gubernur. Pastilah cukup banyak tersedia stok kader yang layak.
Sebaliknya bila tidak ada yang layak jadi gubernur, juga jangan memaksakan diri. Kaidah fikih, bila tidak bisa melakukan semua, jangan pula ditinggalkan semuanya, haruslah tetap menjadi pegangan.
Perlu kepala dingin dan kerendahan hati. Tidak boleh emosi apalagi mau menang sendiri. Kemenangan harus membuat kita lebih tertunduk tafakur, bukan malah menepuk dada menyombongkan diri.
Dekat dengan umat dan ulama menjadi formula berikutnya. Sebagai kantong santri secara politik Jabar sudah lama menjadi basis kemenangan partai Islam. Pada pemilu 1955 Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menjadi partai pemenang pemilu di Jabar mengalahkan PNI dan PKI. Jadi secara tradisi Jabar adalah daerah "hijau."
Formula berikutnya memperbesar koalisi dengan partai-partai lain, harus menjadi bagian strategi. Pasca pilkada DKI ada seruan-seruan akan memboikot partai pendukung Ahok yang disebut sebagai partai pendukung penista agama.
Dalam barisan yang dituding sebagai partai pendukung penista agama terdapat Nasdem, PDIP, Golkar dan Hanura. Partai-partai ini ditambah PPP Djan Faridz menjadi pendukung Ahok dalam Pilkada DKI putaran pertama. Pada putaran kedua barisannya bertambah dengan PKB dan PPP kubu Romahurmuzy.
Partai-partai tersebut di atas, pasti mengambil hikmah berharga dari Pilkada DKI. Mereka tidak mau dihukum di Pemilu 2019 karena melakukan kesalahan serupa di Jabar.
Partai-partai berbasis Islam atau yang punya irisan dengan Islam cukup besar seperti Golkar berpotensi dirangkul.
Semangatnya membuat koalisi yang berkah, mumpung masih dalam suasana ramadhan. Poros kebaikan.
PKS factor
Di Jabar posisi PKS cukup unik. Bukan partai pemenang pemilu, tapi dua periode berturut-turut menempatkan Ahmad Heryawan kadernya sebagai gubernur. Selain karena pilihan figur, kemenangan itu menunjukkan mesin politik PKS di Jabar cukup solid dan mantap.
Pada Pilkada 2008 bersama PAN, PKS mengusung pasangan Aher-Dede Yusuf. Dua anak muda dari partai kecil ini harus berhadapan dengan nama-nama besar seperti Agum Gumelar dan Gubernur incumbent Dani Setiawan. Perpaduan popularitas Dede, mesin politik PKS dan pengalaman Aher sebagai Ketua DPW PKS DKI membuat pasangan ini bisa menjungkirbalikkan berbagai prediksi.
Pengalaman serupa berulang pada Pilkada 2013. Aher yang berpasangan dengan Deddy Mizwar harus berhadapan dengan Dede Yusuf yang sangat populer dengan elektabilitas tinggi, serta artis Rieke Diah Pitaloka yang didukung PDIP.
Sekali lagi mesin politik PKS ditopang oleh popularitas Deddy Mizwar dan kinerja Aher, berhasil memutar balikkan hasil prediksi berbagai lembaga survei.
Jadi PKS sudah membuktikan setidaknya dua kali di Jabar bahwa popularitas dan elektabilitas yang tinggi dari seorang kandidat yang dilansir lembaga survei, tidak jadi jaminan akan memenangkan Pilkada.
Jika sekarang lembaga survei banyak menjagokan RK, maka dibandingkan Agum (2008), Dede (2013), populatitas, nama besar dan elektabilitas RK belum ada apa-apanya.
Jangan lupa Aher sekarang bukanlah Aher yang sama dengan Aher di 2008 dan 2013.
Aher sekarang telah menjelma menjadi Gubernur Jabar yang sangat beprestasi dan salahsatu gubernur terbaik di Indonesia.
Aher telah menjelma menjadi representasi tokoh Jabar dan tokoh umat di panggung politik nasional.
Siapapun calon yang didukung Aher patut diperhitungkan sebagai lawan berat. Dengan jaringan disimpul-simpul pesantren, ulama, tokoh masyarakat, birokrasi pemerintahan, Aher tinggal melakukan aktivasi untuk menggerakkannya menjadi mesin politik yang massif.
Wilayah Jabar yang begitu luas dengan jumlah pemilih terbanyak di Indonesia, memaksa seorang kandidat harus bekerja keras menjangkau kantong-kantong pemilih.
Perlu waktu yang panjang, dana yang besar dan tentu saja kesabaran, untuk bertemu dan bertatap muka dengan konstituen. Banyak daerah yang tidak terkena terpaan media massa, apalagi media sosial. Semua kemewahan itu dimiliki oleh gubernur incumbent seperti Aher dan tentu saja wakilnya Deddy Mizwar.
Menjaga keutuhan
Dengan berbagai kalkulasi politik di atas, koalisi PKS-Gerindra, umat dan ulama bukan tidak punya kelemahan. Kata kuncinya pada keutuhan suara umat dan kerendahan hati.
Sejumlah lembaga survei telah melansir nama figur yang populer dan layak berkontestasi dalam Pilkada Jabar 2018. Selain RK dan Wagub Deddy Mizwar, nama dai kondang Aa Gym termasuk yang paling populer.
Fakta itu patut disyukuri dan dibarengi dengan kehati-hatian. Pujian dan nama besar bisa menjadi sebuah jebakan. Sebab bisa jadi itu sebuah skenario untuk memecah suara dan persatuan umat.
Andaikan PKS dan Gerindra akhirnya mengusung Deddy Mizwar dan harus berhadapan dengan Aa Gym yang diusung oleh partai lain, maka calon lain akan menyalip di tingkungan.
Kalau masih mau menang pilkada di Jabar dan kemenangan umat berlanjut, rapatkan barisan! Harus ada yang berani menjadi imam shalat dan menyatakan "Lurus dan rapatkan shaf, barisan.end
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik
Advertisement