Antara Jogja, Illinois dan Wisconsin
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X baru-baru ini membuat pernyataan yang menyentak banyak pihak, sehingga ramai diperbincangkan di media sosial. Intinya, Jogja menolak jalan tol. "Saya tidak setuju adanya jalan tol karena rakyat tidak akan mendapatkan apa-apa, diperlebar silakan tetapi jangan ditol. Tol sing untung ming (menguntungkan) yang membuat tol, tetapi rakyat di sekelilingnya (tak dapat apa-apa) karena jalan ditutup," ucapnya (Kompas.com).
Pernyataan itu menyentak karena sebagian besar kita menganggap bahwa jalan tol adalah keniscayaan. Bahkan sebagian lagi beranggapan bahwa jalan tol adalah simbol kemajuan suatu daerah. Suatu daerah belum dianggap maju sebelum ada jalan tol di daerah tersebut. Jalan tol dianggap mencerminkan tingkat interkoneksitas daerah tersebut.
Sebenarnya, pernyataan Gubernur DIY seperti itu adalah konsekuensi logis dari otonomi daerah. Setiap daerah berhak membuat kebijakan pemerintahan yang berbeda sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat daerahnya, sesuai dengan kewenangan yang ada padanya.
Mungkin saja kewenangan pembuatan jalan tol berada pada pemerintah pusat, tetapi perijinan dan hal-hal menyangkut perwilayahan jalan tol tentulah merupakan kewenangan daerah. Artinya, sebuah pemerintah daerah (pemda) berhak menyatakan mengijinkan, atau menolak jalan tol.
Isu jalan tol dan otonomi daerah sebenarnya bukan hal baru. Di negara-negara yang telah lama menjalankan otonomi daerah, isu ini sudah selesai. Yang menarik justru filosofi kebijakan yang melatari sebuah pemda untuk mengadopsi atau menolak jalan tol.
Untuk itu, mari kita melihat sebuah contoh menarik yang kontras dari Illinois dan Wisconsin, dua negara bagian yang bersebelahan di bagian utara Amerika Serikat (AS). Di Illinois, di mana-mana ada jalan tol, dari Utara ke Selatan, dari Timur ke Barat. Sebaliknya, di Wisconsin tidak jalan tol. Ke mana-mana semua jalan tak berbayar.
Illinois dan Wisconsin
Illinois adalah sebuah negara bagian Amerika Serikat yang terletak di tepi Danau Michigan. Illinois terkenal dengan kota besarnya Chicago yang terkenal dengan perseteruan antara agen pemerintah Elliott Ness (the Untouchables) dan gembong mafia Al Capone. Beberapa presiden AS memulai karier politiknya dari Illinois, seperti Presiden Abraham Lincoln, dan yang terakhir Presiden Barack Obama.
Masyarakat Illinois terkenal dengan sikap individualistiknya yang kuat, dan ini tercermin pula pada budaya politik yang berkembang di negara bagian tersebut. Dalam konteks jalan tol, filosofi kebijakan di Illinois adalah “pay as you go,” siapa pakai dia bayar. Yang tidak pakai, tidak usah bayar. Bagi masyarakat Illinois, prinsip seperti itu adalah adil.
Adalah tugas pemerintah untuk memberikan pilihan (choice) bagi masyarakat, mau pakai jalan tol atau tidak. Bagi yang tidak bersedia menggunakan jalan tol, tersedia jalan biasa, yang juga baik dan mulus, namun biasanya banyak hambatan, lampu merah, lalulintas lokal dan sebagainya. Itulah sebabnya jalan tol juga sering disebut jalan bebas hambatan.
Namun kalau Anda berkendara dari Illinois ke arah utara, begitu memasuki wilayah negara bagian Wisconsin, jalan tol tiba-tiba menghilang. Yang ada adalah highway biasa. Tidak ada pintu tol dan tidak usah bayar. Oh, jalan di Wisconsin tetap mulus dan lebar, namun melewati pemukiman-pemukiman penduduk. Setiap saat anda bisa mampir membeli susu segar dan berbagai produk industri rumah tangga kejunya yang terkenal.
Bagi masyarakat Wisconsin, filosofi pay as you go yang melatari kebijakan jalan tol di Illinois tidaklah adil. Yang bisa bayar bisa pakai, tapi bagaimana dengan yang tidak bisa bayar? Hal ini dianggap sebagai sebuah bentuk diskriminasi atas dasar kemampuan ekonomi.
Masyarakat Wisconsin menganggap jalan adalah fasilitas public goods yang harus disediakan oleh negara, dan siapa pun berhak menggunakannya secara sama. Itulah gunanya negara diberi kewenangan untuk mengutip pajak, yang kemudian sebagian digunakan untuk membangun jalan yang layak bagi semua warganegara.
Wisconsin, yang juga terletak di tepi Danau Michigan, memang adalah suatu negara bagian di AS yang cenderung sosialistik. Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan ke kanan, politik Wisconsin secara tradisional cenderung leftist, pro welfare, dan pro Partai Demokrat.
Enam dari tujuh pemilihan presiden terakhir, masyarakat Wisconsin selalu memilih capres dari Partai Demokrat. Namun demikian, Ketua Kongres AS sekarang adalah Paul Ryan, wakil dari Wisconsin dari Partai Republik, yang juga seteru dari Presiden Donald Trump.
Dua Pilihan Kebijakan
Mengadopsi atau menolak jalan tol pada dasarnya adalah dua pilihan kebijakan yang dua-duanya sah. Dua-duanya mempunyai landasan filosofi yang kuat. Setiap pemda bisa memilihnya dengan menghitung untung-ruginya bagi masyarakat dan daerahnya masing-masing, dan tentu saja konsekuensinya. Karena setiap kebijakan pasti ada konsekuensinya.
Bagi Illinois, mengadopsi jalan tol berarti bisa menggunakan dana pihak swasta untuk membangun jalan, sehingga anggaran pemerintah bisa digunakan untuk hal-hal penting lainnya. Sebaliknya, penghasilan dan pajak dari jalan tol, merupakan tambahan yang penting bagi anggaran pemerintah the State of Illinois. Konsekuensinya, pajak-pajak daerah di Illinois relatif lebih rendah.
Lain halnya dengan Wisconsin. Karena semua jalan dibiayai oleh anggaran pemerintah the State of Wisconsin dan tidak ada tambahan penghasilan dan pajak dari jalan tol, maka tidak ada jalan lain, pemerintah Wisconsin harus menarik berbagai jenis pajak yang cenderung lebih tinggi daripada di Illinois.
Harga bensin, misalnya, pastilah lebih tinggi di Wisconsin daripada di Illinois, karena fuel tax di Wisconsin (32.9 sen dollar per gallon) jauh lebih tinggi daripada di Illinois (20.1 sen dollar per gallon). Begitu juga pajak-pajak daerah lainnya.
Di Indonesia, tentu saja ada beberapa perbedaan yang cukup kompleks, karena adanya kategori jalan nasional, jalan propinsi, dan jalan kabupaten/kota, serta distribusi kewenangan yang berbeda menyangkut jalan tol dan pajak daerah. Namun, setiap kebijakan pasti ada konsekuensinya. Tinggal memilih, dengan memperhitungkan untung-ruginya. Wong, bisa milih kok. Dan dua-duanya adalah pilihan yang sah dalam paradigma otonomi daerah. ***
Advertisement