Antara Covid-19 dan Dajjal (2)
Oleh: Anwar Hudijono
Jika ciri pertama Covid-19 sebagai pertanda semakin intensifnya Dajjal beroperasi menjalankan misinya adalah misterius, maka ciri kedua adalah kehidupan jungkir balik. Contoh jungkir balik secara fisik itu atraksi kepala di bawah kaki di atas. Tapi jungkir baliknya kehidupan berarti dibaliknya nilai-nilai kehidupan umat manusia.
Rabbi a’lam (Tuhan lebih tahu)
Dajjal membawa dua sungai. Satu berisi air dan satu lagi berisi api. Rasulullah mengingatkan, airnya Dajjal itu pada dasarnya api. Sedang apinya Dajjal itu air. Rasulullah menyuruh umatnya untuk meminum sungai yang berisi apinya Dajjal dengan cara memejamkan mata. Maka yang akan didapatkan justru air yang segar dan nikmat.
Intinya, kenikmatan dan kesenangan yang ditawarkan Dajjal pada hakikatnya mengantarkan ke neraka. Sedang kesengsaraan dan kegetiran yang ditawarkan Dajjal pada hakikatnya mengantar ke surga. Kaum beriman pasti menginginkan surga karena itulah kenikmatan sejati dan abadi. Dan itulah pada dasarnya tujuan akhir.
Covid-19 memberikan tanda tentang hal yang jungkir balik. Positif berarti terinfeksi. Orang yang terifeksi berarti negatif alias buruk. Sedang jika seseorang dinyatakan negatif berarti baik alias positif. Maka jika orang dinyatakan negatif senangnya bukan kepalang. Coba ketika sebelum era Covid-19 disebut negatif, bisa ngamuk. Minimal mukanya berubah masam seperti nembak cewek tapi ditolak.
Covid-19 menghadirkan anjuran jaga jarak alias physical distancing. Akhirnya barisan shalat jamaah pun menjadi renggang. Sementara sunahnya lurus dan rapatkan shaf alias barisan sebagai syarat sempurnanya shalat berjamaah. Maka, nilai pun sudah dijungkirbalikkan. Menunaikan sunah menjadi hal yang dilarang atau tidak dianjurkan.
Hubungan Manusia
Berjabat tangan adalah bagian tradisi umat manusia. Di Islam termasuk sunah. Ada sebagian umat yang berpandangan salaman sambil mencium tangan itu untuk ngalap (mendapat) barokah seperti anak kepada orangtuanya, santri kepada kiainya. Gara-gara Covid-19, dianjurkan tidak jabat tangan. Berkuranglah nilai keakraban dan keadaban dalam tata hubungan manusia. Macetlah transfer barokah. Terbalik lagi kan?
Ada lagi. Jamaah adalah bagian integral dari sistem keumatan Islam. Tiada Islam tanpa jamaah. Secara universal berjamaah juga naluri manusia. Tidak ada manusia yang mau hidup seorang diri seperti setitik embun di dedaunan. Mesti ingin menjadi setitik air yang merupakan bagian dari sungai besar.
Tapi Covid-19 telah membalikkan. Jangan bergerombol, jangan berkumpul-kumpul. Termasuk kumpul-kumpul untuk majelis taklim, jamaah Surah Yasin, Dhiba’an, Manakiban, Mauludan, Mocopatan. Apalagi kumpul-kumpul sambil guyon. Makan bersama. Atau sekadar ngopi bareng sambil mengunyah jadah. Akhirnya, keluarga jadi jarang saling mengunjungi. Ikatan kekeluargaan merenggang. Ikatan jamaah longgar. Umat terserak-serak. Acara silaturahmi Lebaran pun jadi tidak seksi lagi.
Bagaimanapun silaturahmi secara fisik lebih terasa hangat dan akrab daripada silaturahmi virtual yang garing dan sepo. Coba sikap ketawa, senang, bersedih, marah hanya diungkapkan dengan emoticon atau sticker. Tanpa disadari terlah terjadi pendangkalan makna yang luar biasa.
Naluri dasar manusia untuk berkeluarga, berkumpul, bersilaturahmi memang tidak bisa dipadamkan. Tapi Covid-19 tak tinggal diam. Maka Covid-19 melengkapi diri dengan aturan hukum formal. Yang berkumpul-kumpul, berkerumun, apalagi bertumpuk-tumpuk mesti dilarang, diancam, ditangkap, diborgol, didenda, sampai dipenjara.
Ya Saya Sendiri
Tatanan dunia sedang mengalami jungkir balik secara massif. Istilah para dalang wayang kulit: sungsang bawana balik (tatanan dunia dijungkir balik). Secara fisik dunianya sih tetap saja. Kaki tetap di bawah sedang kepala di atas. Lagit di atas sedang tanah di bawah. Yang lain juga tetap di tempatnya. Yang jungkir balik adalah tata nilainya.
Dalam kaitan sungsang bawana balik. Rasulullah sudah mengingatkan dalam Hadits Riwayat Ibnu Majah: Akan datang tahun-tahun penuh kedustaan yang menimpa manusia. Pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan. Amanat diberikan kepada pengkhianat. Orang jujur dikhianati. Ruwaibidhah turut bicara. Lalu Rasulullah ditanya, apakah ruwaibidhah itu? Rasulullah menjawab, orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum.
Mau tahu ruwaibidah? Sangat mudah ditemukan, Yaitu di media, khususnya media sosial. Di situ bertebaran manusia yang memiliki ciri “3-kem”. Yaitu, keminter, kemeruh, kemlinthi. Artinya: sok pintar, sok tahu, sok paling jago. (Gitu itu ya bukan siapa-siapa. Tapi ya saya sendiri hahahaha).
Apa saja dikometari. Apa saja diposting. Terhadap hal apa saja, merasa dirinya paling tahu dan baling benar. Bicara berubah jadi bernuansa meludah. Berpendapat bernuansa menghujat dan mengumpat. Diskusi menjadi bulli dan caci maki. Dialog berubah jadi olok-olok dan tohok-tohok.
Ranah virtual publik sepi dan garing dengan nilai wa tawa shabil haqqi wa tawa shaubis-shabr (saling nasehati dalam bidang kebenaran dan kesabaran). Sebaliknya riuh ramai, hiruk pikuk, gegap gempita dengan ujaran kebencian, propaganda kebohongan, penyebaran permusuhan, pernyataan dan postingan yang sia-sia, tanpa makna. (Gitu itu bukan orang lain tapi ya saya sendiri hihihihi).
Dunia ruwaibidhah telah menggelincirkan martabat dan derajat manusia. Kelas manusia penyandang gelar-gelar akademik telah turun kelas menjadi nitizen kelas urakan. Pemilik gelar kehormatan sosial turun kelas jadi nitizen blakrakan.
Kenapa? Gelar akademik tertinggi itu membawa konsekuensi pemiliknya bicara berlandaskan kaidah ilmiah, dipikir matang-matang sebelum diungkap. Pemilik gelar sosial kehormatan itu menuntut bersikap airf bijaksana, tidak asal bicara. Sementara kelas nitizen urakan bin blakrakan itu pokok asal njeplak, asal ngomong, asal komen, asal pencet tombol smartphone.
Sungsang bawana balik ini sebenarnya hanya varian dari kebohongan akbar yang dibawa Dajjal. Bagian kecil dari kepalsuan mahadahsyat yang disebarkan Dajjal. Dan Covid-19 membawa tanda-tanda itu dengan banyak varian seperti pandemi hoax (pandemi kebohongan), fake news (berita palsu), infodemik (misiformasi di kalangan masyarakat akademis), Deep fake, belum lagi malinformasi dan disinformasi.
Varian-varian itu, insya Allah akan saya uraikan di ciri ketiga Covid-19 sebagai pertanda semakin dekatnya kemunculan Dajjal. Hingga puncaknya pada kegelapan total. Sehingga mata eksternal ini tidak bisa membedakan lagi yang haq dengan yang batil, yang ori dengan yang palsu, kejujuran dengan kedustaan, hoax dengan fakta dll.
Sampai-sampai untuk mengetahui secara benar dan presisi harus menggunakan mata hati, bashirah. “Minumlah air apinya Dajjal dengan memejamkan mata. Biarkan mata hati yang melihat. Maka akan mendapat air segar dan nikmat yang sejatinya.”
Kita rehat sejenak.
Rabbi a’lam amma ba’du.
* Anwar Hudijono, kolumnis tinggal di Sidoarjo.
Advertisement