Antara Banjir dan Shinkansen, Perilaku yang Bikin Malu
Kawasan Jakarta dan kota-kota terdekatnya diserbu air. Banjir pada mula di tahun 2020. Tahun baru dengan cerita lama.
Bikin malu? Iya. Sedih? Iya. Entah mengapa kita selalu mengulangi kesalahan yang sama.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, berbalas pantun seusai peninjauan bersama. Tentang apa yang jadi penyebab. Padahal keduanya sama-sama Kagama.
Entah, apa penghalangnya, hingga diskusi tidak bisa diselesaikan ala cara Jogja. Wedangan, ngobrol dengan andap asor mencari penyelesaian. Mungkin Pak Basuki sudah tak kuat lagi,
Yang bikin ramai lagi tentu para pendukung Gubernur Anies dan Presiden Jokowi.
Saling sindir. Memunculkan judul berita sebelumnya. Yang bisa bikin orang tersenyum getir bila membacanya.
Misalnya, untuk amunisi dari para pengkritik Presiden Joko Widodo. Mereka berbagi judul berita ini. "Jokowi: Macet dan Banjir Lebih Mudah Diatasi Jika Jadi Presiden" yang terbit pada Senin, 24 Maret 2014.
Lalu, pendukung Pak Jokowi ganti membalasnya. Tentu saja dengan potongan berita ini. "Anies: Naturalisasi Kita Jalankan, Akhir 2019 Kita Lihat Hasilnya" yang terbit pada Kamis, 2 Mei 2019.
Sebenarnya, fakta dua berita itu sama. Apa yang dijanjikan, jauh gula dari kopi. Tak ada manisnya. Karena tak yang kejadian.
Tapi, itulah sifat utama politisi berbagi janji. Namanya juga janji, bisa ditepati langsung atau bisa juga masih dalam proses. Yang pasti, kalau sudah berjanji, ya harus dipenuhi.
Bisa jadi, rencana Pak Jokowi memindahkan ibu kota, bagian dari janji lama itu. Ketika penyelesaian urusan klasik macet dan banjir ini tak semudah seperti membeli lewat toko online.
Pak Jokowi yang saat jadi Gubernur DKI pernah masuk gorong-gorong ini, melihat ada perilaku masyarakat yang juga salah. Kebiasaan membuang sampah sembarangan. Di matanya itu ikut andil atas banjir tahunan ini.
"Ada yang memang karena kesalahan kita yang membuang sampah di mana-mana," ujar Pak Jokowi kepada wartawan seusai pembukaan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), di Jakarta, Kamis, 2 Januari 2020.
Sendirian Pak Jokowi memang masuk. Tapi ada yang lebih penting. Semoga Pak Jokowi, Pak Basuki, dan Mas Anies bisa bahu-membahu. Kalau berantem terus, bisa bikin malu. Sesama anggota Kagama kok jadi seteru.
Untungnya, sebagai organisasi, Kagama juga meluncurkan Kagamacare. Inisiasi untuk membantu korban banjir. Meringankan beban mereka.
Tentu saja, ngomongin perilaku warga kita ini, ada juga yang bikin malu. Di Jepang, saat mereka jadi wisatawan. Urusan tak jauh dari melanggar aturan.
Mereka bergerombol untuk berfoto dengan latar kepala kereta Shinkansen yang menawan itu. Padahal kereta dalam posisi siap berangkat. Masalahnya, sebagian dari mereka menginjak garis kuning batas aman kereta lewat.
Alhasil, karena saking baiknya si masinis, kereta menunggu mereka selesai berfoto. Mungkin, di benaknya, paling foto cuma sebentar. Sayangnya, Pak Masinis kecele.
Rombongan wisatawan terlalu bersuka cita. Selfa-selfie banyak. Imbasnya, Shinkansen terlambat.
Konon, sampai 10 menit. Akhirnya, Pak Masinis harus membunyikan klaksonnya. Sesuatu yang jarang dilakukan, agar mereka bergeser.
Peristiwa ini bikin geli, tapi bikin malu. Kampungan? Memang sih.
Tak heran, KBRI Tokyo akhirnya mengimbau setiap WNI yang tengah berlibur di Jepang untuk mematuhi aturan serta mengerti tata tertib yang berlaku. "Mari kita jaga nama baik Indonesia," tulis KBRI di twitternya.
Harap maklum, bagi setiap wisatawan manca, Shinkansen itu luar biasa. Lokonya futuristis. Tak bosan kita dibuatnya.
Larinya juga kenceng banget. Nyaman tiada tara. Saya mengalaminya sendiri.
Shinkansen sendiri dibuka pertama kali pada 1 Oktober 1964. Awalnya untuk menyambut Olimpiade Tokyo. Moda ini menjelma jadi kebanggaan warga Jepang.
Kecepatannya bisa menembus 300 Km perjam. Saat ini, jalur Shinkansen memiliki enam rute utama dan dua rute pendek. Untuk enam rute utama sepanjang 2,615.7 km. Sedangkan dua rute pendek sejauh 283.5 km.
Hingga saat ini, lebih dari 11 miliar perjalanan dicatatkan. Bisa dikatakan, secara kumulatif, inilah moda kereta api yang paling sering digunakan di dunia. Selama lima dekade, sudah lebih dari 5.6 milliar penumpang.
Tiap tahun, sekitar 300 juta perjalanan. Posisi perjalanan tahunan ini, disalip oleh China pada 2013. Mereka sudah menembus 440 juta perjalanan kereta api tiap tahun.
Selain ketepatan keberangkatan, masinis Shinkansen pun dilatih memberhentikannya tepat di garis naik penumpang. Biasanya, tiga menit sebelum kedatangan, para calon penumpang sudah berdiri. Mereka antre di garis keberangkatan.
Saat kereta berhenti, penumpang turun akan didahulukan. Lantas penumpang baru akan bergegas naik. Tak sampai dua menit. Kereta akan berderak. Efisien sekali.
Di dalam kereta, ada petugas yang berkeliling. Jangan bayangkan ada kondektur. Tak ada itu. Petugas yang berkeliling hanya memastikan kondisi keamanan penumpang. Yang keliling jualan makanan juga ada.
Saya sempat bertemu dan ngobrol dengan wisatawan Australia dalam perjalanan dari Tokyo ke Osaka. Menurutnya, shinkansen sangat bagus. "Yang mahal di sini, harga makanannya," katanya sambil tertawa.
Sebenarnya, Shinkansen juga mengajarkan satu hal penting. Budaya disiplin tiada tara. Karena ketepatan adalah inti dari budaya Jepang.
Bahkan, tahun lalu, seorang juru bicara perusahaan kereta api Jepang menyampaikan permohonan maaf atas satu pelanggaran yang "benar-benar tidak dapat dimaafkan". Tepatnya pada 17 Mei 2018. Apa pelanggaran itu?
Ternyata, kereta berangkat dari Stasiun Notogawa di Shuga Prefecture, 25 detik lebih cepat dari jadwal. Masinis tanpa sengaja menutup pintu. Kereta berangkat pukul 7:11:35 pagi, seharusnya pukul 7:12 pagi.
Imbasnya, sang masinis harus dilatih lagi. Untuk memastikan, hal itu tak terulang lagi. Karena banyak penumpang yang harus mengecek ulang jamnya.
Insiden itu menunjukkan bagaimana masyarakat Jepang sangat terobsesi dengan ketepatan waktu. Semangat ketepatan waktu dimulai saat era Meiji (1868-1912). Pemerintahan baru meninggalkan tradisi dan memulai modernisasi.
Pada 1872, Jepang meninggalkan sistem penanggalan lama. Mengikuti penanggalan global. Termasuk mulai mengadopsi menit dan detik.
Jadi tradisi yang panjang telah membentuk warganya. Jadi cukup dibayangkan saja, bagaimana warga Jepang mensikapi perilaku turis kita itu. Yang membuat Shinkansen terlambat 10 menit. Ini yang maju 25 detik saja dianggap pelanggaran tak termaafkan.
Ajar Edi, Kolomnis Ujar Ajar