Anjingnya Sudah Pindah ke Baghdad
Panorama 1960an di Kairo, Mesir, memang tak semarak sekarang. Jalan-jalan pun tak seramai sekarang. Banyak orang di negeri Raja Firaun itu, jerohan sapi tak ada harganya. Jerohan dianggap dianggap hanya anjing yang layak memakannya.
Tapi, bagi santri-santri Jawa, jelas itu makanan bergizi. Di antara penggemar berat jerohan sapi sekaligus ahli memasaknya adalah Gus Dur. Pembagian tugas pun diatur, di antara mereka. Karena lebih ahli tentang seluk-beluk pasar, Gus Mus bertugas belanja (Gus Dur lebih hafal gedung bioskop daripada pasar), sedang Gus Dur menjadi kokinya.
Jerohan sapi berhasil diperoleh dengan harga amat murah dari seorang tukang jagal. Malahan, karena rutin berbelanja jerohan sehingga berteman akrab dengan si jagal. Lama kelamaan sering jerohan diberikan secara gratis. Hanya saja, si jagal terheran-heran dengan konsumsi jerohan yang begitu banyak dan sering itu.
"Memangnya kamu pelihara anjing berapa?" tanyanya. Gus Mus garuk-garuk kepala.
"Yaa...ada lah..."
Singkat cerita, setelah empat tahun di Kairo, Gus Dur pindah ke Baghdad. Tak ada lagi koki, Gus Mus pun berhenti belanja jerohan.
Cukup lama Gus Mus tak bertemu si jagal langganannya, sampai suatu hari kepergok tak sengaja.
"Hai, apa kabar?" si jagal menyapa.
"Baik. Bagaimana denganmu?"
"Alhamdulillah... Kamu kok nggak pernah ngambil jerohan lagi?" si jagal bertanya, "Memangnya sudah nggak pelihara anjing lagi?"
Gus Mus meringis, "Sudah pindah ke Baghdad..."
Kisah ini diceritakan Gus Dur sendiri kepada KH Yahya Cholil Staquf. Karena menyangkut pamannya, Gus Mus (KH A Mustofa Bisri), maka kemudian Gus Yahya konfirmasi kepada beliau. Tapi beliau mengaku tidak ingat. (adi)