Angkutan Umum di Kabupaten Probolinggo Belum Ramah Disabilitas
Angkutan umum di Kabupaten Probolinggo dinilai belum ramah terhadap penyandang disabilitas. Padahal jumlah penyandang disabilitas di Kabupaten relatif besar, 7.424 orang, di mana mereka tersebar di kecamatan sepanjang jalan nasional pantai utara (Pantura) Probolinggo sebanyak 3.362 orang (42,2 persen).
"Sisi lain fasilitas yang kita bangun seperti, halte untuk umum, bukan untuk penyandang disabilitas," kata Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Probolinggo, Edy Suryanto saat membuka pemaparan draft laporan studi konsep pengembangan angkutan ramah penyandang disabilitas di sebuah ruang pertemuan sebuah resto di Probolinggo, Senin, 27 Mei 2024.
Tidak sebatas halte, fasilitas seperti, gedung-gedung pelayanan publik hingga toiletnya, harus ramah disabilitas. "Kalau kendaraan umum yang ramah disabilitas di antaranya bus Trans Jatim. Kita mungkin baru bisa mewujudkan lima tahun lagi," ujarnya.
Edy mengaku bersyukur, demi mewujudkan fasilitas ramah disabilitas itu dibantu pemerintah Australia melalui Kemitraan Indonesia Australia untuk Infrastruktur (KITA) dan Gender Equality and Social Inclusion in Infrastucture (GESIT). "Untuk studi angkutan ramah disabilitas, kami dibantu Universitas Jember," katanya.
Pada forum diskusi yang dihadiri sejumlah pemangku kebijakan (stakeholder) di Kabupaten Probolinggo, Prof. Entin Hidayah dan timnya dari Universitas Jember memaparkan hasil studinya.
"Penyediaan aksebilitas pada pelayanan jasa transportasi publik bagi pengguna jasa berkebutuhan khusus mengacu pada Permenhub Nomor 98 Tahun 2017 Pasal 3," ungkapnya.
Studi ini, kata alumnus S-1 dan S-3 Institut Sepuluh November (ITS) Surabaya itu untuk mengindentifikasi kebutuhan, karakteristik perjalanan, merekomendasikan rancangan fisik kendaraan serta perkiraan biaya dari pengembangan angkutan ramah disabilitas hingga kelayakan biaya operasional.
"Berdasarkan karakteristik perjalanan, selain pelajar, sebanyak 39,3 persen responden merupakan kelompok pekerja," kata alumnus S-2 University of Canbera, Australia.
Dikatakan dari sebanyak 66 responden, sekitar 98,2 persen bersedia menggunakan angkutan ramah disabilitas. Responden tersebar di wilayah Kabupaten Probolinggo ini menjadi pertimbangan dalam penentuan trayek dan keberadaan halte.
"Berdasarkan sebaran disabilitas maka trayek angkutan paling potensial untuk dikembangkan adalah trayek Paiton - Kraksaan - Pajarakan - Gending - Kota Probolinggo - Tongas," kata Prof. Entin.
Masih mengacu hasil studi, setengah dari responden disabilitas paling tidak melakukan perjalanan dua kali sehari. Sehingga jadwal yang disediakan juga dua kali sehari.
"Berdasarkan keinginan para penyandang disabilitas, jam operasional angkutan mulai pukul lima pagi hingga pukul sembilan malam," katanya.
Berdasarkan rekomendasi rancangan fisik kendaraan beserta fasilitasnya, maka direkomendasikan fasilitas berupa trotoar didesain ramah disabilitas. "Yakni dilengkapi ramp dan marka berbasis disabilitas," ujarnya.
Sesuai hasil studi, pengadaan (investasi) 22 moda transportasi berupa minibus (kapasitas 15 penumpang) memerlukan dana Rp12,43 miliar. Sementara biaya operasional per hari Rp83,16 juta.
Dalam diskusi sejumlah peserta mempertanyakan, seputar halte. Mulai di mana dibangun hingga menjadi aset instansi mana.
"Apakah halte untuk disabilitas ini juga bisa untuk umum? Halte menjadi aset mana?" ujar Erisa Luthfiana dari Dinas Perkim.
Termasuk ada yang mempertanyakan apakah minibus untuk disabilitas bisa untuk kaum yang rentan seperti, anak-anak dan perempuan.
Demi kesetaraan bersama (inklusif), semua fasilitas penyandang disabilitas, kata Prof. Entin juga bisa untuk warga pada umumnya.