Angka Kemiskinan di Surabaya Disebut Turun Drastis, DPRD Kaget dan Minta Pemkot Lakukan Survei
Anggota Komisi D DPRD Kota Surabaya, Imam Syafii mengatakan, pihaknya menyoroti data kemiskinan yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya yang menyebut kemiskinan di Kota Pahlawa turun drastis. Menurutnya, data itu justru harus dipertanyakan.
Imam menjelaskan, data Dinsos Kota Surabaya menyebutkan angka kemiskinan terjun jauh menjadi 26 ribu Kepala Keluarga (KK) atau 74 ribu jiwa saja. Sementara, data yang dihimpun Dispendukcapil menyatakan bahwa populasi penduduk Kota Surabaya terhitung mencapai 3,7 juta jiwa.
Politikus NasDem ini mempertanyakan data kemiskinan yang dihimpun oleh Dinsos Kota Surabaya dan dianggapnya tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
"Saya terus terang kaget sekaligus ingin ketawa sebetulnya. Karena ternyata angka keluarga miskin di Surabaya itu, menurut data yang disampaikan Dinas Sosial tinggal 74 ribu jiwa warga Surabaya atau sama dengan 26.000 KK," ungkapnya, Rabu 13 November 2024.
Imam bahkan juga menyebut, angka kemiskinan ekstrim menurut data Dinsos tersebut diklaim sudah menyentuh angka nol. Data tersebut bukan justru membuat dirinya gembira, tapi kaget dan geli.
"Kemiskinan ekstrim sudah enggak ada katanya, terus terang saya kaget, juga geli karena setahun yang lalu saya melihat angkanya sekitar 200 atau 300 ribu dari masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang mencapai 1,3 juta," ungkapnya.
Data angka kemiskinan yang turun drastis menurutnya berbeda jauh dengan data sebelumnya, dimana sebelumnya terdapat 130 ribu KK di Kota Pahlawan yang teridentifikasi sebagai keluarga miskin (gamis) dan rumahnya tertempel stiker merah sebagai tanda identifikasi gamis.
"Kalau sekarang tinggal 74 ribu, berarti stiker-stiker itu tidak aktif lagi dan harus dicopot. Masalahnya, yang kami pertanyakan, apa betul mereka sudah tidak miskin? Karena ini jauh dari akal sehat,” ucapnya.
Terjadinya ketidakakuratan data tersebut menurut Imam disebabkan karena kriteria kemiskinan yang ditetapkan pemerintah pusat. Menurut Imam, misalnya keluarga yang memiliki handphone, sepeda motor atau rumahnya berkeramik dianggap tidak miskin padahal secara taraf ekonomi masih tidak mampu.
"Kriteria kemiskinan yang digunakan pusat itu seringkali dikeluhkan, terutama oleh keluarga miskin. Misalnya, karena punya motor atau rumahnya berkeramik, mereka dianggap tidak miskin, padahal kenyataannya mereka masih kekurangan," ucapnya.
Apalagi di tengah situasi ekonomi yang tengah sulit dan terjadinya deflasi atau penurunan daya beli di masyarakat, Imam menyebut penurunan angka kemiskinan tersebut patut untuk dikritisi.
"Kami anggota dewan sering sekali mendapat keluhan warga yang kesulitan bayar sekolah, tidak bisa nebus ijazah, atau kesulitan mencari pekerjaan akibat banyak PHK. Saat kondisi negatif seperti ini, angka kemiskinan malah menurun. Hitungannya dari mana,"
Agar memastikan data kemiskinan tersebut riil dan sesuai dengan kenyataan di lapangan, Imam mengatakan, Pemkot Surabaya melalui OPD terkait harus melakukan survei secara mendalam terhadap keadaan ekonomi masyarakat Surabaya.
"Kalau memang ada data dari pusat tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya, pemerintah kota harus berani mengoreksi,” ungkapnya.
Imam juga menyebut, pegawai kelurahan dan kecamatan juga terkadang takut untuk melaporkan peningkatan angka kemiskinan atau stunting yang ada. Ada kekhawatiran bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi citra yang telah dibangun pemerintah kota.
"Kadang ada staf lurah atau camat yang enggan melaporkan penambahan angka kemiskinan karena khawatir performa pemerintah kota terlihat buruk. Padahal, yang penting itu data harus objektif dan jujur,” pungkasnya