Data e-Simfoni Angka Kasus Pelecehan Anak di Jatim Tinggi
Kasus pelecehan terhadap anak-anak di wilayah Jawa Timur masih saja terus terjadi. Untuk itu, upaya perlindungan terus dikembangkan utamanya di tengah masa pandemi virus corona atau Covid-19 untuk menjamin kesehatan.
Berdasar data e-Simfoni per Oktober 2020, kasus kekerasan seksual menempati tempat tertinggi dengan lebih dari 450 kasus, diikuti kekerasan psikis lebih dari 200 kasus, dan kekerasan fisik lebih dari 150 kasus.
“Maka, perlu ada program dan kegiatan pengasuhan bagi orang tua dan anak, khususnya anak-anak yang mengalami risiko tinggi dan telah menjadi korban kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah,” Direktur Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Tulungagung, Winny Isnaini, dalam webinar Diseminasi Policy Brief Tatanan Baru Layanan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak di Jawa Timur, Selasa 22 Desember 2020.
Selain itu, Winny Isnaini menjelaskan, ada beberapa fakta kalau keluarga belum menjadi jaminan tempat yang aman bagi anak. Terbukti, kekerasan pada anak cenderung terjadi di tempat-tempat yang sangat dikenal anak, atau dirasa aman oleh mereka.
Situasi rentan lainnya pada anak juga terjadi dalam fase pengasuhan. Tercatat, 95.793 kasus perceraian dari data Pengadilan Agama Jawa Timur pada 2019. Kondisi itu belum termasuk anak dalam keluarga berkonflik, keluarga terpisah, keluarga bercerai, keluarga pekerja migran, anak yang dilahirkan oleh ibu yang menjadi korban kekerasan, atau yang lahir dari orang tua yang tidak siap menikah atau siap memiliki anak. Bahkan, ada 5.766 anak meminta dispensasi nikah.
Dari berbagai permasalahan anak yang ada, lanjut Winny Isnaini, dirasakan perlu melakukan review pemenuhan dan perlindungan hak anak berbasis sistem. Termasuk juga melakukan penyesuaian jumlah SDM profesional dalam pelayanan anak dan penanganan kasus anak.
“Perlu dikembangkan layanan anak integratif yang meliputi penanganan anak berkasus dan anak dalam situasi rentan di seluruh daerah. Biar berdampak pada peningkatan penjangkauan dan pendampingan khusus pada kelompok anak rentan yang tidak tercatat,” ucapnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur Andriyanto berkomitmen, pada 2021 nanti semua pelayanan anak harus memiliki dashboard. Sehingga data-data yang ada bisa terintegrasi dengan baik.
“Di dalam dashboard nanti misalnya ada link yang langsung ke Dispendukcapil. Sehingga anak-anak yang tak memiliki akta kelahiran bisa terintegrasi, karena itu hak sipil mereka (anak-anak),” jelas Winny Isnaini.
Integrasi, kata dia, menjadi kunci dalam rangka membuat tatanan kesejahteraan anak. Dimulai dengan pelayanan anak, kekerasan anak sampai mengatasi pernikahan anak. “Termasuk juga pembentukan Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia (APSAI) di tiap daerah,” katanya.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi E DRPD Jatim Hikmah Bafaqih menuturkan, perlu adanya policy brief. Semua ini harus dikawal dan ditindaklanjuti menjadi regulasi baik berupa program maupun anggaran.
“Ada tiga kebutuhan besar anak dalam kelompok primer, sekunder dan tersier. Termasuk mereka yang memiliki risiko tinggi, dari kelompok rentan seperti mereka yang tinggal di daerah terpencil, masalah keluarga, pekerja migran sampai mereka yang di pengungsian,” katanya.
Untuk efektifitas, katanya, urusan anak tentu tidak hanya menjadi beban DP3AK saja, tapi juga lintas sektor yang bisa saling bahu membahu. Sehingga masalah anak bisa dipecahkan serta ada solusi yang diberikan. Kerja-kerja yang dibangun pun bisa fokus. “Saya juga sepakat ada data sebagai based line dalam bergerak,” sambungnya.