Anggur, Ikon Probolinggo yang kian Luntur
Kota Probolinggo dikenal sebagai Kota Bayuangga. Akronim dari “bayu”(angin), “ang” (anggur), dan “ga” ( mangga). Tetapi akhir-akhir ini ikon sebagai Kota Anggur kian luntur.
Rasanya sah-sah saja publik mempertanyakan kembali predikat Probolinggo sebagai Kota Bayuangga. Memang Angin Gending sebagai fenomena alam yang bertiup kencang mulai pertengahan hingga akhir tahun, siapa pun tidak menyangkalnya.
Tegakan pohon mangga juga masih banyak tumbuh subur di sejumlah pekarangan depan, samping, hingga belakang warga Probolinggo. Memang populasi pohon mangga terus berkurang karena terdesak permukiman.
Ikon anggur-lah yang layak dipersoalkan. Wajar eksistensi anggur terus luntur seiring dengan semakin langkanya tanaman itu.
Sekadar pembuktian, nama Jalan Angguran di Kebonsari Kulon, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo sekarang tinggal nama. Kebun anggur yang dulu rimbun, sekarang tinggal beberapa batang yang tersisa di halaman depan warga setempat.
“Sekarang ini jangan mencari tanaman anggur di Jalan Angguran, gak ketemu. Dulu, kata kakek buyut saya, di Jalan Angguran memang ada kebun anggur,” ujar Abdul Halim, warga Kelurahan Kebonsari Kulon, Minggu, 13 November 2022.
Pada 1990-an Kota Probolinggo memang dikenal sebagai penghasil anggur potensial di Jatim. Berangsur-angsur tanaman rakyat yang bercokol di halaman rumah itu mulai langka.
Pada 2002, Dinas Pertanian mulai menggalakkan salah satu ikon Kota Bayuangga itu. Hasilnya, meski belum memuaskan sekitar 11.000 tanaman anggur berhasil ditanam warga Probolinggo.
Pada 2014 tepatnya Selasa, 30 September 2014, Dinas Pertanian (Disperta) Kota Probolinggo mencanangkan Gerakan Penanaman Mangga dan Anggur”. Semua Satuan Kerja (Satker) di Pemkot Probolinggo saat itu diminta menanam minimal sebatang anggur dan sebatang mangga di lingkungan kantornya.
Sebutan “Anggur Probolinggo” sebenarnya merujuk pada empat varietas yakni, Belgi, Probolinggo Biru, Anggur Bali, dan Prabu Bestari. Dari keempat varietas itu, Prabu Bestari termasuk anggur unggulan di Kota Probolinggo.
Anggur yang buahnya ranum, besar, dan kemerahan itu merupakan hasil uji adaptasi dari anggur Red Prince (Anggur Merah). Bahkan saat diluncurkan (launching) pada 2007, Prabu Bestari disambut luar biasa sebagian petani. Mereka beramai-ramai menanam anggur merah itu di kebun dan pekarangan rumahnya.
Kementerian Pertanian pun mengapresiasi dengan memberikan bantuan pupuk. Tetapi pemberian pupuk kepada kelompok tani anggur itu berakhir pada 2010.
Sisi lain, penghentian bantuan pupuk itu bersamaan dengan erupsi Gunung Bromo yang abu vulkanisnya merusak tanaman anggur. Tanaman anggur juga rawan terserang embun tepung (powdery mildew) dan karat daun.
Disperta pun mencatat, pada 2009 lalu, populasi anggur di Kota Probolinggo mencapai 13.477 batang dengan produksi 35 ton. Pada 2010 populasi menurun menjadi 13.503 batang dan produksi 17 ton.
Pada 2011 populasi anggur terus turun menjadi 13.237 batang dengan produksi 14 ton. Pada 2012, populasi anggur tinggal 11.796 batang dengan produksi 38 ton. Pada 2013 lalu, versi Dinas Pertanian, populasi anggur tersisa 10.126 batang.
Berselang sekitar sepuluh tahun kemudian, jangan berharap Anda gampang menemukan tanaman anggur di Kota Probolinggo. Mungkin hanya tersisa “sebatang anggur” (istilah lain “sebatang kara”) di rumah-rumah warga Probolinggo. Itu pun biasanya batangnya sudah tua dan tidak terawat lagi.
Kalau ukuran perkebunan, ya tinggal kebun Anggur Probolinggo milik Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Perikanan (Dipertahankan) yang masih bertahan. Dulu memang ada Prayit yang punya perkebunan anggur di Jalan Mastrip. Tetapi sepeninggal Prayit, tidak ada lagi petani yang menanam anggur dalam skala besar. (bersambung)