Anggaran Timpang, Madrasah-Pesantren Diperlakukan Tak Adil
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih belum menerapkan asas keadilan. Madrasah hingga perguruan tinggi yang berada di bawah naungan Kementrian Agama tidak mendapatkan penganggaran yang sama dengan sekolah umum yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Persoalan itu, menjadi salah satu topik yang mencuat dalam acara bedah buku “Dualisme Sistem Pendidikan di Indonesia”, di IAINU Tuban pada Sabtu 20 Februari 2021.
Perlakuan tidak adil itu, terjadi sejak lama. Dari satu pemerintahan hingga ke pemerintahan yang lain. “Saya tidak tahu, kenapa hingga saat ini belum ada yang secara serius membicarakan ketimpangan itu. Padahal, masalah itu sudah menjadi pembicaraan sejak lama,” kata saya yang kebetulan juga sebagai penulis buku itu.
Jika dirunut ke belakang, akar dualisme sistem pendidikan itu, berawal dari kebijakan pemerintah Belanda yang melaksanakan politik etis pada awal abad 20. Belanda ingin menggunakan pendidikan yang dia selenggarakan untuk anak pribumi, sekaligus untuk mengokohkan kolonialismenya di Indonesia. Pendidikan pesantren yang sudah menjadi basis pendidikan masyarakat sejak Belanda belum menjajah Indonesia, secara sistematis dipinggirkan.
Kebijakan yang diterapkan Belanda ini, sangat bertendensi politik. Selain untuk melemahkan para santri yang terus melakukan perlawanan, juga sekaligus untuk memecah belah bangsa Indonesia. Selain itu, juga untuk menyebarkan agama Kristen di Indonesia. Sebab, di sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah Belanda itulah agama Kristen diajarkan. Sementara agama Islam yang menjadi agama mayoritas para siswa, malah tidak diajarkan.
Celakanya, ketika Indonesia merdeka, pola itu dipertahankan. Madrasah yang berakar dari pesantren di kelompokkan di bawah naungan kementerian agama. Sedang sekolah dikumpulkan di bawah pengelolaan kementrian pendidikan dan kebudyaan.
Memang, kondisinya tidak separah di jaman penjajahan. Artinya, setelah Indonesia merdeka, pelajaran agama diajarkan di sekolah umum, meski porsinya sangat minim. Namun, dari sisi penganggaran, masih terjadi ketimpangan yang sangat serius.
Mestinya, tidak ada masalah dengan model pengelompokan itu. Madrasah di bawah Kemenag dan sekolah di bawah kemendikbud. Yang jadi masalah adalah karena masih adanya penggaran yang tidak menerapkan prinsip keadilan itu.
Konon, dana untuk membiayai satu perguruan tinggi negeri, bisa untuk membiayani puluhan perguruan tinggi agama negeri yang ada di bawah naungan kementrian agama.
Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily mengungkap ketimpangan itu. Dia mengatakan, masalah ketimpangan itu, harus menjadi agenda utama Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk menyelesaikannya.
“Tantangan terbesarnya adalah soal Pendidikan keagamaan. Postur anggaran kementerian kita dalam hal Pendidikan tidak menunjukkan postur yang berkeadilan. Ini tantangan untuk Menteri (agama), untuk sama-sama mencari solusi,” kata Ace Hasan dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Jajaran Kemenag RI, di Gedung Nusantara II, pada Senin 18 Januari 2020.
Saya sangat berharap, Gus Yaqut (Menteri agama) benar-benar mencatat masalah itu dan segera mencari solusi. Keberadaan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin yang berlatar belakang pesantren (madrasah), saya harapkan bisa semakin membuka peluang itu. Demikian juga dengan Gus Yaqut yang juga berangkat dari pesantren.
Ketimpangan itu, benar-benar sudah tidak memiliki pijakan logika untuk terus dipertahankan. Anak-anak bangsa yang menempuh pendidikan di madrasah maupun yang di sekolah, seharusnya diperlakukan secara adil. Karena dari sisi kewajiban, seperti membayar pajak, misalnya, semua warga negara juga sama.
Tiga tahun lalu, selama 5 tahun saya menjadi ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Kabupaten Tuban (lembaga di bawah NU yang menangani Pendidikan). Saya bisa merasakan ketidakadilan itu. Bupati Tuban KH Fathul Huda yang mantan ketua PCNU Tuban dan alumni pesantren, punya keinginan kuat untuk membantu madrasah. Namun, niat baik itu tidak bisa sepenuhnya dilaksanakan. Penyebabnya, karena terbentur dengan regulasi.
Ini artinya, rumusan regulasi yang berkeadilan sudah sangat mendesak dilahirkan. Periode kepemimpinan Jokwi periode kedua ini, harus menjadi momentum emas yang tidak boleh disia-siakan. Menteri agama dan wakil presiden yang berlatar belakang pesantren, harus menjadi panglima dari perubahan itu.
Sudah saatnya, bangsa Indonesia berlaku adil terhadap kalangan pesantren. Sebab, jika kita menengok ke belakang, pesantrenlah yang punya andil besar dalam membebaskan bangsa Indonesia dari cenkeraman penjajah.
Keputusan kaum santri yang di era penjajahan mengharamkan pemakaian celana dan sepatu, adalah upaya mereka menjaga semangat heroisme anti penjajahan. Mereka tidak ingin, masyarakat peribumi berpenampilan layaknya kaum penjajah yang dikhawatirkan bisa melemahkan semangat perlawanan.
Kaum santri juga menghukumi kaum penjajah (Belanda) sebagai kafir yang tidak boleh didekati atau digauli. Mereka pun selalu mengambil sikap non kooperatif. Perlawanan terbesar di Jawa pada 1825-1830–yang juga menjadi peperangan terhebat yang dihadapi Belanda—juga dilakukan oleh para santri. Peperangan ini dilakukan oleh para ulama dengan dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Spirit besar yang menjadi energi perlawanan adalah agama. Jihad fi sabilillah!
Begitu juga dengan pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 yang akhirnya ditetapkan sebagai hari pahlawan. Ini juga bermuara dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan para ulama pesantren. Dengan resolusi itu, umat Islam, khususnya para santri, dengan semangat jihad fi sabilillah terjun ke medan laga. Dan akhirnya, Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia harus kembali ke negaranya dengan tangan kosong.
Itulah catatan-catatan sejarah yang sudah diakui keabsahaannya. Karena itu, sangatlah tidak elok bila bangsa ini masih memperlakukan tidak adil terhadap umat Islam, khususnya kalangan pesantren. (akhmad zaini)
Advertisement