Anggaran Cat Kubah Kura-kura DPR Rp 4,5 Miliar
Badan Urusan Rumah Tangga DPR RI memutuskan tidak lagi melanjutkan rencana pengadaan gorden senilai Rp 43,5 miliar untuk rumah dinas DPR di Kalibata, Jakarta Selatan. Hal itu dilakukan menyusul adanya penolakan dari berbagai elemen masyarakat.
Terkini, DPR menganggarkan Rp 4,5 miliar untuk pengecatan kubah kura-kura atau dome Gedung Nusantara di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Anggarannya berasal dari APBN 2022.
Dari situs LPSE DPR paket yang masuk dalam anggaran APBN 2022 ini memiliki kode tender 735087 dengan nama tender 'Pengecatan Dome Gedung Nusantara DPR RI'. Hingga saat ini proses tender masuk tahap pengumuman pasca kualifikasi.
Alokasi anggaran untuk pengecatan terhadap 5.208 meter luas atap. Termasuk kerangka beton menggunakan bahan tertentu.
"Sebenarnya bukan pengecatan lebih pasnya waterproofing. Kita pernah melakukan waterproofing terhadap dome gedung nusantara atau gedung kura-kura yang kita kenal itu pada tahun 2015 terakhir," kata Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar.
Menurut Indra Iskandar, bagian atas dome gedung Nusantara atau gedung kura-kura itu banyak bagian yang telah menggelembung dan menampung air. Serta ada bagian yang sudah retak dan struktur beton yang berjamur.
"Kebutuhan waterproofing dome gedung Nusantara itu untuk mempersiapkan agenda kenegaraan pada 6 Agustus 2022 dan pertemuan P20 pada 5-6 Oktober 2022," terangnya.
Sejarah Kubah Kura-kura
Dalam buku "Gedung MPR-DPR RI Sejarah dan Perkembangannya" yang ditulis oleh Budhi A Sukada, Yulius Pour, Hilmi Syatria dijelaskan bahwa Gedung MPR-DPR dirancang oleh seorang arsitek terkemuka di Indonesia bernama Soejoedi Wirjoatmodjo, yang ketika itu memenangkan sayembara desain rancangan gedung MPR-DPR yang diadakan pada 1965.
Awal mulanya, Soejoedi ketika itu merancang desain gedung MPR-DPR bersama tim arsiteknya yang terdiri dari Ir Sutami selaku struktur engineer dan Ir Nurpontjo selaku staf Soejoedi yang ditugaskan untuk membikin maket bangunan. Dengan hanya mempunyai waktu kurang lebih dua minggu, mereka pun terburu-buru merancang desain bangunan.
Ketika di penghujung tenggang waktu (deadline) sayembara, mereka terkendala gedung bangunan utama yang belum beratap. Mereka berfikir, sebenarnya ada beberapa alternatif bentuk atap. Adapun bentuk paling sederhana dan sudah umum dipakai adalah bentuk dan struktur kubah beton. Tergantung pilihan, apakah ingin berbentuk kubah murni, setengah bola atau sebagian dari bola (tembereng bola).
Mengingat sudah tersisa hari esok dan sayembara desain rancangan sudah harus diserahkan, dengan terpaksa Ir Nurpontjo yang ditugaskan membuat maket bangunan, tetap merancang atap bangunan utama berbentuk kubah murni. Dia menggunakan bahan maket plastik yang di-press di antara dua kuali penggorengan kue serabi yang diisi air panas. Sayang, cara ini tidak berhasil dengan baik karena selalu muncul keriput-keriput persis pada bagian puncak kubah.
Pada waktu itu pula Soejoedi menghampirinya dan bertanya soal maket tersebut. Bersamaan dengan datangnya Soejoedi, Nurpontjo yang ketika itu sedang merasa putus asa, segera mengambil gergaji dan membelah dua hasil cetakan maket tadi. Dengan harapan, jika kubah dibelah dua, maka akan ada beberapa potongan lebih mulus, sehingga bisa digabung untuk menjadi kubah utuh sempurna tanpa keriput.
Ketika Soejoedi melihat dua potongan maket tersebut di atas meja, dia bereaksi dengan mengatakan bahwa hasil dua potongan maket tadi bagus dan malah mengusulkan sebaiknya seperti itu saja atap yang digunakan. Bahkan, dia berkata demikian sambil tangannya memegang dan mereka-reka bentuk yang akan terjadi jika potongan-potongan hasil tadi disatukan. Lantas, segera dia menanyakan terlebih dahulu kepada rekan kerja lainnya yakni Sutami.
Tak disangka, Sutami pun sangat sigap melakukan perhitungan dan memberikan jawaban dalam waktu yang sangat singkat. Dia menjelaskan, struktur ini bakal menghasilkan prinsip sama dengan membuat sayap (wing) yang menempel pada badan pesawat terbang, memakai prinsip struktur kantiver. Sutami malah bisa menjamin, dengan bentangan 100 meter pun, bentuk dan struktur tersebut masih bisa dipertanggungjawabkan. Bagian yang akan berfungsi sebagai badan pesawat terbang (fuselage) adalah dua busur beton yang dibangun berdampingan dan nantinya bertemu pada satu titik puncak.
Struktur sepasang busur beton dengan satu titik temu tersebut kemudian harus diteruskan masuk ke dalam bumi, untuk bisa menyalurkan beban. Struktur semacam ini merupakan satu kesatuan yang sangat kokoh dan stabil, agar nantinya bisa dibebani dengan sayap-sayap berukuran dua kali setengah kubah beton. Penambahan tersebut juga bisa ikut membentuk atap bangunan utama seperti sayap burung Garuda.
Pembangunan gedung DPR-MPR ini pun dibangun pada 1965 dan rampung pada 1968. Atap gedung tersebut hingga saat ini masih terlihat ikonik dan kokoh setelah berusia lebih dari 54 tahun.