Memandikan Puluhan Santri sebagai Tugas Mulia
Pengasuh Taman Kanak-Kanak (TK) Shobari Pondok Pesantren (ponpes) Nihayatul Amal Kabupaten Kerawaang, Jawa Barat, yang biasa dipanggil Ustadz Burhanudin, mempunyai tugas yang cukup unik. Yakni memandikan puluhan santri setiap hari, pada pagi dan sore.
Bapak tiga anak yang tinggal di kompleks pondok pesantren di Desa Sukamerta Kecamatan Rawamerta, mengaku senang dan menikmati pekerjaan yang telah dilakoni selama 19 tahun.
"Bagi saya memandikan anak anak ini merupakan perkerjaan mulia dan menjadi bagian dari ibadah," kata Burhanudin.
Saat Ngopibareng.id berkunjung di asrama TK Shobari, Ustadz Burhanudin sedang memandikan 37 anak di sebuah kamar mandi berukuran 2x3 meter.
Seluruh Siswa TK Shobari mondok atau tinggal di asrama. Mereka rata-rata berusia 4-5 tahun. Usia dan tubuhnya memang masih kecil, tapi anak-anak ini mempunyai keberanian hidup mandiri meninggalkan orangtua dan keluarga untuk belajar di ponpes.
"Saya tidak sekedar memandikan, tapi juga memberikan sentuhan kasih sayang pada anak-anak yang jauh dari kedua orangtuanya," kata Burhan yang kini berusia 60 tahun.
Dengan memberi sentuhan kasih sayang, lanjut Ustadz Burhanudin, santri kecil itu akan merasa terlindungi seperti berada di tengah keluarga sendiri. "Buktinya anak-anak betah, dan tidak ada yang merengek minta pulang," katanya.
Mengingat yang dimandikan cukup banyak, Ustadz Burhanudin menggiring para santri kecil tersebut ke kamar mandi mulai pukul 05.00 WIB. Saat mandi sore dimulai pukul 14.00 WIB.
"Kalau waktunya mandi, tinggal memencet tombol bel, anak-anak langsung berkumpul di depan kamar mandi sambil melepas bajunya dan siap mandi," tuturnya.
Tidak ada yang berebut. Anak-anak ini antre dengan tertib untuk disabuni dan diguyur air. Ustadz Burhanudin melakukannya dengan sabar dan ikhlas. Hal ini yang membuat dirinya bentah dan tidak ingin mencari pekerjaan lain.
"Insya Allah saya ingin tetap bersama santri santri kecil ini," ujarnya.
Meskipun statusnya TK, tapi seluruh siswa harus mengikuti kegiatan di ponpes. Mereka belajar mengaji, fiqih, tauhid yang bersifat pengenalan sesuai dengan umur mereka.
"Pelajarannya berbeda dengan murid Madrasah Tsanawiyah dan Aliah," sambung Ustadz Burhanudin.
Ketika ditanya berapa gaji yang di terima tiap bulan, sang ustadz enggan menjawab. Kehidupan di lingkungan pondok pesantren berbeda dengan di kampung atau di rumah sendiri. Semua santri dari TK sampai Aliyah terikat oleh aturan dan tata tertib ponpes yang telah ditandatangani oleh pihak wali murid dan santri.
Peraturan itu antara lain harus gotong royong, tidak boleh berkelahi, wajib melaksanakan salat lima waktu, salat malam selain mengikuti kegiata di pondok, mengaji kitab hingga pelajaran sekolah.
Ustadz Abduh yang pernah "ngaji" di ponpes ini menuturkan, belajar di ponpes itu sebuah perjuangan yang cukup berat. Karena harus meniggalkan keluarga dan kampung halaman. Terikat oleh aturan dan harus hidup mandiri.
"Anak yang mau belajar di pondok pesantren, menurut saya akan memperoleh dua ilmu sekaligus, yaitu dunia akhirat," kata ustadz muda yang sekarang menjadi pengasuh di beberapa majelis taklim Jakarta.