Anekdot Unik! Agus Widjojo, Fachry Ali dan GBHN 1998
Bercengkerama dengan sejumlah tokoh merupakan pengalaman mengesankan. Bergaul di antara mereka, menjadi catatan penting.
Fachry Ali, pengamat sosial politik, menjadikan pengalaman bergaul dengan tokoh-tokoh terkemuka sebagai catatan menarik. Ini suatu anekdot. Berikut di antara catatan Fachry Ali, yag pernah aktif di LP3ES Jakarta -- LSM yang legendaris itu:
Ketika Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie naik menjadi Presiden, menggantikan Soeharto pada Mei 1998, ia menunjuk beberapa orang menjadi anggota MPR. Salah satunya adalah saya. Dan tampaknya, karena tak terbiasa, nama saya mungkin tak terdaftar sebagai peserta berbagai sidang —walau selalu hadir.
Saya memang melihat kerumunan orang dekat pintu masuk. Tetapi tidak menyadari bahwa itu adalah tempat absensi.
Juga tidak saya sadari bahwa walau berasal dari kalangan ‘independen’, seorang anggota MPR harus punya fraksi. ‘Bapak fraksinya apa?,’ tanya petugas administrasi.
‘Wah, saya tidak tahu,’ jawab saya.
‘Bapak harus punya fraksi,’ sergahnya.
‘Kalau begitu,’ respons saya, ‘saya fraksi Bang Akbar saja.’ Yang terakhir itu adalah Ketua Umum Golkar.
Toh, walau tak pernah mengusi absensi, saya jadi anggota PAH (lupa lengkap kepanjangannya, tapi berkaitan dengan panitia ad-hoc). Dari sinilah saya bertindak sebagai perumus GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara).
Agar supaya bekerja dengan konsentrasi penuh, Suharso Monoarfa (kini Menteri Pembangunan dan Ketua Bappenas) membantu saya dalam memberikan ruang rapat di Hotel Mulia, Jakarta. Bachtiar Effendy, Sayuthi Assyatiri dan Tommy Soetomo turut ikut dalam tim. Bahtiar, pada waktu itu, adalah juga anggota MPR, tapi bukan anggota PAH. Sayuthi kelak menjadi anggota DPR dari PAN. Tommy Soetomo hingga kini adalah seorang profesional.
Nah, saya lupa bagaimana ceritanya, pada akhirnya yang menyusun draf GBHN 1998 itu hingga final hanya bertiga. Selain saya, adalah Agus Wijoyo dan Darmansyah. Kedua terakhir ini berasal dari Fraksi ABRI. (Agus Wijoyo, kita tahu, kini menjadi Gubernur Lemhamnas).
Harso, Bachtiar, Sayuthi dan Tommy Soetomo selalu serta dalam setiap diskusi. Termasuk dlm menentukan wujud KPU —kelak dipimpin Rudini. Akan tetapi, mereka tdk ikut mengambil keputusan final. Sebab, mereka bukan anggota PAH.
Maka, rapat terakhir hanya tinggal kami bertiga. Agus Wijoyo dan Darmansyah duduk di seberang meja, saya di seberang lainnya. Jadi, kami saling berhadap2-an. Karena Agus Wijoyo dan Darmansyah adalah pentolan intelektual di kalangan ABRI, maka, kecuali soal redaksional, seluruh materi cepat kami selesaikan. (Orang yang teliti pasti bisa membedakan mana redaksi yang saya buat dan mana yang ditulis Fraksi ABRI dalam naskah itu).
GBHN yang kami susun itulah yang kemudian diketok sebagai salah satu TAP MPR 1998.
Dalam proses pengerjaannya, saya tak merasakan apa-apa. Agus Wijoyo dan Darmansyah adalah orang-orang cerdas yang bacaannya sama dengan kami semua. Tetapi, setelah selesai, Tommy Soetomo berbisik kepada saya: ‘Gile elo!’ Saya bertanya: ‘Kenapa?’ Dia jawab: ‘Elo enggak sadar? Yang elo hadapi itu Fraksi ABRI!’