Anekdot Tjilik Riwut, Putra Dayak Lahir dengan Mata Terbuka Lebar
Pengamat sosial politik Fachry Ali mencatat tentang Tjilik Riwut, tokoh Kalimantan berdarah Dayak, yang dikagumi Bung Karno. Catatan menarik, meskipun tak secara otomatis menjadi lelucon.
Anekdot yang sangat intens dan mendalam, tapi mencerahkan. Berikut ini:
Awal 1980-an, saya memimpin penelitian aspek sosial-ekonomi dan budaya masyarakat pedalaman Kalimantan Tengah. Wilayah penelitiannya cukup luas. Mulai dari Tewah, Pujon hingga Pangkalan Bun. Penelitian daerah terakhir itu saya serahkan kepada Erfan Maryono, karena tak mungkin menjangkau semua wilayah luas dan berhutan lebat itu.
Penelitian ini disponsori Bappeda Kalimantan Tengah. Mereka meminta LP3ES meneliti mengapa pennduduk pedalaman enggan menanam padi dan bagaimana mereka bisa dibujuk melakukannya.
Tak ada jalan darat mencapai wilayah itu. Erfan Maryono dan tim terbang dengan pesawat kecil ke Pangkalan Bun dari Pakangkaraya. Dan saya harus menyusuri Sungai Kahayan sepanjang 144 kilometer ke Tewah dari Palangkaraya. Lalu menempuh sungai yang sama sepanjang 600 kilometer ke Pujon dari Palangkaraya.
Sepulang dari lapangan, saya menginap di sebuah ‘penginapan’ sederhana tepi Sungai Kahayan. Di depan ‘penginapan’ itu ada sebuah ‘restoran’ yang untuk ukuran Jakarta waktu itu lebih mirip sebuah ‘warung besar’.
Di situlah para ‘pembesar’ Palangkaraya makan siang. Itu pula sebabnya, tokoh Kalimantan Tengah ini datang ke situ. Saya beruntung sempat bertemu dan bercakap-cakap dengan Tjilik Riwut di ‘restoran’ itu. Bertubuh sedikit kecil, berkulit kuning langsat, Tjilik Riwut memasukkan baju putih lengan pendeknya ke celana berwarna krem. Dengan riang ia menjelaskan banyak hal tentang Kalimantan Tengah.
Salah satu yang saya ingat dari kisah abad lalu itu adalah bahwa Pakangkaraya adalah satu-satunya kota yang dibangun setelah kemerdekaan. Karenanya, kedudukannya dalam sejarah Indonesia sangat khas. Ia merupakan kota yang tidak disentuh Belanda. Kota-kota besar di Indonesia pada esensinya adalah bikinan kolonial. Tidak seperti Palangkaraya yang dibangun oleh anak negeri sendiri.
‘Atas dasar itulah,’ lanjut Tjilik Riwut, ‘Sukarno pernah berikhtiar menjadikan Pangkalangkaraya ibu kota Indonesia.’
Hubungan Tjilik Riwut-Sukarno, dengan demikian, lebih didasarkan pada semangat pasca- kolonial. Dan, karena itu, sebagai Gubernur Kalimantan Tengah yang pertama, Tjilik Riwut adalah simbol pasca-kolonial itu.
Catatan Redaksi:
Pada 2 Februari 1918, Tjilik Riwut lahir dari pasangan Riwut Dahiang dan Piai Sulang di Kasongan, Katingan, Kalimantan Tengah. Saat dilahirkan, kisahkan masyarakat setempat, mata Tjilik terbuka lebar memandang sekitar seolah sedang mengintip dan mengamati situasi.
Kondisi ini membuat orang tuanya memberikan gelar "Silik" artinya "mengintip". Tak pelak ketika balita ia kerap dipanggil Silik sebagai sapaan akrabnya.
Semasa kecilnya, Tjilik cerdik, banyak akal. Pernah suatu ketika bermain sepak bola, Tjilik kalah saing karena postur tubuhnya kalah besar dengan teman-temannya yang usianya jauh lebih tua. Tak mau kalah, ia pasangkanlah kayu di kakinya. Agar tidak terlihat, Tjilik menggunakan celana panjang. Alhasil, lawan-lawannya mengaduh kesakitan ketika menabrak kakinya.
Pada hari Senin, 17 Agustus 1987, yang bertepatan dengan peringatan Hari Jadi Kemerdekaan Indonesia, Tjilik Riwut meninggal dalam usia 69 Tahun. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Namanya kini diabadikan untuk salah satu bandar udara dan jalan utama di Palangkaraya.