Anda pun Termasuk Keluarga Nabi, Begini Penjelasannya
Keluarga Nabi Muhammad Saw dikenal sebagai ahlul bait. Bagi umat Islam secara umum, merekalah yang harus dihormati untuk saat ini. Kini, ada tafsir tersendiri disampaikan Gus Ach Dhofir Zuhry, Pengasuh Pesantren di Malang. Berikut penjelasannya:
Tak sedikit saudara kita yang memuja dan mengultuskan ahlul bait (keluarga dan keturunan Nabi) secara serampangan dan berlebihan, sampai-sampai, membenarkan semua perkataan dan tindakan para (oknum) habib dan syarif yang melanggar hukum, arogan, provokatif, mencaci pemerintah dan menista kelompok lain.
Banar, wajib bagi setiap muslim menghormati dan memuliakan keluarga-keturunan Baginda Nabi Saw. Ada darah Nabi Saw dalam diri mereka. Setiap kita bershalawat, senantiasa keluarga dan sahabatnya kita sebut, kita mulia-agungkan.
Namun perlu dicatat bahwa keturuan (dzurriyah) Rasul tidak terbebas dari dosa alias ma’shum. Mereka bisa saja salah, khilaf dan bermaksiat sebagaimana manusia pada umumnya. Well, sikap kita bagaimana, Kakak?
Tetap kita hormati dan kita muliakan mereka, yang baik kita ikuti, yang salah kita ingatkan dengan santun dan pekerti mulia, yang melanggar hukum urusan polisi, tanpa harus mencaci dan terprovokasi, titik! Indonesia negara hukum, tidak boleh ada yang kebal hukum dan bebas mencaci, apalagi demi kepentingan politik elektoral yang marak belakangan ini.
Tak jarang, di luar Ahlus Sunnah wal Jamaah, nama besar dzurriyah Nabi hanya "dimanfaatkan" untuk kepentingan tertentu, terutama politik elektoral pendulang suara menjelang Pemilu.
Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, banyak sekali para wali, ulama, raja, kiai, pahlawan, pejuang dan penganjur kesalehan yang merupakan keturunan Nabi, hanya saja istilah “habib” belum populer dan (maaf) belum punya trade mark kala itu, lagi pula untuk apa membangga-banggakan asal-usul jika yang dibutuhkan umat adalah pendidikan dan keteladanan?
Pendek kata, banyak ahlul bait yang justru ingin menjadi Indonesia karena telah berdakwah dan berjuang untuk Indonesia.
Aneh saja, jika di depan hidung kita malah banyak saudara kita sendiri yang ingin menjadi Arab dan Eropa dengan cara mencaci keindonesiaan mereka sendiri. Padahal, dengan belajar di Belanda, Bung Hatta tidak menjadi Barat dan dengan belajar di Arab KH. Hasyim Asy’ari tidak menjadi Arab, mereka tetap bangga menjadi Indonesia dan berjuang demi kemerdekaan Tanh Airnya.
Adalah sesuatu yang wajar apabila setiap orang membangggkan golongan, suku dan asal-usul rasnya (QS. Ar-Rum: 32). Akan tetapi, begitu Islam datang, dihapuslah kesukuan dan diganti dengan kesetaraan. Kemuliaan itu karena ketaqwaan, bukan karena latar belakang etnis. (QS. Al-Hujurat: 13), sehingga panggilan rasis, misalnya, kepada sayyidina Salman al-Farisi ra, diganti Salman Alu Muhammadi ra (Salman keluarga Muhammad).
Mengapa?
Panggilan “al-Farisi” atau orang Persia sangat rasis, seolah-olah mengatakan bahwa Salman ra adalah panganut agama Majusi atau Zoroaster, agama resmi bangsa Persia kala itu. Sehingga, Nabi Muhammad Saw pasang badan membelanya, “mulai sekarang jangan panggil Salman Persia, tapi panggil dia Salman keluarga Muhammad.”
Walhasil, sejak saat saat itu tak ada lagi yang melecehkan sayyidina Bilal, seorang budak hitam, juga sayyidina Ikrimah, putera Abu Jahal, juga sayyidah Durrah, puteri Abu Lahab. Contoh lain adalah Umar bin Khatthab dari suku ‘Adi, Nabi Muhammad memanggilnya dengan sebutan terhormat Al-Faruq (Sang Pembeda baik-buruk, benar-salah). Tak tanggung-tanggung, Baginda Nabi juga menikahi perempuan Yahudi bernama sayyidah Shafiyah binti Huyay.
Nyaris satu setengah milenium kemudian di Indonesia, yang konon penganut Islam terbesar, justru karena perbedaan pilihan dan sikap politik, terhadap sesama muslim malah memanggil dengan sebutan yang sangat rasis dan nista, missal: China, kutil babi, kampret, kadal gurun, bani onta, dll. Ini jelas dilarang oleh agama dan tak pantas secara budaya.
Bukankah kanjeng Nabi pernah mengingatkan bahwa setiap orang bertaqwa adalah keluarga Nabi? (HR. At-Thabrani: 3.332, HR. Al-Bayhaqi: 2/152, Fathul Bari: 11/165). Pendek kata, ukuran kemuliaan seseorang bukan lagi suku, pangkat, jabatan dan gelimang harta, tapi ketakwaan kepada Allah SWT. Saya, Anda, dan siapapun saja yang memenuhi kualifikasi taqwa, menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama, otomatis keluarga Nabi. Bahkan, jika mampu menjalankan nilai-nilai Al-Qur’an, kita semua auto-keluarga Allah SWT, wow!