Ancaman Trump, Cukup Tanggapi dengan Senyum
Baru-baru ini Mr Donald Trump mengeluarkan ancaman yang menggelegar dengan maksud membuat negara yang menentang kebijakannya menunjuk Yerusalem sebagai ibu kotanya kaum Zionis, menjadi ciut nyalinya. Kepada negara-negara yang menentang, akan di’hukum’ Amerika dengan menyetop seluruh bentuk bantuan dana dari negara Paman Sam ini. Herannya, ancaman ini terasa ringan-ringan saja di telinga negara-negara penentang kebijakannya. Mungkin akan berbeda bila ancaman ini keluar dari mulut seorang Ronald Reagan atau Obama.
Donald Trump, figur presiden pengganti Obama, ini memang kaya dengan sensasi dan kontroversi. Ulah pribadinya maupun kebijakan politiknya sering dikecam oleh rakyatnya sendiri. Sehingga ancaman yang keluar dari mulut seorang Trump tidak harus dimaknai sebagai suara satu entitas bangsa Amerika. Ribuan meme bertebaran di dunia maya yang menggambarkan masifnya penentangan terhadap berbagai kebijakan politiknya. Bahkan perilakunya yang vulgar dan terkadang memalukan sering disuarakan oleh para netizen di dunia maya.
Hal ini terjadi, mungkin karena pro-kontra yang masih kental menyangkut misteri kemenangan Trump yang berbau skandal --yang mirip-mirip kasus Watergate. Dugaan kuat adanya kolaborasi dengan pihak mantan musuh bebuyutan, negara komunis Rusia, ketika ‘menghabisi’ Hillary Clinton saat kampanye Pilpres, masih hangat dibicarakan. Kemenangan Donald Trump bukan hanya membuat kaum terpelajar Amerika terhenyak, tapi warga dunia yang berpendidikan biasa-biasa saja pun cukup kaget dan tak percaya bahwa musibah intelektual yang mengejutkan ini bisa terjadi di Amerika.
Menghubungkan ancaman Trump dengan hajatan Pemilu dan Pilpres 2019, memang masih saja dilakukan oleh sebagian pengamat yang out of the box dari pola dan gaya politik era ‘zaman now‘. Masih terbangun sangat kuat mitos bahwa siapapun calon presiden yang tidak disukai Amerika, pasti gagal tampil sebagai pemenang dalam Pemilu-Pilpres. Juga presiden mana pun, terkhusus di dunia ketiga, yang dimusuhi Amerika pasti berada dalam kesulitan menangani perekonomian negerinya, dan akan mengalami kebangkrutan politik secara perlahan tapi pasti.
Dalam hal ini, peristiwa yang oleh banyak pengamat dianggap pas untuk mewakili ‘mitos’ dimaksud adalah kasus Presiden Suharto di masa-masa akhir kekuasaannya. Pada saat Pak Harto mulai dinilai sebagai ‘anak nakal’ dan bukan lagi dianggap sebagai ‘Our man’ oleh Amerika, Pak harto pun dilengserkan. Begitulah kekhawatiran banyak pendukung Jokowi, khususnya di kalangan elite dunia usaha yang masih percaya mitos: America is the true King Maker!
Andai saja ancaman ini datang satu dekade yang lalu, sejumlah kalkulator dalam laci kita perlu kita keluarkan untuk mengkalkulasi segala kemungkinan dampak politik-ekonomi yang akan terjadi secara serius. Karena saat itu, di balik ancaman terhampar gelaran pasukan politik-ekonomi dan militer Amerika sang adikuasa yang sangat dahsyat daya gempur dan daya rusaknya terhadap siapa pun penentangnya, terkhusus di negara-negara Dunia Ketiga.
Sejak runtuhnya tembok Berlin dan merangkak perlahan sehingga terjadi shifting kekuatan ekonomi; dimana pendulum telah bergeser dari Amerika-Eropa ke negeri China, situasi dan konstelasi politik-ekonomi dunia pun mengalami perubahan. Ditambah dengan perkembangan dunia teknologi informasi-digital, yang telah mengubah secara besar-besaran dan melahirkan sejumlah paradigma baru di dunia politik maupun ekonomi.
Dari pergulatan yang tajam di dunia teknologi dan ilmu yang sangat mencengangkan peradaban ini, tanpa terasa telah lahir sebuah negara terbesar di dunia. Warganya dikenal sebagai para NETIZEN. Sebuah negara tanpa bentuk, tanpa presiden dan menteri, tapi jangkauan kekuasaannya sangat dahsyat dan mendunia.
Dari realita berubahnya peradaban yang melahirkan perilaku politik-ekonomi zaman now ini, menghadapi ancaman Mr Donald Trump, sebaiknya kita lakukan cukup hanya dengan lontaran senyum Indonesia yang khas: Santun tapi menggemaskan! Meminjam istilah Gus Dur: Gitu aja kok repot!
*) Erros Djarot adalah budayawan, seniman, politisi dan jurnalis senior - Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com
Advertisement