Anak Kopi Zaman Now Brow
Dunia asik selalu punya "pengikut". Biasanya, pengikut dunia asik, selalu ada nama yang menandainya. Menandai apa? Ya sudah pasti dong menandai keasikan itu sendiri.
Anak Gunung, misalnya. Itu penanda bagi yang hobi naik gunung. Tak hanya naik, tetapi juga camping di atas gunung. Padahal, gunung itu identik dengan sepi, gelap, dingin, dan bahkan angker. Banyak jin-nya, hiiiiiiiii takut.
Ada anak pantai. Ini paling asik, karena pengikutnya banyak. Pantai-pantai di Pulau Bali punya segudang anak pantai. Item-item biasanya, karena setiap hari membiarkan dirinya dibakar matahari.
Dokter kulit tak berlaku padanya. Maka acap kali mereka juga terserang panu, kadas, kurap, dan gatal jamur. Padahal, mereka sering terlihat bertelanjang baju. Hanya pakai kolor. Mereka, bahkan tak peduli panuan apa tidak. Yang penting asik, yang penting bisa bercengkerama mesra dengan turis dan tak mikirken uang.
Ada banyak yang lain selain anak gunung, juga anak pantai. Sebut saja: anak band, anak punk, anak malam, anak singkong, hingga yang paling kasar ada anak jadah. (Jangan tersinggung ya, yang bilang anak jadah itu pasti tidak pernah tahu lezatnya jadah bakar atau jadah goreng yang dikepel sama tempe bacem).
Kopi, sepuluh tahun terakhir, mampu merambah dunia asik. Kopi akhirnya punya massa. Karena trend, sebagian juga karena framing media. (Tapi jangan tanya massa ngopi ya, sebab mereka punya kelipatan tak terbayangkan. Ibaratnya, sudah sak ndayak. Sederhanya, nyaris semua warung kopi, kedai kopi, hingga coffee shop tak ada tempat duduk yang tersisa).
Anak kopi, mengacunya pada penyeduh kopi. Tidak merembes pada peminum kopi. Anak kopi biasanya mainannya manual brewing. Sedangkan barista sedikit beda, mainannya adalah kopi mesin. Sebuah mesin khusus yang didesain untuk membuat kopi.
Yang ini, identiknya dengan latte art, cappucino, dan espresso. Setelah penyeduh dan barista ada yang namanya penggiat kopi. Mainannya adalah edukasi terkait tetek bengek kopi. Dari hulu hingga hilir. Mulai urusan petani kopi hingga kopi terhidang di atas meja dan siap disruput.
Dunia asik anak kopi juga membawa warna sendiri. Acapkali juga nyentrik dadanannya. Rambut diwarna, memiliki tato entah di lengan, entah dibagian mana. Memakai anting. Akrab dengan topi. Lengan penuh gelang. Satu yang penting, seneng sekali pakai celemek yang nama kerennya adalah apron.
Memang, tidak semua penyeduh kopi, barista, pengiat kopi, melekat dengan costum seperti itu, namun statistik rata-ratanya bicara demikian. Lalu bagaimana dengan penyeduh-penyeduh kopi di warung-warung tradisional? Apakah mereka juga anak kopi?
Harusnya iya! Mereka juga mainan kopi kok. Malah boleh dibilang acara memaikan kopinya jauh lebih panjang. Mereka mampu buka dan menyeduh kopi 24 jam nonstop. De facto demikian adanya, namun "de jure" mereka belum dianggap anak kopi.
What? Anak kopi rupanya cukup membawa konsekuensi logis. Dia kudu mengetahui aspek kopi. Kopi apa, kopi dari mana, siapa petaninya, bagaimana proses pascapanennya, bagaimana proses sangrainya, teknik seduhnya pakai apa, pakai mesin atau pakai manual, citarasa seperti apa, grinding kopi di ukuran berapa, suhu yang pas untuk kopi berapa, dan seabrek lainnya.
Pengetahuan standar sebenarnya. Namun, yang standar ini, cukup menjadi acuan untuk "men-de jure-kan" seseorang bahwa dia anak kopi atau bukan. Sebab, kopi di zaman now ini, tentu bukan sekadar kopi yang warna hitam dalam gelas. Bukan kopi wis pokoke pahit. Bukan kopi nggereng angger ireng. Bukan pula kopi sembarang, apalagi kopi kirangan. idi
Advertisement