An-Niffari, Pribadi Penyendiri, dan Karya Tersembunyi
Oleh: Ady Amar
Tidak banyak yang mengenalnya, bahkan namanya pun asing di telinga kalangan sastrawan sekalipun. Hanya sedikit literatur berbicara tentangnya.
Namanya Muhammad Ibnu Abdul Jabar an-Niffari. Biasa dipanggil an-Niffari. Tidak diketahui hari lahirnya, pun siapa nama orangtuanya. Hanya disebut tempat lahir dan kematiannya. Lahir di sekitaran Basrah, dan meninggal di tahun 354 H.
An-Niffari, meskipun namanya sunyi dibicarakan, tetapi pandangan-pandangan sastra sufistiknya mempengaruhi generasi sesudahnya. Jejak dan tapaknya meninggalkan bekas yang jelas, dan itu diikuti oleh kalangan sufi yang datang berikutnya.
Sosoknya terbilang unik. Meskipun dikenal sebagai pengembara yang melakukan perjalanan ke banyak negeri, tapi sejatinya an-Niffari tergolong pribadi yang lebih asyik memilih hidup menyendiri, tertutup. Jauh dari hingar-bingar.
Dalam memaknai tasawuf, an-Niffari lebih berhati-hati menyuarakannya, dibanding al-Hallaj dan al-Bustami sekalipun. Sengaja dua nama ini disebut, untuk memperlihatkan kesesuaian pandangan sufistiknya dengan an-Niffari.
Bisa jadi an-Niffari kurang dikenal karena sikap kehati-hatiannya yang berlebih dalam menyampaikan pikiran sufistiknya dalam karya puisinya. Tidak semacam al-Hallaj, yang justru terlalu lantang menyampaikan pandangan yang menjadi kredonya, Ana’l Haq (Akulah Kebenaran), yang lalu mengantarkan pada kematiannya.
Al-Bustami sedikit lebih berani menyuarakan pandangan sufistiknya, walau agak samar dan tentu lebih halus, “Mahasuci daku, alangkah agungnya perihalku.”
An-Niffari di dunia Sastra Sufi, meski kurang dikenal, tapi karyanya dianggap memiliki kedalaman kandungan sastrawi, tidak kalah dengan Hafiz bahkan dengan Rumi sekalipun. Kelebihan karya an-Niffari tidak saja pada kedalaman sastra sufistiknya, tapi juga dia dianggap sebagai teoretikus sufi dengan pengalaman spiritual yang dalam.
Itu bisa dilihat dari karya puisinya, yang tidak saja punya nilai lebih, tapi kandungan sastrawinya tidak kalah indah menawan.
An-Niffari selalu mengaitkan hubungan antara ilmu dengan praktik keseharian. Menurutnya, hakikat ilmu itu sejatinya bisa dilihat dari hasil yang didapat, dan itu karena keikhlasan. Sedang ikhlas itu buah dari kesabaran, dan itu akan berakhir pada penyerahan diri mutlak pada Tuhan.
Ilmu adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh perbuatan.
Dan perbuatan adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh keikhlasan.
Dan keikhlasan adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh kesabaran.
Dan kesabaran adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh penyerahan.
Inilah, dalam pandangan an-Niffari, bentuk “penyerahan” diri sebenar-benarnya (totalitas) pada Tuhan. Karenanya, akan menghasilkan pemahaman yang benar sesuai dengan ajaran agama (Islam).
Dalam banyak hal, ada kemiripan antara Niffari dengan al-Hallaj, juga dengan al-Bustami. Bedanya an-Niffari memilih “jalan” diam (sirr), saat menikmati kesuntukannya dengan Tuhan. Dia amat berhati-hati mengungkap pandangannya secara verbal, juga berhati-hati dalam menyebarkan tulisannya. Dia menikmati perilaku mistisnya dengan lebih tertutup.
Al-Mawaqif wal Mukhtabat
Karya an-Niffari, al-Mawaqif wal Mukhtabat, adalah karya tersembunyi dari khalayak. Sampai karya itu ditemukan A. J. Arberry di tahun 1934. Dan lalu diterjemahkannya. Itulah karya sastra puisi satu-satunya an-Niffari, sebuah karya mempesona.
Ada hal menarik berkenaan dengan karyanya itu. Dan itu disampaikan oleh satu-satunya syarih (pemberi syarah) pada karyanya itu, Afifuddin at-Tilmisani (w. 690 H.).
Menurut at-Tilmisani, bahwa an-Niffari tidak menulis sendiri karyanya itu, melainkan mendiktekan pada putranya. Dan jika dia menulis, dia cuma menuliskannya pada sobekan-sobekan kertas kecil yang tidak beraturan. Setelah an-Niffari wafat, sang putralah yang lalu menyusunnya, bagai puzzle, dan lalu menyalinnya.
Jika saja an-Niffari sendiri yang menulis dan menyusunnya, ungkap at-Tilmisani, tentu hasil yang didapat akan lebih sempurna.
Buku ini terdiri dari 2 bab: al-Mawaqif bab pertama, yang bermakna Posisi-posisi. Dan bab dua, Mukhtabat, yang bermakna Percakapan-percakapan. Dua bab yang saling melengkapi, tidak terpisahkan. Saling berkaitan satu dengan lainnya.
Al-Mawaqif
Adalah kata jamak dari mauqif, yaitu sikap atau tempat berdiri. Atau makna lainnya yang lebih sesuai adalah posisi. Sedang posisi kita berpijak disebut waqfah. Itulah menurut an-Niffari sumber ilmu.
Waqfah disebut pula ruh dari ma’rifah, dan ma’rifah itu mencakup ilmu di dalamnya.
Waqfah berada di balik kejauhan, juga kedekatan. Sedang ma’rifah ada dalam kedekatan, dan ilmu ada dalam kejauhan.
Maka kesesuaian dalam al-Mawaqif karya an-Niffari, dengan al-Hallaj dan al-Bustami, bisa tampak dari uraian berikut ini.
Bilamana seorang arif telah sampai perjalanannya, baik puncak kesiapan maupun ilmu nuraninya, maka terguyurlah dia dalam guyuran cahaya-Nya, dimana dia tidak mampu membedakan antara dirinya dan Tuhannya. Hilang dirinya di dalam-Nya. Pada saat itu dia tidak menginginkan apa pun, karena dia telah lebur bersama-Nya.
Bahkan, lanjutnya, jika saja dia masuk ke dalam rumah, maka mustahil rumah itu bisa memuatnya. Dan jika dia haus dan minum pada tempat sebesar apa pun, tak akan bisa menghilangkan dahaganya.
Ia berkata kepadaku:
Waqfah berada di balik malam dan siang
dan di balik nasib yang ada di dalam keduanya
Waqfah adalah api dari selain-Nya
kalau tidak kau bakar ia dengannya
engkaulah yang terbakar sendiri.
Bila waqif memasuki tiap rumah
itu tak akan bisa memuatnya.
Dan bila ia minum di setiap tempat minum
itu tak akan menghapus dahaganya.
Maka bersegeralah kepadaku
Akulah yang bisa menampungnya
dan pada-Ku-lah tempat waqfah-nya.
Puisi di atas menampakkan kemiripan dengan al-Hallaj dalam bentuk lainnya: sama-sama dalam posisi di mana pun melihat wajah Tuhan.
Itulah wahdatusy-syuhud (satunya penyaksian). Hanya saja an-Niffari, sekali lagi, tidaklah sampai berani menyampaikan pendapatnya itu pada khalayak luas. Tidak semacam al-Hallaj, yang secara atraktif menyampaikan kredonya, Ana’l Haq.
Al-Mukhtabat
Adalah percakapan batin, dan dari kata-kata-Nya yang ada dalam diri si penyair, yang memilih untuk berdiam diri. Ini lebih pada pengalaman batin/ruhani yang begitu dahsyat dan mengagumkan, dan yang membuat yang bersangkutan terkejut lalu lunglai. Ini biasanya diungkapkan dengan kata “Wahai/Hai hamba”, perasaan rendah di hadapan-Nya.
Sebagaimana bisa dilihat dalam puisi berkenaan dengan al-Mukhtabat:
Wahai hamba, engkau lapar
maka kau makan yang ada padamu dariku
dan aku bukan darimu.
Engkau dahaga,
maka kau minum yang ada padamu dariku
dan aku bukan darimu.
Wahai hamba, setelah kau kuberi
kau mensyukuri apa yang ada padamu dariku
dan aku bukan darimu.
Inilah puisi an-Niffari, yang penuh dengan simbol-simbol, pekat dan dalam. Jika tidak dipahami secara benar, maka tidak mustahil akan menimbulkan interpretasi atau tafsir yang salah, dan penyikapan yang bertolak belakang dengan makna sebenarnya.
Tidak semua dari puisinya bisa kita pahami dengan baik, dan tentu tidak sedikit yang disalahtafsirkan. Dan itu karena kesulitan untuk mencernanya, semacam teka-teki saat an-Niffari bicara tentang huruf.
Wahai hamba,
huruf adalah api neraka-Ku
huruf adalah takdir-Ku
huruf adalah keniscayaan perintah-Ku
dan huruf adalah gudang rahasia-Ku.
Wahai hamba,
janganlah kau masuk ke dalam huruf
kecuali pandangan-Ku ada di hatimu
dan cahaya-Ku ada di wajahmu
dan nama-Ku-lah yang menyeruakkan
hatimu ke arah lidahmu.
Kalau kau masuk dengan kekuatan api cahaya
huruf akan melalap keduanya.
Aku tidak berkata kepadamu
lemparkanlah kunci-kunci itu
di hadapan hadirat-Ku
akan Kuhormati kau dengannya dalam nuranimu
posisimu di sisi-Ku ada di balik huruf
dan di balik kunci-kunci huruf
maka kalau Kukirimkan kau ke dalam huruf
seperti kau cuplik api dari api.
Aku berkata kepadamu
keluarkanlah alif dari ba’
keluarkanlah ba’ dari ba’
dan keluarkanlah alif dari alif.
Tidak mudah memahami untaian kata dan memaknai makna tersirat di balik kata yang terungkap dari puisi-puisinya. Ku itu dengan huruf K (kapital) merupakan kesulitan tersendiri untuk menyebut itu sebagai kata pengganti diri an-Niffari, atau justru merujuk pada Tuhannya. Atau bahkan merujuk pada ekstremitas bersatunya hamba dengan Tuhan, dan atau Tuhan dengan hamba. Wallahu a’lam.
Meski demikian, kita setidaknya mengenal an-Niffari dengan karyanya itu, meski dengan literatur terbatas menyertainya, yang diharap sebagai pintu masuk menguak lebih dalam atas karya-karya puisi sufistiknya.
Tulisan ini tidak mungkin mampu mengungkap lebih jauh tentang an-Niffari dan karyanya, karena keterbatasan yang ada. Tapi setidaknya ini diharapkan bisa sedikit memperkenalkan pribadi an-Niffari yang tertutup, dengan karyanya al-Mawaqif wal-Mukhtabat.
Memahami karya an-Niffari, itu bisa diseumpamakan dengan seorang pengelana yang tidak mampu menyeruput seteguk kopi, tapi setidaknya aromanya bisa sedikit membantu menguak kenikmatannya, sulit bisa dijelaskan.
(Penulis berhutang budi pada Dr. M. Fudoli Zaini, yang menerjemahkan beberapa puisi an-Niffari, yang sebagian disertakan dalam tulisan ini).**
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.
Advertisement