AMP: Kami Dipukul dan Dilempari Batu Terlebih Dahulu
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) mengaku dipukul menggunakan helm dan dilempari batu terlebih dahulu ketika akan melakukan aksi New York Agreement, pada Kamis 15 Agustus 2019 kemarin.
Hal itu dituturkan oleh Franz Huwi, juru bicara AMP ketika ditemui Ngopibareng.id di sekretariatnya.
“Begitu kawan-kawan tiba di titik aksi, baru turun dari mobil ada sekelompok orang menggunakan masker memukul massa aksi menggunakan helm dan dilempari batu yang menyebabkan sembilan teman kita bocor juga mengalami luka-luka,” ungkapnya.
Franz menyebutkan, saat itu ada polisi, tapi hanya membiarkan saja melihat kejadian tersebut, baru setelah kelompok itu tersudut polisi datang melerai.
Franz menuturkan bahwa penyerangan terlebih dahulu terhadap AMP terkesan ditutupi oleh pihak kepolisian. Sehingga menimbulkan kesan bahwasannya mahasiswa Papua yang menimbulkan kericuhan.
Di tempat yang sama, bantuan hukum AMP, Richard Dwi Nawipa, mengatakan bahwa tindakan represif terhadap teman-teman mahasiswa Papua merupakan pembatasan ruang demokrasi.
“Sangat ironis, di sini teman-teman tidak diberi ruang demokrasi di mana dalam aksi tersebut dilakukan pelanggaran HAM dalam menyampaikan pendapat yang telah dijamin oleh konstitusi dalam UUD 1945,” terangnya.
Richard menambahkan bahwa tujuan dari teman-teman mahasiswa Papua melakukan aksi damai kemarin adalah untuk menyampaikan aspirasi mereka terkait peringatan New York Agreemeent.
Menurut Franz perjanjian peralihan administrasi Papua Barat yang ditandatangani oleh Indonesia dengan Belanda, pada 15 Agustus 1962, di New York, Amerika Serikat, merupakan pencaplokan yang tidak memperhatikan kedaulatan masyarakat Papua.
“Tanah Papua dicaplok hanya untuk diambil sumberdaya alamnya. Sebelum diadakannya referendum 1969, sebelumnya pada 1967 sudah ditandatangani kontrak karya Freeport untuk mengeruk sumberdaya alam Papua,” tuturnya.
Franz menambahkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 hanya melibatkan 1.026 orang dari sekitar 800 ribu lebih rakyat Papua.
“Kami menilai jika referendum seharusnya one man one vote tapi tidak. Maka aksi yang kami lakukan kemarkn adalah untuk meluruskan sejarah yang telah lama disalahpahami oleh masyarakat,” tutupnya.