Amien Rais, Produk Gagal Muhammadiyah
Saya mengikuti kiprah Amien Rais secara dekat sejak Soeharto menjelang lengser. Ketika aksi sejuta massa di alun-alun kota Yogyakarta, tahun 1998, bersama Ali Rizkatillah Audah, saya menjadi koordinator presidium Jaringan Islam untuk Pembebasan Rakyat (JIPRA).
Di dalam JIPRA antara lain tergabung eksponen Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja Masjid (BKPRMI), dan beberapa unsur Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) lain.
Kami aktif memobilisasi ribuan massa menuju alun-alun Yogyakarta untuk mendukung Amien Rais yang menuntut Soeharto lengser. Amien Rais ketika itu di mata kami bagaikan ksatria pemberani yang berdiri di barisan depan untuk melawan diktator Orde Baru, Soeharto.
Setelah Soeharto lengser, kami melihat potensi kekuatan Orde Baru yang ingin bertahan akan memakai isu SARA untuk mengadu domba masyarakat secara horizontal. Untuk itu, kami bersepakat mempertemukan tokoh-tokoh lintas agama di kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Jl KHA Dahlan, Yogyakarta. Saya bersama Izzul Muslimin, Ketua Umum IPM kala itu, menjadi panitia pengarah pertemuan ini.
Saat itu kami berhasil menghadirkan tokoh Katolik Romo YB Mangunwijaya, tokoh Protestan Th Sumartana, dan Amien Rais sendiri. KH Said Aqil Siraj yang mewakili unsur NU berhalangan hadir. Para tokoh ini kami minta membicarakan agenda demokratisasi pasca Soeharto lengser.
Alhamdulillah, sambutan Romo Mangun sangat luar biasa kala itu. Romo Mangun yang kami kontak sedang berada di Australia, langsung memutuskan pulang agar bisa mengikuti pertemuan di PP Muhammadiyah ini.
Ketika kami menyambut dan mengantar Romo Mangun masuk gedung PP Muhammadiyah, ia berujar: “Seumur hidup baru kali ini saya menginjakkan kaki di kantor PP Muhammadiyah.” Wajah Romo Mangun sumringah, bahagia.
Yang membuat saya terharu, anak-anak muda Muhammadiyah memperlakukan Romo Mangun dengan penuh hormat. Beberapa di antaranya bersalaman, sembari mencium tangan Romo Mangun, bagaikan santri NU memperlakukan kiainya.
Pertemuan para tokoh lintas agama tadi akhirnya menelurkan saling pengertian untuk bersama-sama mencegah digunakannya isu SARA untuk memecah belah bangsa dan negara, meski gagal mencegah konflik Ambon dan Sampit. Karena itu, ketika muncul gagasan Amien Rais untuk mendirikan partai terbuka dan pluralis bernama Partai Amanat Nasional, saya, Ali Audah, dan Izzul Muslimin serta kawan-kawan lain pendukung Amien Rais saat itu antusias menyambutnya. Kami pun bergabung ke PAN.
Dengan partai pluralistik, maka pilihannya adalah menampilkan wajah Islam yang “rahmatan lil alamin” , yang inklusif, yang ramah dan mengayomi umat lain yang berbeda keyakinan. Pilihan lainnya adalah menampilkan wajah Islam yang eksklusif, Islam yang “izzul Islam wal Muslimin”, yang tertutup dan lebih mengutamakan kepentingan umat Islam saja.
Keinginan mendirikan partai eksklusif Muhammadiyah juga kurang menarik perhatian kami. Sebab hal itu akan berbenturan dengan kredo atau khittah Muhammadiyah yang memutuskan tidak melibatkan diri dalam politik praktis; politik dalam rangka memperebutkan kekuasaan.
Ini bukan berarti Muhammadiyah apolitis. Muhammadiyah tetap berpolitik, tetapi politiknya Muhammadiyah, menurut istilah Amien Rais ketika itu, adalah politik adiluhung atau "high politics". Politiknya Muhammadiyah adalah politik kenegaraan; politik dalam arti ikut memberi masukan demi kemaslahatan bangsa dan negara.
Dari gagasan Amien Rais soal "high politics" ini, setelah melalui penggodokan, akhirnya melahirkan Khittah Muhammadiyah dalam Berbangsa dan Bernegara pada era Ketua PP Muhammadiyah dijabat Buya Syafii Maarif.
Khittah atau pedoman berpolitik Muhammadiyah itu menegaskan kembali bahwa Muhammadiyah tidak berpolitik praktis. Bahwa politiknya Muhammadiyah adalah politik adiluhung atau "high politics". Bukan politik rendah demi meladeni ambisi berkuasa kelompok maupun orang per orang.
Muhammadiyah mengambil jarak dari sikap partisan untuk mendukung atau tidak mendukung partai atau tokoh tertentu yang terlibat dalam kontestasi politik demokratis pasca Orde Baru.
Oleh karena itu, ketika akhir-akhir ini kita mendengar Amien Rais meminta PP Muhammadiyah bersikap aktif dalam ajang Pilpres 2019 ini, dengan ikut mendukung calon tertentu, hal itu justru inkonsisten, kontradiktif, dan mengkhianati warisan mulia Amien Rais di Muhammadiyah sendiri.
Hanya demi kebencian kepada Jokowi atau demi ambisi pribadi dan partai koalisinya untuk berkuasa, Amien Rais telah mempertaruhkan nasib organisasi dakwah Muhammadiyah yang telah berumur 106 tahun. Itulah mengapa Amien Rais saya sebut salah satu “produk gagal” Muhammadiyah.
Saya bersyukur, jajaran PP Muhammadiyah tidak lembek menghadapi tekanan Amien Rais itu. Jangan sampai organisasi Islam Berkemajuan yang berkontribusi besar bagi kemajuan bangsa ini menjadi korban, hanya demi memenuhi nafsu petualang politik segelintir kader Muhammadiyah.
“Muhammadiyah tidak bisa ditekan-tekan oleh siapapun, dari manapun, dengan cara apapun," tegas Sekum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti
Bayangkan, ada 9 ribu lebih sekolah Muhammadiyah sejak TK hingga SLTA, dua ribu lebih rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, dua ratus lebih perguruan tinggi, belum lagi panti asuhan dan pesantren, yang bernaung di bawah payung Muhammadiyah.
Terlalu banyak hal akan dikorbankan jika potensi Muhammadiyah yang luar biasa ini dipertaruhkan hanya demi meladeni ambisi sosok petualang politik seperti Amien Rais.
Apa yang dilakukan Ketua Umum PP Muhammadiyah saat ini, yakni Dr Haedar Nashir, sudah tepat. Yaitu Muhammadiyah secara institusi menjaga jarak dari semua pihak yang berkontestasi dalam pemilu 2019, baik pileg maupun pilpres.
Adapun jika baru-baru ini PP Muhammadiyah menyerahkan enam poin usulan untuk bisa diakomodasi dalam naskah Nawacita 2 Presiden Jokowi, itulah justru contoh implementasi dari sikap high politics Muhammadiyah. Yakni, Muhammadiyah ikut terllibat aktif dalam hal proses pengambilan kebijakan strategis atau menyangkut masa depan bangsa dan negara.
Usulan yang sama juga akan disampaikan kepada pasangan Prabowo-Sandi. Siapapun yang akan memenangkan Pilpres 2019, tidak masalah bagi Muhammadiyah dan dipersilakan mengadopsi keenam usulan tadi menjadi kebijakan atau visi misinya. Karena komitmen Muhammadiyah, seperti ditegaskan Haedar Nashir, bukan kepada orang per orang, tetapi lebih kepada substansi atau nilai-nilai yang diperjuangkan.
Keenam usulan untuk pasangan capres-cawapres itu adalah sebagai berikut:
Pertama, menjadikan nilai-nilai agama yang hidup di tengah bangsa Indonesia sebagai nilai luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai perwujudan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kedua, menjadikan atau meneguhkan Pancasila sebagai landasan, filosofi, alam pikir seluruh warga bangsa dan pengelolaan negara. Sehingga Pancasila betul-betul terwujud dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
Ketiga, menyusun dan melaksanakan kebijakan ekonomi baru yang berkeadilan sosial dan pemerataan sebagai usaha untuk mengatasi kesenjangan sosial.
Keempat, menegakkan dan mewujudkan kedaulatan bangsa dan negara sebagaimana amanat konstitusi, sehingga kita menjadi bangsa dan negara yang kokoh dan berkemajuan.
Kelima, penguatan daya saing sumber daya manusia Indonesia untuk berkompetisi di ranah global. Di sini pentingnya rekonstruksi dan revitalisasi pendidikan nasional.
Keenam, meningkatkan peran yang sudah dirintis Presiden Jokowi, yakni bersikap proaktif di lingkungan dunia Islam dalam skala global.
Usulan itu disampaikan secara terbuka. Bila Anda caleg atau timses capres kubu sebelah, silakan saja usulan itu dijadikan visi misinya dan diperjuangkan. Karena siapa pun pemenang Pileg atau Pilpres tidak masalah bagi Muhammadiyah, asal nilai-nilai yang diusulkan tadi dapat terealisasi dalam praktik kenegaraan. []
*Penulis menyelesaikan S1 dan S2 dari Fisipol UGM Yogyakarta. Pernah menjadi Ketua Tim Sosialisasi Platform PAN DIY dan wartawan beberapa media cetak. Kini bekerja sebagai redaktur Jokowi App, aplikasi resmi Jokowi-Ma’ruf Amin.
Advertisement