Amien Rais dan Gus Dur itu Ibarat Tom and Jerry
Belakangan beredar meme bergambar KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Meme itu beredar lewat lini massa dan grup-grup whatsapp.
Entah siapa yang membikin. Isinya menggelitik. "Warga NU kalau pilih presiden gampang saja. Sesuai wasiat Gus Dur. Pilih yang nggak ada Amien Raisnya. Gitu aja kok repot...!."
Tentu, kata-kata itu tidak genuine dari Gus Dur. Pasti sudah dimodifikasi sesuai kepentingan politik terkini. Di saat Amien Rais begitu getol mendelegitimasi Jokowi dan mendukung Prabowo.
Tapi memunculkan ikon Gus Dur sebagai perlawanan terhadap manuver politik Amien Rais tidak salah. Sebab, kedua orang ini memang dua sosok yang secara visi maupun strategi berpolitiknya selalu berbeda.
Rasanya saya belum menemukan permainan politik yang cerdik saat ini. Seperti yang pernah dimainkan mereka berdua di zaman Orde Baru. Saat politik hegemoni begitu menyelimuti bangsa ini.
Pada era yang sama, keduanya sama-sama menjadi pemimpin Ormas Islam terbesar di Indonesia. Amien Rais menjadi Ketua PP Muhammadiyah. Gus Dur Ketua Umum PBNU.
Kedua tokoh Islam itu menjadi pemimpin ummat dan politik di masa Orde Baru. Di zaman kepemimpinan Soeharto. Presiden yang otoriter dan berkuasa 32 tahun.
Saat masih menjadi wartawan muda, saya sering mempertemukan keduanya. Mulai dari Seminar NU-Muhammadiyah sampai dengan diskusi-diskusi terbatas di Yogyakarta.
Keduanya menjadi narasumber utama saya sebagai wartawan. Setiap hal saya mewawancarai keduanya. Menggali pandangan dan pikirannya tentang segala hal.
Saya sampai hafal cara berpikir keduanya. Sistematika berpikirnya. Juga idiom-idiom yang digunakannya. Termasuk gaya penyampaian pikirannya masing-masing.
Pada masa itu, selain sebagai Ketua PP Muhammadiyah, Amien Rais punya lembaga studi yang menjadi tempat berkumpulnya para tokoh ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia). Di pihak lain, Gus Dur berkumpul dengan para tokoh Forum Demokrasi (Fordem).
Spektrum perbedaan Amien Rais dengan Gus Dur bukan lagi soal khilafiah. Soal amal ibadah. Tapi lebih dalam hal cara pandang tentang negara bangsa. Juga tentang bagaimana mewujudkannya dalam politik praktis.
Pada saat itu, Amien Rais lebih dekat dengan Rezim Soeharto yang sedang menjalankan politik akomodasionis terhadap Islam di akhir pemerintahannya. Instrumen akomodasi politik itu adalah ICMI.
Gus Dur sebagai pemimpin puluhan juta warga Nahdliyin yang sebagian besar petani dan miskin memilih jalan lain. Ia lebih mengedepankan penguatan civil society. Karena itu, ia lebih dekat dengan kalangan LSM dan kelompok pro demokrasi.
Lingkungan dan arah perjuangan antar keduanya sudah berbeda. Yang satu lebih dekat dengan kekuasaan. Satunya lebih berseberangan. Yang satu menjadi bagian dari kekuasaan. Satunya menjadi pengontrol dan penyeimbang kekuasaan.
Latar belakang pendidikan kedua tokoh ini juga berbeda. Meski sama-sama dilahirkan sebagai anak urban, namun pendidikannya berlainan. Amien lebih linier. Sedangkan Gus Dur lebih berliku-liku.
Amien Rais yang kelahiran Solo melalui jalur pendidikan layaknya seorang ilmuwan. Setelah lulus di Fisipol UGM dan Sarjana Muda di IAIN Sunan Kalijaga, Amien mengambil program master di Universitas Notre Dome, Indiana. Gelar doktor diperoleh dari Universitas Chicago, Amerika Serikat.
Sedangkan Gus Dur yang lahir di Jombang melampaui pendidikannya di pesantren Krapyak Yogyakarta, Tegalrejo Magelang, dan Tambak Beras Jombang. Ia sempat mengenyam sekolah umum di SMP Jakarta dan Yogyakarta.
Setelah selesai di pondok pesantren dan sempat menjadi guru, Gus Dur meneruskan pendidikan di Universitas Al Azhar Kairo. Hanya dua tahun. Ia menamatkan pendidikannya justru di Universitas Bagdad, Irak. Ia sempat ke Leiden, Jerman dan Perancis sebelum balik ke Indonesia.
Sebagai pemimpin ummat dan aktor politik, Amien Rais dan Gus Dur ibarat Tom and Jerry. Keduanya selalu berseberangan dalam pandangan politik. Juga selalu tidak sejalan dalam berbagai hal, termasuk masalah ummat. Kecuali saat pergantian kepemimpinan paska jatuhnya Soeharto.
Lingkaran bergaulnya membuat spektrum perbedaan itu makin lebar. Ketika berkumpul di lingkaran Amien Rais, saat itu saya selalu mendengar rasan-rasan tentang Gus Dur. Begitu juga sebaliknya. Di masing-masing saling menggunjing.
Karena itu, saya pernah membuat polemik terbuka yang mengungkap pemikiran keduanya. Hasil polemik tersebut saya bukukan dengan judul Islam, Demokrasi Atas-Bawah. Buku ini sempat menjadi laporan Utama Majalah Gatra setelah diskusi di Masjid Sunda Kelapa.
Melalui ICMI, Amien Rais memimpikan umat Islam langsung berada dalam lingkar kekuasaan. Bagi Gus Dur, jalan demokratisasi melalui penguatan rakyat lebih penting. Sebab, jika jalan demokrasi yang diambil, ummat juga akan berkuasa karena mayoritas.
Paska Soeharto lengser, Gus Dur atas dukungan Amien Rais menjadi Presiden RI menggantikan BJ Habibie yang sebelumnya menjadi patron Amien Rais di ICMI. Namun, setelah menjadi presiden 2 tahun, Amien Rais yang memimpin pemakzulan Gus Dur dari Istana.
Sayangnya Gus Dur tidak berumur panjang. Ia lebih dulu meninggal dunia meski pemikiran dan spirit perjuangannya masih hidup sampai sekarang. Sementara Amien Rais terus berpoliitik dengan kapal besar PAN yang didirikannya.
Jika Gus Dur masih hidup, saya yakin kedua tokoh ini pasti tidak akan bisa sejalan. Ia akan tetap menjadi seperti Tom dan Jerry yang terus bertengkar dan saling menggoda. Gus Dur dengan segala "kenakalan" dan kecuekannya. Amien Rais dengan kegenitannya.
Amien Rais menjadi aktor politik yang merepresentasikan Islam ekslusif. Sedangkan Gus Dur lebih dikenal sebagai representasi pemimpin ummat sekaligus aktor politik yang inklusif. Karena itu, basis politik Gus Dur lebih berwarna ketimbang Amien Rais.
Nah, jika melihat kiprah dan hasilnya dalam sejarah politik paska reformasi, Gus Dur rasanya lebih tepat identik dengan Jerry. Sosok tikus cerdik yang selalu mengalahkan kucing dalam film kartun Tom and Jerry. (Arif Afandi)