Amerika dan Generasi Saya
Rabu, 20 Januari lalu, saya begadang. Bukan nonton drama Korea atau pertandingan sepak bola. Saya nonton live streaming pengambilan sumpah Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke-46 dan Kamala Harris sebagai Wakil Presiden AS ke-49.
Banyak pernak pernik yang menarik di acara itu. Tentu juga beberapa catatan sejarah yang dibuat. Saya memperhatikan dengan detail urusan protokolernya.
Urusan sambut menyambut. Termasuk bagaimana dengan santainya para mantan presiden dan Ibu negara saat tiba di lokasi acara. Lantas berbaur dengan tamu undangan.
Tanpa anggota Secret Service atau Paspampres yang membentengi. Juga tak terlihat para ajudan yang terlihat tergopoh-gopoh, sibuk. Semua normal dan biasa.
Saat menanti kedatangan Joe Biden dan Kamala Harris, beserta pasanganya, semuanya ngobrol sana-sini. Taat memakai masker. Beberapa kali terlihat saling bercakap.
Amerika adalah tanah mimpi. Budaya Amerika yang menyergap dunia juga salah satu sari bagi para pendatang untuk mengubah hidupnya. Sepanjang punya kemampuan dan mau bekerja keras, banyak hal bisa didapat. Simak saja, beberapa perusahaan besar AS yang dinahkodai mereka yang kelahiran India, yang lantas berpindah kewarganegaraan.
Para pendatang yang membawa keahlian tentu membawa keuntungan bagi AS. Namun, para pendatang juga menyisakan masalah. Bagi mereka yang lahir di sana, namun tidak punya pendidikan atau kemampuan untuk bersaing.
Mungkin sebagian mereka adalah pendukung mantan Presiden Trump. Warga kulit putih yang kebanyakan tidak mengenyam pendidikan sarjana. Mereka kebanyakan bekerja di pabrik atau pekerja konstruksi.
Kembali ke urusan generasi sepantaran saya, Gen X, AS magnet satu-satunya. Gen X adalah mereka yang lahir diantara tahun 1965-1980. Di sini, inilah generasi Pak Harto dan Orde Baru yang spektakuler baik dari sisi negatif dan positifnya.
Generasi yang menerima dua hal sekaligus. Bekapan otoritarian, juga buaian menjadi mimpi kelas menengah.Pasca kejadian 30 September, banyak hal berubah. Orientasi politik negara, juga mulai masukannya perusahaan global di Indonesia.
Kampus menjadi media pertempuran keduanya. Menjadikan mereka sebagian aktifis, atau sekolah setingginya agar bisa merebut kue kenikmatan menjadi kalangan cerdik pandai untuk bergabung menjadi professional. Kerja di perusahaan global.
Yang pasti, bagi dua kelas itu, pendidikan adalah pintu utama. Tak heran banyak birokrat yang turut membentuk negeri ini, banyak yang lulusan kuliah di AS.
Salah satu nama besarnya adalah Mafia Berkeley. Mereka birokrat yang lulusan Kampus UC Berkeley yang banyak jadi think thank Presiden Suharto. Kampus ini bisa ditempuh hampir satu jam jalan darat dari San Francisco.
Patron kelompok ini ialah ekonom Widjojo Nitisastro. Para anggotanya antara lain Emil Salim, Ali Wardhana, J.B. Soemarlin hingga Dorodjatun Koentjoro-Jakti. Kalau iseng, carilah nama-nama Menteri urusan ekonomi di jaman Pak Harto berkuasa. Pasti akan bersitubruk dengan nama-nama tenar ini.
Konon, istilah Mafia Berkeley disematkan karena konsep ekonomi dan pembangunan yang mereka bawa, bersinggungan dengan rencana besar AS atas negara-negara yang belum maju saat itu. Agar nantinya selaras dengan kepentingan politik AS. Bapak dan Ibu Wapres Kamala Harris adalah dua cerdik pandai pendatang yang bertemu saat kuliah di UC Berkeley. Kampus Berkeley terhitung rindang dan indah. Ya suasananya mirip Bulaksumur, Kampus UGM itu.
Namun, kampus di AS juga melahirkan banyak aktifis dan pemikir kiri yang memberikan otokritik buat Indonesia. Misalnya almarhum Arif Budiman, bekas aktifis 66 yang lulusan Universitas Harvard. Kampus mentereng dan elit yang jadi salah satu anggota Ivy League.
Istilah "Ivy League" adalah kumpulan delapan kampus swasta tua di bagian utara AS. Mereka selalu diasosiasikan dengan kesempurnaan akademis dan elitisme akademis. Mereka ditahbiskan bagian dari universitas prestisius di AS. Karena selalu berada di peringkat teratas dalam daftar universitas top AS.
Banyak juga Indonesianis dari AS yang kritis. Misalnya mendiang Prof Ben Anderson dari Universitas Cornell. Dia jadi guru dan rujukan bagi banyak pemikir kritis Indonesia. Universitas Cornell juga bagian dari Ivy League.
Tak heran banyak teman saya yang berjuang mencari beasiswa, agar bisa meneruskan kuliah di sana. Banyak yang lolos. Meneruskan kuliah pasca sarjana hingga doktor.
Namun, bagi saya yang rapati pinter, alias nggak begitu cerdas, mimpi itu susah tergapai. Beruntung, karena urusan pekerjaan, saya dapat penugasan untuk belajar dan bekerja di kantor pusat, yang letaknya di sebuah kota kecil di dekat San Francisco. Akhirnya mimpi tinggal di AS tercapai.
Bersama keluarga, kami tinggal di sebuah apartemen dua lantai. Kami tinggal di lantai bawah, dengan dua kamar, tak begitu jauh dari kantor.
Pengalaman tinggal ini, membuat kami sekeluarga jatuh cinta dengan AS. Diversitynya tinggi sekali. Karena banyak pendatang. Saya merasakan jadi minoritas di sini.
Merasakan bagaimana nikmatnya mencari makanan halal di restoran muslim. Asyiknya berbelanja daging di warung milik orang muslim. Juga bertemu kaum muslim dari beragam penjuru dunia saat salat Jumat.
Pernah saya iseng ke kota tetangga, saat tahu ada sesama warga Indonesia yang berjualan tempe. Beberapa kali juga menghadiri acara yang dilakukan Konjen. Di saat seperti itu, saya bisa menangis saat mendengar lagu Indonesia Raya.
Urusan ibadah di kantor juga gampang. Ada satu ruangan yang dijadikan musholla. Di sini, saya banyak berinteraksi dengan teman muslim yang berasal dari beberapa negara.
Yang menarik, tentu urusan mendapatkan surat ijin mengemudi. Saya dan istri tentu harus belajar peraturan lalu lintas, lantas ada ujian. Baik tertulis dan praktik. Sekali tes, kami berdua lulus. Walau ada beberapa teman yang harus mengulang.
SIM ini menjadi alat utama, saat kami memulai petualangan road trip ke berbagai negara bagian di AS. Tak ada cerita bayar jalan tol, hanya bayar saat melintasi jembatan yang terhitung besar. Jalan-jalan utamanya lurus dan bagus.
Jadi saat masuk jalan bebas hambatan, tinggal pencet tombol cruiser, mobil tetap jalan konstan tanpa perlu menginjak pedal gas. Jaringan jalan bebas hambatan memang salah satu modal perekonomian di AS. Karenanya ada industri mobil juga perusahaan energi yang berkelindan di sana.
Urusan road trip ini juga menyisakan pengalaman unik. Saat road trip saya membeli bensin di tiap kota. Harga di tiap pom bensin dan di tiap kota berbeda. Ada pajak lokal yang dikarenakan.
Pernah setelah kembali ke Indonesia, saya dapat surat dari AS. Ada sebuah lembaga yang melakukan class action karena menemukan sebuah pom bensin menjual harga di atas dari seharusnya. Mereka menggugat di pengadilan lokal.
Lembaga ini menang. Dari catatan kartu debit yang saya pakai, mereka menemukan saya pernah membeli di pom bensin itu. Dan mengabarkan saya berhak atas pengembalian selisih uang.
Ngebut dan melanggar lampu lalu lintas adalah urusan berat. Lebih karena denda besar menanti. Juga, saat kita kena dua urusan itu, maka biaya polis asuransi kita akan naik tinggi.
Alasannya karena kita dianggap beresiko tinggi. Kalau kembali urusan karena denda dan uang, itu bikin semua taat. Surat tilang datang ke rumah, karena banyak CCTV di perempatan atau beberapa titik di jalan bebas hambatan.
Saat itu, saya lebih banyak mengunakan GPS penunjuk jalan Tom-Tom. Aplikasi penunjuk jalan belum seramai sekarang. Maklum, aplikasi Waze baru diakusisi perusahaan teknologi AS pada Juni 2013, dari sebuah perusahaan di Israe.
Namun, saat itu, di akhir 2011 hingga pertengahan 2012, kami sudah menikmati jaringan internet supercepat. Sudah terbiasa berbelanja online, pesan hotel melalui internet, beli tiket museum atau pertunjukan juga dari internet, atau menikmati hiburan jaringan Netflix. Semua kenikmatan teknologi itu, akhirnya juga biasa kami lakukan di Indonesia sekira lima tahun setelah kami pulang.
Saya pikir, Indonesia pun telah menikmati lompatan teknologi. Tentu saja, momentum transformasi digital Indonesia ini, jangan sampai terlewatkan. Karena banyak keuntungan yang bisa didapatkan dari ekonomi digital ini. Pemerintah harus menyiapkan infrastruktur dan kebijakan yang mendukung momentum ini.
Waduh, ini kok jadi serius tulisannya. Maaf, kita kembali ke urusan pengalaman road trip di AS saja ya. Apakah pernah berurusan dengan Polantas? Iya sekali.
Saat saya mengambil putaran. Eh tahu-tahu ada mobil Polisi mengejar. Syarat utama saat didatangi Polisi. Segera menepi dan berhenti. Lalu, taruh dua tangan di dashboard. Agar mereka melihat dua tangan kita.
Karena kepemilikan senjata hal legal di AS, Polisi selalu ingin memastikan kita tak memegang senjata dan merasa keselamatan mereka terancam. Lantas, mereka meminta SIM dan menanyakan beragam hal.
Saya menjawab segala pertanyaan dan memberikan alibi. SIM saya dibawa, untuk dicocokan datanya. Mobil mereka punya perangkat yang terhubung dengan pusat data. Saat mereka kembali, dan melonggok ada dua anak kecil duduk di car seat di belakang, Pak Polisi lalu mengembalikan SIM dan meminta saya untuk berhati-hati dalam perjalanan.
Membawa anak kecil adalah salah satu keberuntungan. Kadang, saat antre untuk suatu urusan, banyak warga yang mempersilahkan untuk dilewati. Warga AS juga sangat menghormati orang tua atau tentara dan veteran.
Urusan mendapatkan social security number juga gampang. Ke kantor semacam dukcapil, isi formulir, tak berapa lama keluar kartunya. Kartu ini jadi akses utama untuk urusan banyak hal. Dari untuk membuat rekening bank juga hal lainnya.
Menjadi anggota perpustakaan juga banyak keuntungan. Tentu akses buku bagus. Juga banyak museum bagus di banyak kota di AS. Dengan menyebutkan nomor kartu perpustakaan, kita banyak mendapatkan diskon untuk tiket masuk.
Untuk urusan pendidikan pun akhirnya saya mendapat kenikmatan. Saat tugas bekerja itu, saya menemukan beberapa kelas pendidikan eksekutif di Haas School di UC Berkeley. Beruntung, kantor tempat saya bekerja, mau membayari. Setidaknya, saya sedikit bisa ngecap kalau ada bau Mafia Berkeley.
Kini, AS memiliki kepemimpinan baru. Tentu mari kita tunggu saja, apa yang akan dilakukan Presiden Joe Biden dan Wapres Kamala Harris. Apakah mereka bisa kembali membawa AS jadi mimpi banyak orang?
Saya tak tahu, apakah dua anak remaja saya yang masa kecilnya pernah tinggal di AS, nantinya akan punya mimpi kuliah di AS. Tentu saja, Bapak dan Ibunya pengen keduanya kuliah di sana.
Cuma saya agak khawatir saja. Bisa jadi untuk generasi Gen Z, mereka yang lahir 1997-2012, banyak pilihan kiblat baru. AS tidak jadi pilihan utama. Sekarang saja, kedua anak saya lebih lebih suka anime Jepang juga para K-Pop band pesohor dari Korea.
Ajar Edi
Kolomnis Ujar Ajar
Advertisement