Ambyar Ditinggal Hari Nugroho
Oleh: Jil Kalaran
Sudah sejak lama saya mengenal Hari Nugroho yang meninggal pagi ini, Minggu, 29 Desember 2020 di Tuban, akibat serangan jantung saat sedang menyelesaikan pembuatan film dokumenter tentang Herman Bimo, teman seperjuangannya yang hilang pada 1998.
Kami juga sering berdiskusi. Diskusi kami tentu saja di seputar film, baik masalah teknis maupun tentang konsep-konsep dalam film sesuai dengan perkembangan zamannya. Karena diskusinya melalui WA tentu saja pula soal waktu menjadi tak berbatas. Artinya kami bisa mendiskusikannya siang, sore, malam dan tengah malam.
Diskusi gayeng terakhir soal film adalah film produksi tahun 2018 tapi populer 2020, Tilik. Kami beda pandangan. Saya bilang film itu bagus (dengan berbagai argumen tentunya), dan dia bilang jelek (juga dengan berbagai argumennya). Satu-satunya yang dia puji adalah soal rekaman suara yang bersih padahal itu direct sound di atas mobil truk. Lalu kami asyik mendiskusikan masalah teknis itu, mulai dari peralatan yang harus digunakan hingga metode-metode perekaman suaranya.
Hari Nugroho memang teman kami di komunitas Bengkel Muda Surabaya (BMS). Lulusan Akuntan Unair ini selain ikut bermain teater, juga sesekali menulis puisi. Sejak pandemi muncul kami semakin intensif berdiskusi via Zoom. Apalagi kami sedang menggagas banyak program demi kelanjutan organisasi kesenian yang berdiri di Kompleks Balai Pemuda Surabaya sejak tahun 1972 itu.
Hari Nugroho tergolong manusia ide. Dia bisa menangkap dengan cepat apa yang sedang kami diskusikan. Biasanya dia langsung menjabarkan ide programnya dan bahkan memberi judul program. Dia juga orang yang tak pernah sungkan menyatakan ketidaksetujuannya bila dianggap tidak sejalan dengan pikirannya. Namun begitu dia tidak pernah memaksakan kehendaknya jika ketidaksetujuannya itu tidak mendapat banyak dukungan. Ini menunjukan bahwa dia terbuka.
Dia juga seorang kreator untuk film-film dokumenter. Pengalamannya di dunia jurnalistik (bahkan jika tak salah dia pernah menjadi direktur Koperasi AJI - Aliansi Jurnalis Independen) mempengaruhinya dalam kerja-kerja film dokumenter. Bahkan dia punya situs untuk menampung karya-karyanya itu, namanya Videonesia.
Tentu saja saya, juga teman-teman yang terlibat dalam program seri diskusi publik Surabaya Jangan Ambyar hingga 9 sesi itu, merasa kehilangan dengan kepergiannya yang mendadak ini.
Ketika kabar duka kami terima, kami sedang diskusi dengan para senior BMS via Zoom tentang bagaimana organisasi ini di tengah situasi yang berubah cepat dan bagaimana kita harus mengambil posisi di tengah-tengah situasi itu.
Program yang dalam waktu dekat akan kami luncurkan adalah Pekan Monolog BMS dalam rangka merayakan HUT BMS ke 48 dan Hari Nugroho memang kami percayakan untuk menjadi Director Of Photography (DOP). Dialah yang akan bertanggungjawab soal perekaman gambar dengan kamera video itu. Miinggu depan kami akan mendiskusikan soal-soal artistik dalam pengambilan gambarnya.
Pekan Monolog BMS ini juga merupakan program penutup dari kepengurusan periode yang dipimpin oleh Heroe Budiarto. Kami memberi fasilitas kepada aktor-aktor yang akan tampil, mulai soal artistik hingga perekaman gambar melalui kamera video. Dan markas BMS di komplek Baai Pemuda Surabaya untuk sementara akan kami jadikan studio.
Tapi mau apalagi? Tuhan punya rencana lain untuk Hari Nugroho dan mungkin juga kami. Walau saya merasa salah satu kaki saya teramputasi oleh kepergian Hari Nugroho yang mendadak itu, tapi the show must go on, kata Freddie Mercury. Program harus jalan terus kan, Har?
Semoga husnul khotimah.
* Jil Kakaran, aktivis kesenian
Advertisement