Ambisi dan Politik Pencitraan, Ini Respon Pakar Tasawuf Terkemuka
Di tengah gelombang revolusi informasi dan merajalelanya informasi di media sosial, seringkali dijumpai usaha seorang politikus untuk mencitrakan dirinya seorang tokoh yang baik. Demikian pula seorang figur publik, akan melakukan hal serupa guna mempertahankan citranya di masyarakat.
Dalam konteks dimensi terdalam dalam ajaran Islam (esoteris) kritik zaman pun pernah dilakukan para ulama salafusshalih. Mari kita perhatikan ulasan KH Husein Muhammad berikut:
Ibnu Athaillah menulis indah
إِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِى أَرْضِ الْخُمُوْلِ
فَمَا نَبَتَ مِمَّالَمْ يُدْفَنْ لَا يَتِمُّ نَتَائِجُهُ
Simpanlah eksistensimu
Di bawah tanah yang tak dikenal
Sebab sesuatu yang tumbuh
dari biji yang tak ditanam
tak berbuah matang
(Ibnu Athaillah Assakandari)
Dr. Zaki Mubarak, sarjana Tasawuf terkemuka dari Mesir, mengomentari puisi di atas :
“Syair Idfin itu amat memukau. Ia begitu indah. Aku tak pernah menemukan yang sepertinya di tempat lain. Di dalamnya tersimpan gejolak spiritualisme yang amat kuat. Sang penulis, agaknya, menemukan maknanya ketika ia melakukan permenungan dalam sunyi, bening dan dalam situasi ekstasi, lalu merasuki jiwanya, maka ia menjadi kata-kata indah nan abadi, sepanjang zaman”. (Zaky Mubarak, Al-Tashawwuf al-Islami fi al-Adab wa al-Akhlaq, hlm. 108).
Puisi tersebut bicara soal perlunya menjauhkan hasrat dan ambisi akan popularitas, kemasyhuran diri dan politik pencitraan. Arti puisi itu kira-kira begini : “Simpanlah hasratmu akan popularitas dan puja-puji, karena hasrat yang demikian tak akan membuat dirimu tumbuh dan berkembang sempurna”.
Hasrat akan kemasyhuran akan menyibukkan diri pada urusan-urusan yang tak berguna dan mengabaikan kerja-kerja yang bermanfaat bagi manusia. Cinta pada kemasyhuran mendorong orang untuk mengurusi dirinya sendiri dan tak peduli pada orang lain. Hasrat ini mungkin sekarang popular disebut “politik pencitraan”.
Jagalah Lidahmu
Imam Ali bin Abi Thalib, mengatakan :
لِسَانُ الْعَاقِلِ وَرَاءَ قَلْبِهِ، وَقَلْبُ الْأَحْمَقِ وَرَاءَ لِسَانِهِ.
Orang yang berakal berpikir dulu baru bicara
Orang dungu bicara dulu baru mikir.
Imam Al-Ghazali dalam karya masterpicenya "Ihya Ukum al Din" pada tema "Afaat al-Lisan" mengatakan :
ان لسان المؤمن وراء قلبه فاذا أراد أن يتكلم بشيء تدبره بقلبه. وان لسان المنافق امام قلبه . فاذا هم بشيء امضاه بلسانه ولم يتدبر بقلبه
Orang beriman bila ingin menyampaikan sesuatu dia berpikir lebih dulu.
Orang munafik jika memendam keinginan dia akan bicara tanpa berpikir dulu.
Syeikh Nawawi dalam Nashaihul Ibad menukil ucapan imam al-Kasa`i dalam nada Bahr Kamil.
احفظ لِسانَكَ أنْ تقُولَ فتُبْتلَى
إنَّ البلاءَ مُوَكَّلٌ بالمنطِقِ
Jagalah lidahmu
Kau bisa terjerat petaka
Sungguh petaka itu bisa datang
dari celoteh Lidah
Abu al Fath al Busti menembang dalam nada Bahr Thawil :
تكلَّمْ وسدِّدْ ما اسْتطعتَ فإِنَّما
كلامُكَ حيٌّ والسُّكُوتُ جَمَادُ
Bicaralah dan katakan dengan jujur
Kata-katamu itu hidup
Sedang diam itu bagai benda mati
Demikian ulasan KH Husein Muhammad. Semoga bermanfaat.