Alumni Migunani
Saya tidak tahu siapa yang memilih kata migunani. Yang menjadikan kata itu seperti sihir bagi sebagian besar alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Migunani merupakan kata dalam bahasa Jawa. Kurang lebih berasal dari kata guna. Mendapat awalan mi dan akhiran ni. Jadilah kata sifat melekat pada tindakan yang berarti memberi manfaat.
Kata itu telah menjadi seperti mantra baru. Bagi setiap kumpulan orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi tua di Indonesia tersebut.
Kata itu bukan sekedar keyword yang menggugah memori setiap kali diucapkan. Tapi langsung memancing spirit untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat setiap kali dikatakan.
Saya merasakan itu –juga anggota lainnya– saat Keluarga Alumni Univeristas Gadjah Mada (Kagama) berkumpul di Patrajasa Surabaya, minggu, 6/8/2023. Dalam acara Kagama Jatim Pitulasan.
Inilah pertemuan pertama para alumni UGM di Jatim setelah 4 tahun prei. Sebagian besar yang hadir alumni kelompok umur di bawah 45 tahun. Alumni generasi milenial dan Gen Z. Banyak sarjana yang masih segar.
Acara ini digagas Kagama muda Jatim. Kangen-kangenan sambil memperingati hari Kemerdekaan RI. Dengan berbagai kegiatan dan games yang lucu dan mengakrabkan.
Tak peduli mereka itu pendukung Ganjar Pranowo atau Anies Baswedan. Dua alumni UGM yang namanya sudah dideklarasikan sebagai calon Presiden RI mendatang. Kebetulan Ganjar juga Ketum PP Kagama.
Mereka sedang menjadi calon presiden yang digadang-gadang menggantikan Presiden Joko Widodo yang juga lulusan UGM. Anggota Kagama yang menghayati makna migunani untuk negara dan bangsa.
Di Jatim sendiri, para alumni UGM pernah beberapa dekade menjadi kelompok strategis. Menempati banyak posisi strategis di pemerintahan maupun perguruan tinggi.
“Bahkan, di Pemprov Jatim dulu itu antara rapat Kagama dan rapat pemerintahan tipis. Seringkali rapat Kagama di kantor Pemprov,” kata sesepuh Kagama yang hadir.
Di perguruan tinggi juga demikian. Generasi pertama dosen di Fisip Unair, misalnya, hampir semuanya adalah lulusan Fisipol UGM. Banyak fakultas dan jurusan PT negeri di Jatim yang dipenuhi para dosen anggota Kagama.
Tapi itu dulu. Ketika perguruan tinggi di Surabaya dan sekitarnya belum semaju sekarang. Di saat para alumni perguruan tinggi setempat belum begitu banyak dan layak menempati posisi strategis di pemerintahan daerah.
Kini, ITS, Unair, dan Universitas Brawijaya telah melahirkan puluhan ribu sarjana. Mereka juga para anak bangsa yang layak menempati posisi strategis di daerahnya. Sejak saat itu, dominasi Kagama di pemerintahan daerah menjadi berkurang.
Lantas apa ladang migunani bagi Kagama Jatim? Tentu masih sangat banyak. Tidak hanya di pemerintahan daerah dan perguruan tinggi. Di semua lini kehidupan, di situlah alumni UGM bisa bergerak untuk bisa migunani.
Meski populasi anggota Kagama Jatim di pemerintahan berkurang, di sektor lain justru berkembang. Makin banyak pengusaha, profesional dan pendidik di berbagai tempat. Lapis baru –terutama pengusaha– yang bermunculan dari alumnus UGM.
Seperti yang ikut kumpul-kumpul Kagama Jatim Pitulasan ini. Ada ownernya Saraswati Group Hari Hardono, pengusaha transportasi laut Sulistiyo, dan beberapa dosen Unair dan Universitas Brawijaya. Mereka telah berkontribusi besar di bidang ketahanan pangan.
Hari dan Sulies –demikian keduanya bisa dipanggil– sudah puluhan tahun bergerak di pupuk dan transportasi beku di laut. Sehingga tahu seluk beluk urusan ketahanan pangan dengan segala permasalahannya di negeri kita.
Ada juga Pipin Satria GP yang kini menjadi salah satu petinggi di Ajinomoto, perusahaan Jepang yang pabriknya ada di Mojokerto. Sejumlah profesional muda juga hadir. Mereka bergerak di berbagai sektor. Di berbagai industri.
Dari diskusi sambil guyonan, lahirlah gagasan membangun ladang migunani yang baru. Apalagi dalam obrolan itu ada Dr Nur Hidayat, dosen Fakultas Pertanian UB yang juga Ketua Pengcab Kagama Malang. Juga para dosen lain seperti Suko Widodo dan Gitadi dari Unair.
Ketahanan pangan menjadi sesuatu yang masih lebih banyak menjadi jargon politik. Belum banyak menjadi kerja nyata. Padahal, masalah ketahanan pangan bukan hanya persoalan kita. Tapi masalah global.
Dubes RI di Tokyo Heri Ahmadi bercerita, self sufficient food (ketahanan pangan) nasional Jepang, saat ini, hanya 37 persen. Selebihnya, mereka ngat bergantung dengan negara lain dalam pemenuhan pangan untuk warganya.
Semua itu menjadi ruang besar untuk dimasuki. Artinya, jika bisa mentransformasikan petani kita menjadi petani modern, pasar hasil pertanian kita sangat luas. Sayangnya, yang dengan sungguh-sungguh menjadi penggerak untuk itu belum banyak.
Yang menggembirakan, mulai banyak generasi baru petani yang tak lagi bertani secara konvensional. Bahkan, mereka sudah menjadi pemasok andalan untuk komoditas ekspor pangan. Seperti budidaya melon di Binangun, kawasan Blitar Selatan. Juga beberapa tempat yang sudah memulai.
Hal yang sama juga harus mulai digerakkan di komoditas bahan pokok. Ada banyak teknologi yang sudah bisa mendukung untuk peningkatan produktifitas hasil pertanian. Misalnya, pemupukan dengan memakai drone.
Hanya untuk masuk ke pertanian modern, rasanya butuh pengorganisasian dan percontohan. Perguruan tinggi saja dirasa kurang karena belum tentu menguasai masalah lapangan. Karena itu, dibutuhkan kolaborasi berkelanjutan antara dunia pendidikan, kalangan swasta, dan pemerintahan.
Selama ini juga belum ada dirijen yang andal untuk menjadikan petani sebagai panglima di negeri ini. Sehingga belum ada tata kelola lahan pertanian yang terencana secara nasional dalam skenario besar dalam menjaga ketahanan pangan. Kementerian yang terkait pangan masih berjalan sendiri-sendiri.
Kata migunani rupanya menjadi penyulut Kagama Jatim untuk memulai hal itu. Bergerak secara profesional menggerakan para petani berubah. Menyongsong ekosistem baru dunia pertanian untuk menopang ketahanan pangan nasional.
Tentu, yang juga penting mendorong peningkatan kesejahteraan mereka. Dengan mengajak berubah. Melalui inisiatif dan percontohan. Dengan entitas yang bisa berkelanjutan. Yang dikelola secara profesional.
Malah seorang ahli komunikasi Suko Widodo menyebutnya wajib hukumnya Kagama masuk ke sektor pangan. Sebab, ratusan juta orang di dunia akan hadapi persoalan pangan untuk beberapa tahun ke depan.
Tampaknya, menjadi alumni pun harus selalu siap bertransformasi. Termasuk dalam hal memaknai kata migunani. Dulu migunani di bidang pemerintahan, saatnya bergeser ke dunia pertanian dan pangan.
Inilah keluarga alumni yang terus eksis karena punya spirit: Guyub, Rukun, lan Migunani. Pasti!