All You Can Eat ala Warung Mak Ti
INGIN makan menu ndeso sekenyangnya di Blitar? Datanglah ke Warung Mak Ti. Tempat makan yang menjadi jujugan para pejabat kota tempat dimakamkan Proklamator RI Bung Karno ini ada di perbatasan desa Jatinom dan Gogodeso, Kanigoro. Sekitar 10 kilometer dari pusat kota ke arah Lodoyo. Atau 1 kilometer dari bendungan PLTA Serut.
Berbagai menu khas ndeso tersedia. Mulai dari lodeh tahu tempe, terong, sayur lompong, oseng-oseng buah pepaya, dan bobor bayem. Terkadang ada sayur bung (rebung), bonggol bambu muda. Tersedia juga trancam, mentimun yang dipotong kecil-kecil dengan sambal parutan kelapa. Lauknya mangut wader dan jendil. Ikan yang disebut terakhir adalah sejenis ikan patin yang hidup di sungai Brantas. Ikan wader dan jendil tidak hanya dimasak berkuah. Tapi juga tersedia gorengan. Sedaap.
Sistem layananya self service. Anda bisa mengambil sendiri semua jenis makanan dan lauk pauk sepuasnya. Makan banyak maupun sedikit harganya sama. Orang kota menyebut layanan All You Can Eat. Anda juga bisa berganti-ganti piring. Pokoknya: Sak mbledose wetengmu (sampai perutmu meledak). Yah, dijamin berkeringat setelah makan. Apalagi sambalnya oke punya.
Bagi yang lahir dan besar di desa, makan di Mak Ti memberikan sensasi khusus. Menunya membawa kenangan pada masakan ibu kita di masa lalu. Ini seperti sensasi Anton Ego, kritikus makanan, dalam film Ratatouille. Sang kritikus kuliner Perancis yang kejam itu tiba-tiba teringat masakan ibunya di masa lalu saat menikmati sajian makanan penutup restoran di tengah kota Paris tersebut.
Ia pun menjadi terkenang, terkagum, dan hilang keegoannya, meski akhirnya tahu makanan tersebut dimasak oleh seekor tikus. Anton Ego yang tadinya ingin "menghabisi" restoran itu dengan kritik tajamnya menjadi melunak. Makanannya memberi sensasi kembali ke masa kecil. Sesuatu yang tak terlupakan sampai mati.
Tidak hanya rasanya yang memberikan sensasi masa lalu. Suasana dan tempatnya membuat kenangan kita pada kehidupan desa yang tenang, penuh damai dan rileks. Kita bisa makan tanpa harus duduk berjejer di meja dan kursi seperti layaknya warung. Kita bisa makan sambil duduk nongkrong di depan pintu dapur atau rumah. Juga makan dan minum di ruang tamu seperti halnya rumah sederhana masa lalu: tanpa sekat antara ruang tamu, ruang makan dan keluarga.
Saya pernah ajak Prof Dr Mohammad Nuh DEA ke warung Mak Ti saat dia menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo). Dengan lekoh, Pak Nuh --demikian panggilan akrabnya-- menikmati semua menu yang ada. Ia pun mengajak kembali mengunjungi Mak Ti saat saya undang meresmikan Gedung SMP Miftahul Huda di rumah saya. Kali itu, dia sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Lalu berapa setiap orang harus membayar untuk makan sepuasnya di Warung All You Can Eat Ndeso ini? Jangan kaget. Saat ini, sebanyak apa pun Anda makan hanya membayar Rp 10 ribu. Lima tahun lalu masih Rp 5 ribu. Itu sudah termasuk minuman. Apakah itu teh dan jeruk panas maupun es teh dan es jeruk. Bahkan juga disediakan teh botol. Harganya tetap. Jadi, mentraktir 10 orang di Warung Mak Ti sama dengan makan sendiri di rumah makan di Surabaya.
Tidak rugi? "Mboten niku," kata Mak Ti. Dia yakin bahwa rezekinya sudah diatur oleh Yang Kuasa. Buktinya, Warung Mak Ti berkembang terus. Semula, hanya menggunakan rumah miliknya. Dapurnya menjadi tempat masak sekaligus tempat prasmanan. Kini, makin besar dengan bangunan di belakang rumahnya. Juga disediakan tempat parkir kendaraan di pekarangan sebelahnya.
Mak Ti yang nama lengkapnya Supiati (55 tahun) adalah murid bapak dan ibuku saat sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda, Gogodeso. Anak dan cucunya semua juga sekolah di yayasan pendidikan yang berdiri sejak tahun 1961 ini. Karena itu, sampai sekarang saya selalu tidak boleh membayar jika makan di tempatnya. Saya sering ngakali minta teman yang membayar dan memaksa dia menerima. Ia baru mau dibayar kalau tidak keluar dari kantong saya. Adab menghormati guru sampai anaknya, masih dapat berkah.
Ia pun juga aktif berkampanye kepada para pelanggannya saat adik saya, Choirul Anam, mencalonkan menjadi kepala desa Gogodeso sepuluh tahun lalu. "Kapan lagi membalas budi Pak Imam Tauhid dan Bu Syafaatun," katanya saat itu. Imam Tauhid adalah bapak saya, salah satu pendiri sekaligus guru di Yayasan Pendidikan Miftahul Huda. Sedangkan Syafaatun adalah ibu saya. Karena jasa kedua orang tua saya yang meninggal tahun 2001 dan 1994 itulah, adik saya menjadi kepala desa sampai sekarang tanpa banyak biaya.
Sungguh rugi yang tidak pernah makan di warung All You Can Eat ala Ndeso Mak Ti sebelum mati!. (@arifafandi05)