Mayoritarianisme Berbasis Agama, Alissa: Masalah Kita Hari Ini
Seknas Gusdurian Hj Alissa Wahid menyampaikan tantangan keberagamaan Indonesia diera Reformasi. Ia menyebut konflik negara dan warga negara sebagai problem Orde Lama dan terutama Orde Baru.
Sementara problem pada era reformasi bergeser dari konflik vertikal ke konflik horizontal antarkelompok masyarakat.
“Dulu people vs state. Sekarang people vs people. Seorang jurnalis pada media nasional, bukan Kompas ya, menyebut bahwa kami tidak takut menulis apapun terkai pejabat. Yang kami takut adalah FPI. “Salah” menulis saja, mereka akan menggeruduk kantor redaksi,” kata Hj Alissa Wahid forum diskusi terbatas di Sanur, Kota Denpasar, Jumat 30 Agustus 2019.
Forum bertema “Menyusun Strategi Gerakan Muslim Moderat” ini diselenggarakan Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Dalam Negeri. Forum ini dihadiri para tokoh masyarakat dan tokoh agama Islam di Bali.
Menurutnya, praktik seperti ini dipicu oleh klaim-klaim mayoritas dan pandangan mayoritarianisme. Sementara hal itu terjadi karena demokrasi dipahami secara reduksi sebagai siapa yang menang sehingga mayoritas berhak semaunya.
“Mayoritarianisme di Indonesia berbasis agama apa saja, bukan hanya berbasis agama Islam. Di kantong minoritas Muslim di mana masjid dilarang. Bali lain lagi. Papua lain lagi. Jawa juga demikian. Di daerah lain beda lagi. Mayoritarianisme berbasis agama ini kemudian turun ke politik berbasis agama,” kata Hj Alissa.
Ia juga menyampaikan tantangan karakter komunal berbasis agama di Indonesia dan prinsip demokrasi yang disepakati di negara Pancasila dengan menjamin kebebasan individu berbasis hukum.
“Tantangannya, karakter komunal beragama dan karakter demokrasi yang berbasis hak individu. Ketika Munas NU memutuskan bahwa term kafir tidak ada dalam negara Indonesia karena pemahaman atas demokrasi yang berbasis individu. Tetapi ini di-reframing bahwa NU bidahnya keterlaluan,” kata Hj Alissa Wahid.
Ia menyayangkan praktik-praktik kekerasan, eksklusivisme, dan praktik intoleransi terjadi di Indonesia dari “mayoritas” kepada “minoritas.”
Selain itu, ia juga menyebut fenomena keberagaman dalam Islam belakangan ini. Menurutnya, belakangan ini tumbuh kalangan menengah yang sedang bersemangat menjalankan agama Islam. Mereka umumnya berasal dari latar belakang pendidikan non-pesantren dan non-madrasah serta tidak berafiliasi kepada kelompok Islam yang sudah ada.
“Tantangan kita bukan LDII, Wasliyah, dan lain sebagainya. Tetapi 22 persen Muslim yang sama sekali tidak berafiliasi ke komunitas Muslim Indonesia. Mereka ini tantangan kita Indonesia. Kata Hasan dari Alvara pada 2015. Mereka berasal dari katakan “abangan” yang tidak kenal agama kemudian rentan kemasukan paham ikut nabi kembali Al-Quran dan hadits, doktrin Islam kaffah,” kata Hj Alissa.
Menurutnya, tindakan seperti ini dilakukan oleh individu atau kelompok yang mengatasnamakan mayoritas. Mereka ini perlu diedukasi dan diajak berdialog secara intensif.
“Artinya kita harus memanajemen kelompok-kelompok komunal ini dengan baik. Kita tidak bisa sekadar mengecam atau mencaci mereka,” kata Hj Alissa.