Alibi Unik Pembunuhan Bekasi, Cekik Bakso
Oleh: Djono W. Oesman
Suami, RD, 25, membunuh isteri, NAS, 27, di Bekasi, Jumat (5/5). Caranya cekik mati. Alibinya unik. Setelah NAS mati, RD cepat beli bakso. Satu pentol dilesakkan ke mulut korban. Lalu RD teriak ke tetangga: “Istri saya tersedak bakso.”
—----------
Ketika jenazah NAS dilarikan ke RS Asopa, Bekasi, keluarga NAS yang curiga, telepon ke polisi. Maka, tim polisi menyelidik kondisi tubuh korban, juga mendatangi rumah korban sebagai TKP.
Di RS polisi menemukan, bahwa di mulut NAS ada satu pentol bakso utuh. Tanpa bekas gigitan sama sekali.
Kapolres Metro Bekasi, Kombes Twedi Aditya Bennyahdi kepada pers, Selasa, 9 Mei 2023 mengatakan: “Sebutir bakso utuh, tanpa bekas gigitan, ada di mulut korban. Bukan di kerongkongan.”
Diduga, pentol bakso yang sudah dilesakkan pelaku ke kerongkongan, mecothot keluar lagi, tertahan di mulut korban.
Dokter melakukan pemeriksaan singkat. Ditemukan bekas cekikan di leher korban. Maka, polisi menginterogasi RD. Tak sampai sejam interogasi, RD mengakui membunuh NAS, isterinya. RD tersangka langsung ditahan.
Berdasarkan keterangan saksi, polisi menyimpulkan, RD dan NAS kerap bertengkar soal rumah tangga. Kronologi pembunuhan, begini:
Jumat, 5 Mei 2024 pukul 06.00 WIB di rumah suami-isteri RD dan NAS, di Pebayuran, Bekasi, Jabar. NAS membangunkan RD yang masih tidur. Tapi RD tetap tidur.
Pukul 07.30 WIB NAS menyalakan mesin motor, memanasi mesin. NAS sudah siap berangkat bersama anak laki satu-satunya. NAS sudah bicara ke RD yang tidur, bahwa dia akan meninggalkan rumah.
Saat mesin motor bunyi, RD langsung bangun, lari menuju motor, mematikan mesin, mengambil kunci kontak. Kemudian suami-isteri itu cekcok. Lalu, RD mengajak NAS menuju kamar. Sementara, anak mereka di halaman luar.
Di kamar, RD mencekik NAS, membanting ke lantai, membekap wajah NAS dengan bantal. Dalam pengakuan tersangka ke polisi, ia membekap wajah isterinya selama sekitar sepuluh menit. Sampai NAS tak bergerak lagi.
Kemudian RD keluar rumah membeli bakso, tak jauh dari rumah. Bakso bungkusan plastik itu dipindahkan ke mangkuk di dapur, juga dibawakan segelas air putih, dibawa RD masuk kamar. Drama ini supaya dilihat anaknya, bahwa ibunda masih makan bakso.
RD keluar kamar, mengajak anaknya pergi naik motor. Ternyata menuju mesin ATM, mencairkan uang dari ATM NAS.
RD diinterogasi, mengapa perlu mencairkan uang? Dijawab, supaya seolah-olah RD disuruh isteri beli bakso (yang sudah dibeli duluan) dengan mengambil uang di ATM.
RD balik ke rumah, masuk kamar, lalu pura-pura panik melihat isteri tergeletak. RD teriak-teriak, para tetangga berdatangan. RD teriak: “Leha (panggilan NAS) habis makan bakso, tau-tau begitu.”
Para tetangga, juga keluarga NAS yang tinggal sekitar situ, tak banyak pikir. Langsung mengangkut NAS menuju puskesmas terdekat. Pihak puskesmas merujuk ke RS Asopa, Bekasi. Tapi keluarga NAS curiga, dan telepon polisi.
Tim polisi berpencar ke RS dan ke TKP. Setelah ada indikasi pembunuhan, polisi menginterogasi RD, dan RD mengaku.
RD mengaku, ia sering bertengkar dengan isteri. Karena, katanya, isteri suka utang tanpa seizin RD. Juga isteri bicara kasar ke suami.
Tersangka dikenakan Pasal 44 Ayat 3 Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga beserta Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, ancaman hukuman 15 tahun penjara.
Dari konstruksi itu, NAS tidak sadar masuk ke periode bahaya dalam hubungan suami-isteri. Rumah tangga mereka sudah tidak harmonis. Berdasar polisi, RD-NAS sering bertengkar. Ketika NAS menyatakan akan meninggalkan rumah membawa anak, itulah periode bahaya.
Prof Betty Jo Barrett dalam karyanya bertajuk: “Leaving relationship is 'most dangerous time' for domestic violence victims, experts say”, dipublikasi di CBC News, 8 Desember 2016, menyatakan, buat isteri yang tidak harmonis dengan suami, periode paling bahaya adalah saat meninggalkan rumah untuk meninggalkan hubungan perkawinan.
Karena, pada periode yang sangat singkat itu (biasanya sekitar 10 sampai 15 menit) kemarahan suami meledak. Ia takut kehilangan isteri, meskipun ketika bersama isteri sering bertengkar.
Berarti, suami tipe predator menginginkan tetap bisa berhubungan seks bersama isteri, tapi ia selalu bersikap menekan dan mengendalikan isteri sepenuhnya.
Barrett adalah Profesor Madya di Program Studi Wanita dan Gender, University of Windsor, di Windsor, Australia. Dia peneliti spesialisasi riset: Kekerasan Berbasis Gender.
Dari puluhan riset Barrett melibatkan ribuan responden, KDRT (disebut Domestic Violence - DV) mayoritas dilakukan pria terhadap wanita pasangan, baik suami-isteri, atau hidup bersama yang kita sebut kumpul kebo.
Barrett: “Ketika pasangan tidak harmonis oleh pria yang agresor, maka perilaku pria DV terhadap wanitanya, bisa fatal. Bahkan bisa berakhir dengan pembunuhan.|
Teori Barrett ini juga cocok dengan sangat banyak kejadian di Indonesia. Terutama yang sudah dipublikasikan media massa.
Tulisan Barrett mengulas banyak hal, dianalisis dengan teori psikologi dan kriminologi. Tapi yang paling relevan dengan kasus ‘Cekik Bakso’ di Bekasi adalah fokus tulisan tersebut.
Jadi, bagaimana dong cara isteri meninggalkan suami tipe begitu? Barrett tidak menjelaskan rinci, tapi dengan mengungkap periode bahaya itu wanita bisa mencari cara sendiri kabur dari pasangan.
Dikutip dari The Guardian, Agustus 2021 bertajuk “The most dangerous time”, dikisahkan tentang ibu empat anak bernama Roia Atmar, imigran dari Afghanistan ke Australia.
Atmar dinikahkan (nama suami tidak disebut) oleh ortu di Afghanistan ketika dia usia 14. Beberapa tahun kemudian keluarga muda ini pindah ke Australia, akhirnya menetap di sana hingga punya empat anak.
Di Australia, sehari-hari Atmar jadi samsak hidup suami. Tidak ada yang tahu itu kecuali korban dan pelaku. Sebab, di Australia mereka tidak punya saudara.
Sekali waktu ortu Atmar berkunjung ke rumah mereka di Australia, suami Atmar berdrama seolah-olah keluarga mereka harmonis. Sebaliknya, Atmar tidak berani mengungkap tabiat suami.
Atmar selalu menunggu kesempatan kabur ke Afghanistan, tapi harus bersama empat anak itu. Bertahun-tahun Atmar tak punya kesempatan.
Suatu hari di tahun 2001 Atmar cekcok berat dengan suami. Akhirnya Atmar disiram cairan kimia sejenis air keras. Heboh. Atmar dilarikan ke rumah sakit. Diberitakan media massa sebagai korban DV.
Di RS dia didatangi banyak relawan pejuang hak wanita. Meskipun suami Atmar mencegah keras Atmar ditemui relawan. Dan, si suami menjaga ketat Atmar. Tapi luka bakar tubuh Atmar parah. Dia dirawat tiga bulan di RS. di kurun waktu itu ada kalanya suami Atmar lengah, sehingga Atmar ditemui relawan. Atmar cerita semuanya.
Akhirnya relawan lapor polisi, dan polisi melindungi Atmar dari ancaman suami. Keluarga, yang semestinya harmonis, kini malah jadi musuh, dijaga polisi.
Ternyata, itulah kesempatan Atmar meninggalkan suami. Didampingi polisi dan banyak relawan, Atmar minta cerai. Diberitakan media massa setempat dengan tajuk: “Rise Like Phoenix: The Tale Of Roia Atmar And Her Rights”.
Akhirnya mereka bercerai. Hak asuh anak pada ibu. Atmar pun bebas, bersama anak-anak. Jadi, secara instinktif (tanpa teori) Atmar paham bahwa meninggalkan suami tipe ganas begitu sangat berbahaya. Butuh momentum tertentu yang harus tepat.
Kini Roia Atmar bekerja di pusat Patricia Giles di Australia Barat, yang menyediakan akomodasi dan dukungan darurat bagi perempuan dan anak-anak yang keluarga mereka tidak harmonis.
Sulitnya bagi wanita yang sudah terlanjur punya suami seperti RD. Mereka terjebak dalam dilema, apakah mempertahankan perkawinan atau pisah. Kalau mempertahankan, berarti tahan sakit menahun. Andai pisah, pun tidak gampang.
Berbahagialah suami-isteri yang asli harmonis. Dan, didiklah anak-anak bisa meniru seperti itu. Supaya tidak menjalani neraka di dunia.
*) Wartawan Senior
Advertisement