Alhamdulillah, Allah Ta'ala Masih Memberikan Jatuh
Seorang kiai yang sedang disowani, menemui santrinya di ruang tamu. Sang kiai berjalan dengan beralaskan bakiak coklat kesayangannya. Langkahnya diiringi suara khas bakiak beradu dengan lantai paving.
Sang kiai pun duduk seraya berkata: “Monggo diunjuk (Silakan diminum), Gus”. Seraya ia mempersilakan santrinya untuk minum air yang telah tersedia.
“Alhamdulillah, bagaimana kabar, Gus?” Sang Kiai memulai pertemuan itu dengan bersyukur disertai sapaan lembut akan hal ihwal santri.
“Alhamdulillah, Kiai. Sehat wal afiat, Panjenengan kados pundi kesehatane? Kulo mireng mantun dawah” (Kesehatan anda bagaimana? Saya dengar anda habis jatuh)”.
Santri itu mencoba ganti bertanya akan kondisi kiai idolanya, yang ternyata sedang sakit.
Kiai tersenyum, beliau berkata “Sakit napa to?" "Niku cuma dawah biasa” (Sakit apa? Itu hanya jatuh biasa). Mboten nopo-nopo, Gus. Alhamdulillah, sae. Gusti Allah tasih maringi dawah (Tidak apa-apa, Gus. Alhamdulillah, Allah masih memberikan jatuh)”.
Santri itu pun mengerutkan dahi, dan musykil kok jatuh yang mengakibatkan sakit masih disyukuri, lalu dia memberanikan diri bertanya: “Sampun diperiksaaken teng dokter?” (sudah diperiksakan ke dokter?)”.
Kiai diam sepeminum teh, beliau dawuh singkat: “Sampun ikhtiar, Gus. Alhamdulillah. Monggo didahar jajane”.(Sudah ikhtiar, gus. Alhamdulillah. Silahkan dimakan cemilannya)”.
Selanjutnya santri itu meminta barokah doa kepada Sang Kiai teduh itu. Tiba-tiba beliau dawuh:” Kulo nggih didungakno nggih, supados istiqomah ngaos lan ngibadah,” (Saya juga didoakan ya, agar bisa istiqomah ngaji dan ibadah).
“Masyaallah. Luar biasa, sosok kiaiku ini tetap mengedepankan ngaji dan ibadah, meskipun dalam kondisi sakit”. Batin santri itu.
Tanpa terasa santri itu terkenang akan kenangan masa kecil kelas sifir (ibtidaiyyah), ketika Kyai masih sehat, beliau istiqomah mengimami sholat lima waktu di masjid, ngaji kitab dan beliau duduk di antara tangga masjid mendengarkan adzan jumat dikumandangkan seraya menyalami santri-santri kecil sifir yang duduk berjejer disitu.
Selang beberapa waktu, tepatnya Minggu Legi tanggal 19 Juli 2009, beredar kabar Kiai yangg lahir tahun 1939 ini wafat. Santri itu pun bergegas melayat.
Selama perjalanan, teman sepondok saling berbagi kisah tentang kesabaran dan keikhlasan yangg beliau tanamkan untuk keluarga dan santri-santri.
Dalam suasana bercerita itulah, teringat pula ketika sowan terakhir. Kiai pernah dawuh “Alhamdulillah, tasih diparingi dawah”.
Bagi teman-teman pesantren dawuh ini bermakna “dawah” (jatuh) yang mengakibatkan sakit sebagai salah satu bentuk wasilah (lantaran) untuk taqorrub ilallah, iling kaliyan Gusti Allah.
Sebab seseorang yg telah bersih hatinya menilai Sakit adalah bentuk anugrah dan karunia. Baginya sakit dan sehat adalah istilah saja, hakikatnya tetaplah sama. Yakni sama-sama mengingatkan akan Dzat yang memberikan sakit dan sehat.
Kita hanya meminta sehat dan kaya namun menafikan sakit dan miskin itu tidaklah fair.
Jika kau sehat, maka songsonglah masa sakitmu, jika kau kaya, sambutlah masa miskinmu. Jika kau pandai, maka terimalah masa pikunmu. Dan kesemuanya adalah fitrah manusia yang takkan terlepas dari kesemua itu.
Walhasil, pelajaran hidup dari kiai adalah Usahakanlah tetap husnudzon (baik prasangka/positif thinking) terhadap siapapun dan Terimalah apapun yg terjadi dengan tetap melantunkan: Alhamdulillahi Robbil Alamin ala kulli haal.
#Rindu sosok Kyai Sae, KH. Mahfudz Siroj 1939- 2009
*) Kisah ini merupakan catatan Ali Mas'ud, tentang KH Mahfudz Siroj, Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri.#alfalah ploso