Alexei Navalny, Tokoh Oposisi Rusia yang Diracun?
Menjadi pemimpin oposisi membawa risiko besar. Seperti dialami Pemimpin oposisi Rusia, Alexei Navalny. Ia dikabarkan mengalami koma karena diracun.
Dunia pun mereaksi. Mengutuk atas tindakan biadab dan mengerikan terhadap Alexei Navalny itu.
Kini, Alexei Navalny sedang dirawat di Rumah sakit di Berlin, Jerman dalam kondisi sedang membaik. Pihak rumah sakit mengungkapnya, ada "beberapa kemajuan" dalam kondisi pria 44 tahun yang diracuni itu. Meski begitu Navalny masih dalam keadaan induksi koma dan menggunakan ventilator.
Pihak Rumah Sakit Charite dalam sebuah pernyataan menggambarkan kondisinya serius tapi tidak mengancam nyawa. "Ada beberapa kemajuan dalam gejalanya," kata pernyataan itu yang dikutip AFP. "Namun dikarenakan parahnya keracunan pasien, masih terlalu dini untuk mengukur potensi efek jangka panjang."
Navalny yang merupakan tokoh oposisi terkemuka di Rusia, jatuh sakit setelah naik pesawat di Siberia pekan lalu. Dia awalnya dirawat di rumah sakit setempat sebelum ditrbangkan ke Berlin untuk mendapat perawatan pada Sabtu pekan lalu.
Dokter-dokter di Charite mengatakan, mereka yakin aktivis anti-korupsi itu diracuni dengan zat menghambat enzim kolinesterasi, semacam racun saraf.
Para sekutu Navalny berujar, dia mungkin diracuni dalam secangkir teh yang diminumnya di bandara Tomsk, Siberia. Akan tetapi para dokter yang pertama kali merawat Navalny mengatakan, tes yang mereka lakukan tidak menemukan adanya zat beracun, dan Kremlin menolak seruan internasional untuk menggelar penyelidikan.
Juru bicara Navalny Kira Yarmysh mengonfirmasi dalam twitnya pada Jumat 28 Agustus 2020, dia sudah menerima kabar terbaru tentang kesehatan Navalny dari dokter-dokter di Jerman. Dia berkatan kondisi Navalny "serius" dan para dokter menahan diri "untuk tidak memberikan prognosis apa pun."
Tak Ada Bukti
Amerika Serikat (AS) tidak memiliki bukti soal keracunan tokoh oposisi Rusia Alexei Navalny, kata Presiden AS Donald Trump saat konferensi pers pada hari Jumat 4 Setemper 2020.
"Saya tidak tahu persis apa yang terjadi. Menurut saya itu tragis, mengerikan, seharusnya tidak terjadi. Kami belum memiliki bukti apa pun, tetapi saya akan memeriksanya," katanya, saat menjawab pertanyaan terkait, seperti dikutip dari TASS, Sabtu 5 September 2020.
"Saya akan sangat marah jika memang itu masalahnya, jadi kita akan lihat angka dan dokumennya, karena kita akan dikirim banyak dokumen dalam beberapa hari ke depan," tambah presiden.
Pemerintah AS tidak meragukan kesimpulan Jerman tentang apa yang terjadi pada Navalny, tambah Trump. Trump pun sempat ditanyai apakah dia punya alasan untuk meragukan data yang Berlin berikan tentang Navalny.
"Tidak, saya tidak tahu. Saya dengar Jerman telah membuat - apakah itu pasti atau hampir pasti - tetapi kami belum melihatnya sendiri. Saya pasti akan baik-baik saja dengan itu - mereka ingin melakukan sesuatu, mereka ingin mengambil tindakan," kata presiden.
Dia menambahkan bahwa insiden dengan Navalny "mengerikan" dan itu seharusnya tidak terjadi.
Keprihatinan Dunia
Kepala badan pengawas senjata kimia dunia menyatakan "keprihatinan yang besar" setelah Jerman mengatakan pemimpin oposisi Rusia Alexei Navalny telah diracuni dengan racun saraf Novichok. Pernyataan itu dikeluarkan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia ( OPCW) pada Kamis 3 September 2020 sebagaimana dilansir dari AFP.
Direktur Jenderal OPCW Fernando Arias menambahkan, badan yang bermarkas di Den Haag, Belanda, itu siap membantu setiap negara anggota yang meminta bantuan.
"Di bawah Konvensi Senjata Kimia, setiap seseorang yang keracunan melalui penggunaan racun saraf dianggap sebagai penggunaan senjata kimia. Tuduhan semacam itu adalah masalah yang sangat memprihatinkan," kata Arias dalam sebuah pernyataan.
Dia menambahkan bahwa penggunaan senjata kimia oleh siapa pun dalam keadaan apa pun adalah tindakan tercela dan sepenuhnya bertentangan dengan norma hukum yang ditetapkan oleh komunitas internasional.
"OPCW terus memantau situasi dan siap untuk terlibat dengan dan membantu setiap negara pihak yang mungkin meminta bantuan," tambah Arias. Jerman mengatakan pada Rabu 2 September 2020 bahwa mereka akan menghubungi pengawas senjata kimia tentang kasus tersebut tetapi tidak mengatakan apakah akan meminta bantuan.
Pada 2018, Inggris meminta bantuan OPCW setelah mata-mata Rusia, Sergei Skripal, diracuni di kota Salisbury, Inggris. OPCW mengonfirmasi bahwa racun Novichok digunakan dalam kasus tersebut.
Setelah kasus Skripal, negara-negara anggota OPCW secara resmi menyetujui melarang Novichoks pada November 2019. Novichoks adalah racun saraf kelas militer yang dikembangkan oleh Uni Soviet selama Perang Dingin.
Rusia awalnya menentang langkah tersebut tetapi mengalah setelah berkompromi dengan negara-negara Barat tentang bahan kimia mana yang harus dimasukkan. Tetapi permintaan bantuan dari Jerman atas dugaan keracunan Navalny dapat memicu ketegangan baru di OPCW antara negara-negara Barat dan blok pimpinan Rusia di organisasi tersebut.
Meski mendapat tentangan kuat dari Moskwa, OPCW diberikan kekuasaan baru pada 2018 untuk mengidentifikasi pelaku di balik serangan kimia.
Sebelumnya, OPCW hanya memiliki otoritas untuk menyimpulkan apakah adanya penggunaan senjata kimia yang digunakan atau tidak. Sebuah "tim investigasi dan identifikasi" OPCW yang baru mengeluarkan laporan pertamanya pada bulan April, menyalahkan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad atas serangkaian serangan sarin dan klorin.
“Tim juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi pelaku di tempat lain jika diminta oleh pihak negara yang ingin menyelidiki kemungkinan penggunaan senjata kimia di wilayahnya," kata OPCW.
Ketegangan juga meningkat di OPCW sejak Belanda mengusir empat orang Rusia pada 2018 setelah menuduh mereka adalah mata-mata yang mencoba meretas sistem komputer pengawas. OPCW memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2013 atas usahanya menghancurkan persenjataan senjata kimia dunia.