RUU Ciker Berdampak Buruk pada Nelayan, Buruh, dan Lingkungan
Massa dari berbagai elemen masyarakat menyuarakan penolakannya pada Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, di Frontage barat Jalan Ahmad Yani, Rabu, 11 Maret 2020. Aksi yang diberi nama Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) Jawa Timur itu, bertujuan untuk menggagalkan rancangan undang-undang tersebut.
Berdasarkan rilis yang diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, penolakan tersebut berawal dari dugaan adanya pasal liar yang bisa mengancam demokrasi Indonesia. Hal yang mereka maksut terletak pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang meletakkan dasar kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang.
“ada juga Pasal 1 ayat (3), yang mengatakan, Indonesia adalah negara hukum. Kalau begitu, seharusnya waktu penyusunan harus melibatkan stakeholder yang berkepentingan,” kata Habibus Shalihin, sebagai perwakilan LBH Surabaya.
Menurut Getol Jatim, demi menguntungkan investor, pemerintah pusat rela mengeluarkan Omnibus Law, yang telah merevisi 79 undang-undang. Selain itu, Getol juga telah mengkaji RUU Ciker tersebut, yang dibedakan menjadi tiga, yakni perihal ketenagakerjaan, ancaman perusakan lingkungan, dan masalah kelautan dan perikanan.
Habib menjelaskan, hal tentang ketenagakerjaan akan menghilangkan status pekerja tetap. Rancangan juga mengancam ekologi lingkungan, karena adanya kewenangan pemerintah pusat terhadap bidang lingkungan hidup.
“Sedangkan dalam hal kelautan dan perikanan, yakni pada definisi nelayan kecil yang diperluas menjadi nelayan yang melakukan penangkapan untuk kehidupan sehari-hari,” jelas Habib.
Aksi yang sempat diwarnai ketegangan antara para buruh dengan anggota kepolisian selama beberapa menit tersebut, dihadiri oleh beberapa pihak. Yakni LBH Surabaya, BEM SI, Kontras, masyarakat Tumpang Pitu serta aliansi buruh seluruh Jawa Timur.