Alamak... Wartawan Disangka Anggota Copet
Mengucap salam adalah bagian dari adat. Juga menjadi bagian dari persahabatan. Sekarang, orang memahami, mengucap salam adalah bagian dari doa. Tapi bagaimana jika mengucap salam malah dikira penjahat? Malah dikira copet! Rasanya, dunia menjadi gelap-gulita.
Ini cerita pahit. Sekaligus mengesanan. Cerita yang terjadi begitu saja. Tidak ada tanda-tanda, juga tanpa peringatan. Rasanya lucu. Tapi juga dongkol. Sedikit juga ada rasa takut, sebab banyak orang alergi terhadap copet. Bukankah tak ada yang selamat jika copet kepegang massa? Kalau tak ada tangan patah ya gigi rontok. Minimal muka babak belur seperti onde-onde. Dipukuli tanpa ampun.
Ini kejadian pagi hari. Sekitar pukul 07.30. Persisnya di terminal bus lama di kawasan Umbulharjo, Yogyakarta. Saat itu saya sedang jalan-jalan, sembari melirik kanan-kiri ke pedagang kaki lima sekitar terminal yang menjual sarapan. Di pojok sana, ada penjual gudeg yang rasanya mantap. Terkenal tidak mahal, dan tidak pernah menthung di harga. Meski ia berjualan di kawasan yang selalu ramai.
Diluar pagar ada penjual angkringan. Kalau di Surabaya namanya Giras. Alias pinggir teras. Angkringan luar pagar itu cukup terkenal. Selain sego kucing-nya enak, sambalnya juga pas. Terutama yang berlauk ikan teri. Meski hanya berisi enam sampai tujuh ekor teri, sudah cukup bisa untuk menghabiskan sekepal nasi bungkus yang bernama sego kucing itu.
Angkringan Kang Bujel itu juga terkenal ramuan teh-nya. Entah, dia pakai teh merk apa, yang jelas dia mencampur sedikitnya empat merk teh. Tidak terlalu sepet, tapi sangat bercitarasa jika dihirup. Apalagi jika menghirupnya pakai cara jepang seperti cha no yu dalam upacara minum teh. Hem.. nikmatnya bukan main..
Belum lagi memutuskan menu mana yang dipilih untuk sarapan, dimuka loket keluar terminal berpapasan dengan dua anggota Reserse Kriminal Polresta Yogyakarta. Yang senior bernama Brigadir Kepala Muhari, satunya lagi Briptu Galing. Merasa kenal dengan mereka, juga karena sering meliput hasil kerja keras keduanya, spontan saya pun menyapa. Ramah dan mantap. “Selamat pagi bos,” begitu sapaan akrap itu.
Diluar dugaan keduanya malah saling lempar pandang. Saat itu juga, sebagai pihak penyapa, seketika langsung diamati dengan curiga. Saat berikutnya sudah dipepet, dan kemudian ditarik ke pinggir loket. Terkejut, tapi tidak ada reflek untuk mengelak. Apalagi melawan.
Sedetik saya masih memikir, ini bercanda apa bagaimana. Namun, pikiran itu ambyar seketika saat Briptu Muhari langsung menghardik. “Mana temanmu semalam? Ke arah mana dia? Ikut bus ke arah Gunungkidul?,” hardiknya. Hardikan ini langsung membuat sadar, bahwa ini pasti salah tangkap.
Perasaan takut mulai merayap. Sebab orang-orang di terminal mulai berkerumun. Mata-mata mereka sudah menyiratkan ancaman. Tak membuang waktu saya langsung berucap, “Ndan.. piye to, kok lupa ini bagaimana, saya kan wartawan yang sering liputan di Polresta Ndan. Mosok lupa sih, mosok aku dikira copet sih!”. Sergahan itu seketika menyadarkan Bripka Muhari dan Briptu Galing. Pada gilirannya, cengkeraman tangan mereka juga langsung mengendur.
“Ya ampun mas, ngapunten mas. Maaf sanget mas.. Waduh, tak kira sampeyan kelompok Palembangan yang semalam makan korban. Korbannya perempuan mas, Ya ampun mas, minta maaf mas. Aduh bagaimana ini?,” kata keduanya dengan wajah pias karena malu.
Mereka sadar telah salah tangkap. Yang ditangkap wartawan pula. Malah punya akses dengan Komandan mereka di Polresta Yogyakarta.
Kerumunan di bekas terminal itu seketika bubar. Aksi massa yang biasa dilakukan untuk copet urung terjadi. Lega luar biasa rasanya, tapi dongkol di hati tak sembuh seketika meski para polisi lapangan ini berkali minta maaf. Dalam hati seperti berjanji, akan balik mengerjai keduanya. Menurut Muhari dan Galing, saya ditangkap karena berwajah sipit. Mirip para pelaku pencoleng kelompok Palembangan yang menyesaki kota Yogyakarta.
Dua hari kemudian, saya berkesempatan mengobrol dengan Kasatreskrim Polresta Yogyakarta. Pak Kasatreskim terbahak-bahak. Sampai keluar air mata. Kasat pun lalu mengangkat telpon dan meminta Muhari serta Galing menghadap. Sejam kemudian, saya sudah menyaksikan keduanya “dihukum” push up masing-masing 100 kali sembari disaksikan hampir seluruh wartawan yang ngepos di Polres Yogyakarta. Hahaha... dongkol pun menguap sudah dalam sekejab. (widikamidi)
Advertisement