Al Zaytun, Bermula Yayasan NII
Pondok Pesantren Al Zaytun sebelumnya merupakan Yayasan Negara Islam Indonesia (NII). Menko Polhukam Mahfud MD, bahkan mengaku memiliki bukti dokumen yang mengungkap kebenaran tersebut
NII merupakan salah satu organisasi islam yang disebut memiliki paham radikalisme. NII juga menjadi organisasi yang telah masuk ke dalam organisasi terlarang oleh pemerintah.
"Ada dokumen yayasannya bahwa dulu yayasannya namanya ya itu yayasan NII tapi lalu berubah yayasan pendidikan Al Zaytun dan seterusnya," kata Mahfud, di Hotel JS Luwansa, Jakarta, pada 5 Juli 2023.
Munculnya ponpes Al Zaytun juga tidak terlepas dari pengaruh NII. Hal itu semua juga tercatat dalam sejarah negara. Pemerintah akan terus monitor NII itu, karena itu sejarahnya memang tidak bisa disembunyikan. Dulu munculnya itu dari ide kompartemen 9 NII.
Seiring berkembangnya zaman semakin berkurang pengaruh NII di ponpes Al Zaytun. Kini, ponpes itu telah berubah menjadi lembaga pendidikan pada umumnya.
Memang, banyak hal kontroversi terkait Al Zaytun. Mulai dari terkait NII, membaur jemaah lelaki dan perempuan berdalih mengikuti mazhab Sukarno, hingga salam khusus dalam tradisi Yahudi.
"Mengurai Kontroversi Al Zaytun", merupakan pandangan Masdar Hilmy, Guru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. berikut penjelasan dari uraian itu. (Redaksi):
Akhirnya kepolisian menaikkan status kasus Panji Gumilang (PG) dari penyelidikan ke penyidikan. Artinya, penyidik telah memeriksa sejumlah saksi dan mengantongi minimal dua bukti permulaan yang cukup. Langkah cepat dan tegas Polri tersebut layak diapresiasi guna mengakhiri kegaduhan publik, terutama menjelang tahun politik 2024.
Kontroversi Al Zaytun harus diselesaikan secara bermartabat agar tidak menghabiskan energi bangsa secara percuma. Di luar itu, ada banyak agenda bangsa yang jauh lebih mendesak. Yakni transisi kepemimpinan nasional dan konsolidasi politik demokrasi secara aman, damai, dan berkeadaban.
Diberitakan, pemerintah akan menempuh tiga langkah dalam mengurai kontroversi Al Zaytun. Pertama, membidik PG secara individu sebagai target penegakan hukum, bukan Al Zaytun secara kelembagaan. Kedua, penanganan terhadap institusi Al Zaytun untuk dibina di bawah pengawasan Kementerian Agama. Pembubaran Al Zaytun bukan jalan keluar yang baik. Ketiga, mewajibkan Al Zaytun untuk tertib sosial dan keamanan masyarakat setempat (Jawa Pos, 5/7/2023).
Pusaran Kontroversi
Memang Al Zaytun tak pernah sepi dari kontroversi. Hal itu akibat sejumlah sikap dan pernyataan ”nyeleneh” pengasuhnya (PG), yang memantik perdebatan publik. Mulai dari salam Yahudi, pembauran laki-laki dan perempuan dalam salat berjemaah, perempuan sebagai khatib salat Jumat, muazin menghadap jemaah, dan lain-lain.
Pada awal 2000-an, Al Zaytun pernah ramai dikaitkan dengan Negara Islam Indonesia (NII). Al Zaytun juga pernah dikaitkan dengan polemik penggelembungan suara pada Pemilu 2004.
Namun, kontroversi itu tidak pernah berakhir dengan kejelasan. Konon, terdapat ”orang kuat” di belakang Al Zaytun yang melindunginya. Buktinya, keberadaan Al Zaytun ataupun PG sejauh ini seperti tak tersentuh oleh hukum (untouchable by law). Selain itu, kontroversi Al Zaytun di masyarakat lebih mencerminkan serpihan-serpihan respons yang bersifat sporadis, fragmentatif, atau sepotong-sepotong. Ada yang mengasumsikan Al Zaytun sebagai pesantren radikal, menyimpang, atau liberal.
Dalam tradisi pemikiran keagamaan, terdapat kelompok arus utama (mainstream) yang mendasarkan pemikiran dan praktik keberagamaannya pada normativitas teks suci yang telah mapan (established). Dalam konteks wacana keagamaan, kelompok mapan tersebut membentuk ortodoksi pemikiran dan praktik keagamaan yang dibentuk oleh para ulama dan dikawal oleh umara (pemerintah).
Siapa pun yang coba mengusik ortodoksi tersebut biasanya akan berhadapan dengan mayoritas umat beragama yang bisa berujung pada inkuisisi (penghakiman), penegakan hukum, bahkan persekusi.
Dalam pandangan Talal Asad (The Idea of An Anthropology of Islam, 1986), ortodoksi selalu menciptakan relasi kuasa yang hegemonik di kalangan umat beragama. Persoalannya, kelompok arus utama yang mengikuti ortodoksi cenderung bertindak superior ketimbang kelompok kontraortodoksi. Dalam kondisi inilah kelompok arus utama cenderung menggunakan ”palu godam” inkuisisi untuk menghabisi pemikiran atau praktik keagamaan kontraortodoksi.
Dalam derajat tertentu, apa yang diklaim PG sebagai gagasan pembaruan sebenarnya adalah perlawanan terhadap ortodoksi keagamaan yang telah mapan. Artikulasi gagasan dan tindakannya yang tidak didasarkan pada pakem pemikiran atau mazhab keagamaan tertentu yang biasa dijadikan sebagai rujukan otoritatif dalam sistem ortodoksi keagamaan cenderung akan ditentang kelompok arus utama.
Tampaknya inilah akar persoalan dari kontroversi Al Zaytun. PG memang terkesan asal-asalan dan tidak argumentatif dalam menyampaikan pokok-pokok pemikirannya.
Jika ditemukan unsur-unsur pidana oleh otoritas negara (Polri dan pengadilan), bisa jadi ini adalah akhir kisah dari seluruh kontroversi Al Zaytun. Jika benar demikian, berarti PG mengikuti jalan cerita sejumlah individu dan kelompok keagamaan yang divonis telah menodai agama atau ”sesat” (deviant) seperti Yusman Roy, Lia Eden, Musadeq, Gafatar, dan sebagainya.
Mengakhiri Kontroversi
Kasus ini selayaknya menjadi pelajaran bagi kita semua untuk, pertama, tidak sekadar berpikir dan bertindak ”nyeleneh” atau keluar dari pakem ortodoksi. Sebab, sikap semacam ini terkesan hanya mencari sensasi dan popularitas. Dalam hal ini, mari kita belajar dari figur muslim pembaru seperti Cak Nur dan Gus Dur yang mendasarkan pemikirannya pada argumentasi normatif yang solid dan otoritatif.
Kedua, kontroversi ini juga memberi pelajaran bagi seluruh institusi pesantren agar bersikap inklusif, dialogis, dan ramah terhadap pihak luar. Dalam derajat tertentu, kontroversi Al Zaytun terjadi akibat melebarnya kesenjangan pengetahuan antara masyarakat dan pesantren ini. Semestinya Al Zaytun hadir di setiap kontroversi untuk memperkecil jurang pemisah pengetahuan antara dirinya dan masyarakat luas.
Ketiga, masyarakat luas tidak perlu bersikap berlebihan dalam merespons kontroversi Al Zaytun. Masyarakat jangan menjadi ”sumbu pendek” yang mudah disulut oleh hasutan-hasutan yang tidak bertanggung jawab. Alih-alih, pemikiran keagamaan PG yang dianggap ”nyeleneh” oleh sejumlah pihak sejatinya hanyalah menyangkut hal-hal yang bersifat cabang (furu’iyah/khilafiyah) belaka, bukan pokok substansi keagamaan (ushuliyah).
Keempat, institusi negara (pemerintah, Polri, dan pengadilan) hendaknya tetap cermat dan arif dalam menyelesaikan sengkarut Al Zaytun. Perlu diingat, setiap putusan pengadilan terhadap kasus penyimpangan atau penodaan agama terdapat risiko penurunan indeks demokrasi.
Kita mungkin bisa belajar dari kasus Ahmadiyah atau Ahok yang diikuti mobilisasi massa besar-besaran. Respons berlebihan semacam itu pada gilirannya dapat mengancam indeks demokrasi kita akibat terpasungnya kebebasan sipil warga yang seharusnya perlu dikawal dan dijamin oleh negara.*