Al-Quran Turun ke Bumi Manusia,Tak Ada Kisah Khilafah
Pada suatu malam yang tenang, angin mengalir dan berembus lembut dan langit bermandikan cahaya, Muhammad bin Abdullah-Aminah, masih berada di dalam gua itu di puncak Gunung. Ia sudah beberapa hari tinggal di situ untuk "tahannuts", "khalwah", kontempelasi, meditasi; sebuah ritual permenungan yang intens. Al-Ghazali menyebutnya : momen menyerap aspirasi dari langit.
Manakala kemudian beliau keluar dari gua itu tiba-tiba ada sosok makhluk menampakkan diri di hadapannya, dan mengatakan : “Selamat atas anda, Muhammad. Aku Jibril pembawa "Suara Tuhan". Anda adalah Rasulullah, utusan Allah kepada umat ini”. Ia kemudian merengkuh tubuh Nabi sambil mengatakan : “Bacalah !”. Muhammad saw. Menjawab: “Aku tidak bisa membaca”. "Bacalah !", katanya lagi. Muhammad mengulangi jawaban yang sama. Jibril lalu menarik dan mendekapnya sampai menyulitkan beliau bernapas. Setelah dilepaskan, Jibril mengulangi lagi perintahnya dan dijawab dengan jawaban yang sama. Pada yang ke empat kalinya Muhammad saw kemudian mengucapkan kalimat suci ini:
إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ. خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. إِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُ الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan (perantaraan) pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”, (S.Q. Al ‘Alaq, 1-5).
Keindahan Bahasa Al-Quran
Duhai betapa indah dan menggetarkannya kalimat-kalimat itu. Ini boleh jadi sebuah deklarasi untuk rekonstruksi ( jika tidak boleh disebut dekonstruksi), peradaban kemanusiaan yang telah lama hilang atau tenggelam di bumi manusia.
Begitu selesai Muhammad mengikuti menirukan kata-kata Jibril membaca 5 ayat Iqra (al-Qalam) tersebut Jibril tiba-tiba menghilang entah ke mana. Sebagai manusia, Muhammad merasa cemas. Tubuhnya menggigil. Keringat dingin mengalir deras dari pori-pori tubuhnya. Beliau bergegas pulang menemui Khadijah, isteri tercintanya, satu-satunya, dengan hati yang diliputi rasa galau, cemas dan takut. Begitu tiba di rumah, ia masuk kamar dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Katanya: “Selimuti aku, selimuti aku, sayang”. Khadijah segera menyelimuti seluruh tubuhnya rapat-rapat dan menenangkan hatinya.
Setelah rasa takutnya mereda, beliau menceritakan peristiwa yang dialaminya dan mengatakan: “Aku takut diriku, sayang. Aku khawatir sekali”. Khadijah mengatakan dengan lembut, membesarkan hatinya :
كَلّا. أَبْشِرْ فَوَ اللهِ لَا يُخْزِيكَ اللهُ اَبَداً, وَاللهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَصْدُقُ الْحَدِيثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِى الضَّيْفَ, وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Tidak, sayangku. Demi Allah, Dia tidak akan pernah merendahkanmu. Engkaulah orang yang akan mempersatukan dan mempersaudarakan umat manusia, memikul beban penderitaan orang lain, bekerja untuk mereka yang papa, menjamu tamu dan menolong orang-orang yang menderita demi kebenaran”.
Khadijah kemudian menghubungi putra pamannya, Waraqah bin Naufal. Ia adalah pengikut sekaligus seorang pendeta Nasrani dan penafsir Bible; Kitab Taurat dan Injil. Ia memahaminya dalam bahasa Ibrani yang fasih. Kepada sepupunya ini, Khadijah mengatakan: “Tolong dengarkan apa yang disampaikan sepupumu”. Lalu Nabi saw menceritakan apa yang dilihat dan dialaminya. Waraqah sangat mengerti soal itu. Tanda-tanda kenabian telah dipahami dengan baik dari sejarah para Nabi sebelum Muhammad. Ia mengatakan: “Muhammad, itulah Namus yang pernah turun kepada Nabi Musa as. Kau akan menjadi utusan Tuhan. Kau akan didustakan, disakiti, diusir dan dibunuh. Kalau saja aku masih muda dan kuat, aku pasti akan membelamu, manakala kaummu mengusirmu”. Rasulullah saw menanyakan: “Apakah mereka akan mengusirku ?”. “Ya, dan tak ada seorangpun yang sanggup menanggung beban berat seperti yang kamu tanggung”, jawab Waraqah.
Nabi tertegun. Hatinya masyghul (gundah). Ia tak dapat membayangkan peristiwa yang akan terjadi terhadap dirinya kelak, bagaimana dia akan bisa hidup di luar daerahnya dan dalam keadaan sebagai orang yang dikejar-kejar, bagai penjahat besar yang menjadi buronan masyarakatnya sendiri.
Khadijah terus mendampinginya dengan penuh kasih sayang dan tulus, sambil terus memberikan semangat dan optimisme.
Demikian catatan KH Husein Muhammad.
Tak Ada Kisah Khilafah di Al-Quran
Ada banyak kisah yang terdapat dalam Al-Quran. Namun tak ada kisah tentang sistem pemerintahan khilafah.
’Kalau dipaksakan ada, maka kisah Nabi Daud.
Demikian Katib Syuriyah PBNU, KH Afifuddin Dimyati, Alhafidz (Gus Awis), menyampaikan renungannya tentang Al-Quran. Ia menyampaikan materi pada kajian Ramadan yang digelar PSQ di Islamic Center Unipdu, Jombang.
Sebagaimana disebutkan dalam QS Sad 26. Hai Daud, "Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi." Tapi sistemnya Nabi Daud itu kerajaan.
Setelah Nabi Daud wafat, raja berikutnya yakni putranya, Nabi Sulaiman.
Makna khalifah dalam Al-Quran bukanlah sistem pemerintahan khilafah. ’Tapi khalifah dalam arti manusia sebagai wakil Allah SWT untuk memakmurkan bumi.
Ayat lain yang sering dipaksakan untuk membenarkan sistem khilafah yakni QS An-Nuur 55. ’Istihlaf disitu maknanya bukan sistem pemerintahan khilafah. Tapi generasi yang saleh, akan dijadikan pengganti untuk mengurus bumi.
Sejak zaman dulu, pemimpin yang zalim akan digantikan oleh pemimpin yang baik. Pada zaman Nabi Muhammad SAW belum ada sistem khilafah. ’Jika Allah SWT menghendaki, bisa saja suatu saat muncul khilafah. Tapi harus diperjuangkan dengan cara yang baik. Sebab sistem negara bangsa sekarang juga banyak menghasilkan kebaikan.
’Menggunakan masjid pemerintah untuk mencaci pemerintah demi mewujudkan sistem khilafah itu sangat tidak bersyukur. Pendirian khilafah bisa dimulai dengan mendirikan percontohan di suatu pulau. ’Praktikkan khilafah di pulau yang kosong. Kalau memang hasilnya baik, pasti banyak yang ikut.
Demikian semoga bermanfaat.
Advertisement