Al-Quran Memandang Orang-orang Difabel Tergolong Kaum Lemah
Majelis Tarjih dan Tajdid telah menyusun Fikih Difabel sebagai manifestasi penafsiran bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi yang mendustakan agama.
Al-Quran Surat Al-Maun yang diajarkan KH Ahmad Dahlan kepada warga persyarikatan di awal berdirinya, menjadi landasan penting dalam melakukan dakwah pencerahan dalam isu difabel.
“Dalam masyarakat umum, kondisi yang dihadapi penyandang difabel terletak pada masih rendahnya tingkat partisipasi dalam berbagai sektor, semisal praktek ibadah, pendidikan, pekerjaan, dan hak-hak sipil lainnya,” ujar Aly Aulia dalam kajian yang diselenggarakan Masjid KH. Ahmad Dahlan UMY dalam keterangan Kamis 30 September 2021.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini menyatakan, kelompok difabel kerap dianggap masih terinklusi dari lingkungan sosial dan akses terhadap fasilitas dan layanan publik terbatas. Hal ini tentu saja membutuhkan penanganan yang berkelanjutan dari berbagai sektor mulai dari budaya sampai agama.
“Karenanya, perlu disusun suatu pedoman yang memuat pandangan Islam terhadap penyandang difabel, nilai-nilai dasar, prinsip-prinsip umum, dan petunjuk praktis pemenuhan dan perlindungan hak serta fikih difabel yang mencakup aspek ibadah, muamalah dan akhlak,” tutur Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Memahami Istilah Modern
Aly menjelaskan, ‘difabel’ merupakan istilah modern yang tidak dikenal dalam Al-Quran, Hadis, atau sumber klasik Islam lain. Dalam Al-Quran kata yang banyak dipakai adalah yang merujuk pada satu jenis difabel tertentu, misalnya a‘ma, ‘umyun (tuna netra), a‘sham (tuli), abkam atau akhrash (tidak bisa bicara/bisu), a‘raj (lumpuh), dan majnun (orang dengan gangguan mental).
Di beberapa ayat, difabel juga diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok lemah (mustad‘afun), kelompok miskin dan membutuhkan pertolongan (masakin) atau orang yang tidak beruntung secara ekonomi maupun sosial, bersama dengan kategori lain seperti janda, anak yatim, lansia tanpa keluarga.
Penting untuk dicatat, kata Aly, penggunaan kata-kata yang merujuk pada jenis difabel sebagaimana disebut di atas, kerap dipakai dalam konteks simbolis atau metaforis. Makna metaforis inilah yang menandakan bahwa secara umum teks-teks Islam menunjukkan pandangan yang cukup positif, atau tepatnya netral. Netralitas al-Quran terhadap difabel juga bisa dilihat dalam ayat “Inna akramakum ‘indallahi atqakum”.
“Harkat dan martabat manusia tidaklah diukur dari kondisi fisik ataupun materi, tapi dari ketakwaannya. Dengan kata lain dalam Islam manusia merupakan entitas spiritual, bukan entitas fisik atau materi. Inilah poin pentingnya,” terang dosen UMY ini.
Selain itu, standarisasi kemuliaan manusia diukur dari kualitas ketakwaannya kepada Allah. Islam tidak memandang manusia dari status anatomi, sebab keterbatasan fisik bukan menjadi kausa prima seseorang menjadi ahli surga atau neraka. Kesempurnaan fisik bukanlah menjadi hal yang prioritas dalam hal pengabdian diri kepada Allah, melainkan kebersihan hati dan kekuatan iman kepada-Nya.
Pandangan dan sikap Al-Quran seperti ini merupakan lompatan cukup jauh dari pandangan budaya masyarakat Arab pra Islam saat itu yang cenderung melihat difabel sebagai hukuman.
Akan tetapi, sayangnya, persepsi masyarakat Muslim tentang difabel dan posisi difabel Muslim di masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh bangunan budaya. Karenanya, Aly mengajak untuk merujuk pada sumber-sumber keislaman dalam memandang difabel.