Al-Quran Diselewengkan! Siapa Mereka? (2)
Fenomena banyak orang bergegas menghafal Al-Quran. Ada juga memelajri terjemahannya, dan kemudian melakukan penafsiran sendiri. Ahmad Sarwat, Lc.,MA menulis tentang "Menyelewengkan Al-Quran".
Ada sikap mentang-mentang seseorang bisa bahasa Arab, lantas kita langsung paham semua isi Al-Quran.
Kalau memang sesederhana itu, maka Al-Quran tidak perlu memakan waktu hingga 23 tahun untuk proses penurunannya. Cukup butuh waktu 10 jam saja untuk dibacakan secara non-stop, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para santri ketika melakukan semaan atau tasmi’ 30 juz Al-Quran.
Padahal masa 23 tahun itu dibutuhkan dalam rangka menjelaskan ayat per ayat secara detail. Disitulah salah satu fungsi Rasulullah SAW di tengah umatnya, Beliau bertugas bagaimana menjelaskan isi Al-Quran secara rinci dan detail. Dan ternyata membutuhkan durasi tidak kurang dari 23 tahun.
Padahal semua shahabat yang hidup bersama Beliau dan jadi murid Beliau itu orang-orang Arab. Mereka sudah pintar bahasa Arab sejak masih kecil, karena memang bahasa Arab adalah bahasa ibu mereka. Kalau anggapan 'asalkan bisa bahasa Arab berarti otomatis paham Al-Quran' itu benar, maka buat apa para shahabat masih harus dibimbing lagi oleh Nabi SAW selama 23 tahun? Suruh aja mereka baca sendiri, kan sudah paham? Ternyata tidak sesederhana itu, Ferguso.
Masalahnya, seringkali apa yang tertulis secara teks di dalam Al-Quran tidak selalu bisa dipahami secara harfiyah begitu saja. Untuk memahaminya dengan benar harus ada kunci-kuncinya, yaitu beragam jenis ilmu terkait Al-Quran.
Kalau tidak, maka resikonya akan ada begitu bayak ayat Al-Quran yang keliru dipahami. Sebabnya karena hanya mengandalkan teks zahir dari suatu ayat. Model seperti ini jelas merupakan kesalahan fatal yang berakibat pada kesesatan.
Mengira Al-Quran = Undang-undang Siap Pakai
Kesalah-pahaman lain yang juga amat fatal dan sering terjadi di tengah khalayak umat Islam mengira bahwa Al-Quran itu itu berupa Undang-undang yang turun dari langit begitu saja, sudah jadi dalam bentuk buku dan siap pakai.
Padahal yang sebenarnya tidak demikian. Al-Quran memang sumber hukum, namun Al-Quran bukan produk hukum itu sendiri. Ayat-ayat hukum yang hanya 200-an ayat di dalam Al-Quran oleh para ulama memang dijadikan sumber pengambilan hukum, namun perlu diketahui bahwa sumber itu masih mentah, masih harus diolah dan diproses biar menjadi hukum yang siap pakai.
Seringkali terjadi kasus dimana orang awam membaca Al-Quran, namun keliru besar ketika menerjemahkan atau menarik kesimpulan hukumnya. Dia mengira apapun yang tertuang di dalam Al-Quran, itulah undang-undang dan hukum. Padahal boleh jadi Al-Quran sedang bicara tentang hukum yang berlaku pada umat terdahulu dan tidak berlaku untuk kita. Tapi karena dia tidak paham, maka hukum itu pun dianggapnya undang-undang juga. Fatal sekali cara berpikirnya.
Kekeliruan ini tentu sebuah kesalahan fatal, yang kalau dibiarkan dan didiamkan saja, lama-lama jadi penyesatan terhadap Al-Quran. Memang tidak menista Al-Quran dalam arti mencela. Namun keliru dalam mengerti makna, tafsir dan hukum-hukum yang tekandung di dalam Al-Quran justru jauh lebih berbahaya ketimbang menista Al-Quran dalam bentuk menghina.
Bukankah lebih berbahaya berhadapan dengan kaum munafikin di Madinah ketimbang orang musyrikin di Mekkah?
Kalau musyrikin Mekkah memang jelas-jelas musuh yang nyata. Sedangkan kaum munafikin di Madinah itu bagai musuh dalam selimut, tiba-tiba menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan dan menyalip di tikungan.
Advertisement