Al-Hikam, Jalan Salik Para PerinduÂ
Oleh: Ady Amar
“Al Hikam merupakan karya monumental, yang tidak hanya memuat integralitas doktrin Sufi pada semua tingkat, juga memberikan daya tarik kepada orang-orang saleh. Perpaduan pemikiran dan bahasa yang memukau, membuat karyanya menjadi universal dan memorizable.” ---- Victor Danner, Ibn ‘Atha’illah’s Sufi Aphorisms (Kitab al Hikam).
Bisa jadi orang lebih mengenal nama kitab karyanya, al-Hikam, ketimbang nama penulisnya, Ibnu Atha’illah. Al-Hikam, bermakna “Hikmah-hikmah”, bukan satu satunya kitab yang ditulisnya. Ada sekitar 20 kitab karyanya. Tapi al-Hikam adalah masterpiece karyanya.
Nama lengkapnya Ahmad Ibnu Atha’illah as-Sakandari. As-Sakandari merujuk pada kota kelahirannya, Alexandria (al-Iskandariah), Mesir. Lahir pada paruh abad ke-7Hijriah. Tahun kelahirannya tidak secara pasti diketahui, antara 648-658 Hijriah atau1250-1260 Masehi. Ibnu Atha’illah tumbuh dan besar di kota pantai itu.
Saat itu Mesir di bawah pemerintahan Mamluk. Mesir menjadi pusat agama dan pemerintahan Dunia Islam belahan timur, setelah Kekhalifahan Baghdad hancur oleh tentara Mongol pada tahun 656 H./1258 M.
Di Mesir saat itu, ada dua fenomena besar dan menarik yang layak diungkap. Salah satunya adalah fenomena munculnya ajaran Ibnu al-‘Arabi (w. 638 H./1240M.), yang bergelar asy-Syaikh al-Akbar (Mahaguru) dalam Sufisme, dengan Doktrin Wahdat al Wujud (Kesatuan Wujud), yang dimuat dalam karya-karyanya, khususnya dalam Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Dua kitabnya ini menyajikan sebuah sintesis magistral doktrin-doktrin esoterik Sufi.
Fenomena kedua, pada abad itu, munculnya Tarekat-tarekat Sufi, secara eksplosif di Dunia Islam, di antaranya Tarekat Maulawiah, Chisytiah, Kubrawiah, Syadziliah, dan lainnya. Ibnu Atha’illah, lewat Tarekat Syadziliah, ia memasuki dunia Sufi. Meski sebelumnya sejarah mencatat munculnya tarekat seperti Salimiah (abad ke-3H./ke-9 M.), dan pada abad ke-6 H./12 M., seperti Tarekat Qadiriah dari Syekh Abdul Qadiral Jilani (w. 561 H./1166 M.), yang berpengaruh pada zamannya. Namun kemunculan Tarekat Sufisme pada abad ke-7 H./ke-13 M. menenggelamkan tarekat-tarekat yang hadir sebelumnya.
Dalam perjalanan selanjutnya, tarekat Sufi ini mengalami pasang surut pada perkembangannya. Tarekat Syadziliah menyebar ke seluruh Dunia Islam, termasuk Indonesia. Dan merupakan kelompok tarekat dominan dengan guru-guru (masyayikh) yang punya kapasitas. Ibnu Atha’illah salah satu masyayikh dari kelompok Tarekat Syadziliah.
Para penguasa saat itu, baik dari Dinasti Ayyubiah maupun Mamluk, memberi ruang dengan membangun madrasah-madrasah bagi studi hukum(fiqih) Islam maupun membangun khanqah-khanqah, semacam asrama, tempat tinggal bagi para salik/tempat beruzlah. Bahkan para sultan kerap mengunjungi para guru secara rutin untuk konsultasi dan meminta nasihat. Bahkan negara memuliakan para guru dengan memberi gaji tetap.
Karenanya, perkembangan institusi fiqih maupun tarekat Sufi dapat leluasa mengajarkan ajarannya tanpa halangan. Suasana kondusif itu khususnya, membuat kontemplatif tarekat Sufi menjadi nyata.
Perjalanan Spiritual
Ibnu Atha’illah belajar ilmu-ilmu lahiriah, seperti Ilmu Tauhid, Tafsir, Hadits, Fiqih dan Ushul Fiqih. Sebagaimana sang ayah, juga kakeknya, yang keduanya dikenal sebagai fuqaha ternama. Tentu itu mengalir pada Ibnu Atha’illah.
Bahkan, konon, semasa muda dalam perjalanan pencarian ilmu, beliau amat membangga-banggakan ilmu lahirih, sebaliknya sangat membenci dan memusuhi ilmu tasawuf serta kehidupan para Sufi. Soal ini, Ibnu Atha’illah menuliskannya dalam kitab Latha’if al-Minan (Lembutnya Anugerah), dimana secara terbuka ia sebut Syekh Abu Abbas al-Mursi, sebagaimana yang diungkapkannya.
“Untuk urusan Syekh Abu Abbas al-Mursi waktu itu, aku termasuk orang yang mengingkari dan memusuhinya, bukan karena sesuatu yang kudengar dari lisannya, atau pendapat darinya yang meski tampak benar…”
Diakuinya, itu semua dilakukan karena komunitas yang membentuknya, yang senantiasa terpaut pada ilmu-ilmu lahiriah.
Sampai pada suatu waktu, Ibnu Atha’illah ragu akan perangainya, muncul pertanyaan dalam benaknya, apakah benar sikap permusuhan pada Syekh al-Mursi itu, dan benarkah ilmu agama cuma berhenti pada ilmu-ilmu lahiriah?
Pertanyaan itu terus bergelayut di pikirannya. Sampai pada saatnya, ia perlu mencari tahu sendiri, pelajaran apa yang diberikan oleh Syekh Abu Abbas al-Mursi.
Lalu, Ibnu Atha’illah mendatangi majelisnya. Seperti biasanya Syekh AbuAbbasal Mursi memberikan pelajaran-pelajaran pada murid-muridnya. Saat itu pembahasan mengenai Jiwa, tentang Iman, Islam, Ihsan, tentang pelaksanaan syariat dengan metode penghayatan hakikat, dan masalah-masalah berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yang Mahaindah.
Materi-materi yang disampaikan Syekh Abu Abbas al-Mursi dengan memukau itu, diam-diam membuat Ibnu Atha’illah seolah merasakan sesuatu yang baru tentang keindahan dan kedalaman agama. “Sampai ia mampu mempesonakan pikiranku dan menyentuh kalbuku…”
Sejak itu Ibnu Atha’illah mengikuti dan menjadi murid Syekh Abu Abbas al-Mursi. Bahkan menjadi murid yang dicintainya. Saat sang guru itu meninggal pada tahun 686 H., maka Ibnu Atha’illah yang didapuk untuk melanjutkan memberi pelajaran-pelajaran menggantikan Syekh Abu Abbas al-Mursi.
Ibnu Atha’illah menjadi mursyid ketiga Tarekat Syadziliah, yang didirikan oleh Syekh Abu Hasan asy-Syadzili, seorang yang berasal dari Maroko yang menetap di Iskandariah, Mesir (w. 1258 M.), yang sepeninggalnya dilanjutkan oleh mursyid kedua, Syekh Abu Abbas al-Mursi, yang berasal dari Murcia, Andalusia, Spanyol (w. 1287M.).
Kitab Al Hikam
Al-Hikam bukan satu-satunya kitab karya Ibnu Atha’illah. Selain kitab al-Hikam, Ibnu Atha’illah menulis sekitar 20 kitab, sebagian di antaranya Latha’if al Minan (Lembutnya Anugerah), Taj al-’Arus (Mahkota Pengantin), Miftah al-Falah (Kunci Kebahagiaan), dan satu kitabnya yang lebih bergenre sastra, kitab tipis (60 halaman), Qashdul Mujarrat Fi Ma’rifatil Ismi Mafrad (Tujuan Murni Memahami Nama Allah Yang Maha Tunggal).
Berikut kutipan syair dari buku dimaksud:
Keagungan-Mu, wahai Dzat Yang Mahasuci
tiada lagi terbatasi
Begitu jua Sifat-sifat Suci tak pernah
terhingga angka
Mahaluhur-Mu jauh dari
serupa makhluk mana pun
Dan di antara Sifat Luhur-Mu
senantiasa Suci nan Agung
Rencana-Mu pasti berjalan
Perintah-Mu terlaksana
Apa pun Engkau Mau tiada yang menghadang
Bagi-Mulah Sifat Luhur dan Paripurna
Cukuplah kemuliaan bagi penghamba
‘tuk teguhkan bahwa dirinya hamba (h. 14).
Namun demikian, al-Hikam meski bukan kitab yang tebal, tapi kitab inilah yang meneguhkan nama besar Ibnu Atha’illah.
Al-Hikam adalah kitab bagi jalan penempuh (salik), yang berisi terminologi suluk yang ketat, yang merujuk pada berbagai istilah dalam al-Qur’an.
Sebelum Ibnu Atha’illah menulis al-Hikam, atau juga bahkan sesudah dia menulis “Hikmah-hikmah”, Ibnu ‘Arabi menulis Fushush al-Hikam (Permata-permata Hikmah), tapi karyanya ini lebih falsafi, yang penguraiannya melalui nama-nama para Nabi. Kitabyang berat untuk dipahami.
Juga sesudah al-Hikam, muncul kitab lain karya Musthafa al-Bakri (w. 1162H.), Nuhdzah Fi al-Hikam (Cuplikan Hikmah-hikmah). Tapi mutu kandungan dan estetikanya masih berada di bawah al-Hikam, karya Ibnu Atha’illah.
Al-Hikam berupa kumpulan mutiara-mutiara hikmah. Terdiri dari 250 mutiara, tentang berbagai macam aspek kehidupan. Terbagi dalam 25 bab, dan diakhiri dengan risalah risalah dan munajat penulisnya kepada Allah SWT.
Al-Hikam, sebagai karya sastra amat kental dan dalam. Menyimpulkan berbagai persoalan kehidupan dengan kalimat-kalimat singkat, padat dan indah. Namun tidak jarang mutiara yang ditulisnya begitu kental dan perlu penjelasan agar tidak salah memaknai (Syarah).
Maka muncul berbagai macam Syarah, tentu dengan gaya bahasa yang beraneka. Ada sekitar tidak kurang 25 pen-syarah dalam Sastra Arab. Dan yang paling terkemuka dari semuanya adalah Syarah yang ditulis oleh Ibnu Abbad ar-Rundi (w. 792 H.), ditulis dengan bahasa yang indah dan tidak sulit untuk dipahami, dan Syarah yang ditulis oleh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi (w. 21 Maret 2013 M.).
Di samping itu ar-Rundi menulis Syarah al-Hikam dengan bentuk puisi. Ternyata bukan saja ar-Rundi yang menulis demikian, banyak penyair terkemuka lainnya juga menuli sal-Hikam dalam bentuk puisi.
Al-Hikam diterjemahkan dalam berbagai bahasa: Inggris, Prancis, Spanyol, dan bahasa Indonesia. Ada berbagai terjemahan dalam edisi Indonesia, dan yang paling menarik dan dianggap mendekati karya aslinya adalah terjemahan Ustad Salim Bahreisy Hafizhallah, namun tidak menutup kemungkinan hadir terjemahan al-Hikam lainnya yang luput dari amatan.
Al-Hikam bahkan diterjemahkan juga dalam bahasa Jawa beraksara Arab Pegon, oleh Kyai Sholeh Darat. Beliau juga biasa dipanggil dengan Mbah Sholeh, yang bernama lengkap Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani, tinggal di Jepara, sekitar tahun 1820 M.
Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Kyai Hasyim Asy’ari, dan pendiri Muhammadiyah Kyai Ahmad Dahlan pernah berguru kepadanya. Kyai Sholeh Darat menerjemahkan al-Hikam, itu dimaksudkan agar pembacanya (kalangan suku Jawa)tidak salah memaknai kitab aslinya.
Juga al-Hikam diterjemahkan dalam bahasa Sunda oleh KH. Ahmad Sanusi (w. 1950 M.), yang diberi judul Iqazhul Himan bi Ta’liqil Hikam. Merupakan penjelasan singkat (ta’liq) dalam bahasa Sunda aksara Arab (Sunda Pegon). Dicetak dalam format litografi, terdiri dari 49 halaman, dan 7 halaman tambahan berisi 207 Wasiat Kebajikan.
Al-Hikam pada mulanya tidak tertata rapi sebagaimana tampilan semacam saat ini, yang terstruktur dalam bab-bab sebagaimana yang ada. Adalah jasa Alauddin Ali bin Hasanuddin Abdul Malik bin Qadhi Khan, penulis India, menjadikan al-Hikam rapi terstruktur seperti yang kita nikmati ini.
Beberapa kutipan mutiara al-Hikam layak disuguhkan. Berikut kutipan tentang “Memilih Sahabat”, al-Hikam mengemukakan dengan makna dalamdan begitu indah:
Bersahabat dengan orang bodoh
yang tidak rela terhadap dirinya,
lebih baik bagimu
daripada bersahabat dengan seorang berilmu
yang rela terhadap dirinya.
Lantas, ilmu yang bagaimana yang membuat seseorang jadi rela terhadap dirinya,
dan kebodohan yang bagaimana yang membuat seseorang jadi tidak rela terhadap dirinya.
Di bagian lain, al-Hikam bicara tentang “Hawa Nafsu”:
Di antara tanda memperturutkan hawa nafsu
adalah bergegas di dalam amalan Sunnah
dan malas di dalam amalan wajib.
Juga bicara tentang “Hati yang Tertutup”:
Bagaimana hati dapat bersinar, sementara gambar-gambar duniawi tetap tertulis dalam cermin hati itu?
Atau, bagaimana hati dapat berangkat menuju Allah, karena masih terbelenggu oleh syahwatnya? Atau, bagaimana mungkin seseorang akan antusias
menghadap ke hadirat Allah, pabila hatinya belum suci dari “junub” kelalaiannya? Atau bagaimana mungkin seorang hamba bisa memahami kedalaman berbagai rahasia, sementara ia belumbertobat dari kesalahannya.
Banyak jalan cara Allah menguji hamba-Nya, bahkan dengan kemaksiatan. Itu agar sang hamba mau bertobat kepada-Nya. Dan lalu pribadi itu terhapus dosa-dosanya, diterima tobatnya. Begitu pula sebaliknya, Allah menguji hamba-Nya dengan ketaatan, namun menjadikan sang hamba lupa daratan, sombong. Itu menyebabkan amalan amalannya tertolak.
Sebagaimana mutiara al-Hikam di bawah ini:
Bisa jadi Allah membukakan bagimu pintu ketaatan dan tidak membukakan bagimu pintu penerimaan
Bisa jadi Dia memberikan padamu suatu dosa
dan menyebabkanmu sampai ke hadirat-Nya
Bisa jadi suatu kemaksiatan
yang melahirkan kehinaan dan ketergantungan
lebih baik dari suatu ketaatan
yang melahirkan kebanggaan dan kesombongan.
Cinta itu bukanlah selain kepada-Nya, selain-Nya itu cinta itu cuma budak yang menguasai diri.
Berikut mutiara al-Hikam mengungkapnya:
Tiada engkau mencintai sesuatu melainkan pasti menjadi
budak dari apa yang engkau cintai itu, dan Allah tidak suka bila engkau menjadi hamba (budak) semata selain daripada-Nya.
Tentu masih banyak mutiara-mutiara indah berserakan dalam kitab al-Hikam, dan mustahil dihadirkan seluruhnya.
Namun untuk menyudahi bahasan kitab al-Hikam, izinkan menutupnya dengan sebuah munajatnya, dari 34 munajat yang dihadirkan:
“Tuhanku, keluarkanlah aku dari kerendahan diriku (nafsuku), dan bersihkanlah aku dari keraguan dan syirik sebelum masuk ke lubang kuburku. Aku memohon pertolongan-Mu, maka tolonglah aku; kepada-Mu aku berserah, maka jangan serahi aku dengan sesuatu yang lain; kepada-Mu aku memohon, maka janganlah kecewakan aku; pada karunia-Mu aku berharap, maka jangan jauhkan aku; dan pada pintu-pintu Mu aku berdiri, maka jangan campakkan aku.”
Ibnu Atha’illah as-Sakandari meninggal di Kairo, 13 Jumadil Akhir 709 H., atau 10November 1309 M., dalam usia relatif muda, sekitar lima puluh tahunan. Meski demikian, ia meninggalkan warisan berupa karya-karya yang dikenang sepanjang zaman, terutama kitab al-Hikam, yang bagai kalung batu permata yang indah.**
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.
Advertisement