Al-Hallaj, Tragedi Kematian dan Ekspresi Mistiknya
Oleh: Ady Amar
Kata Manshur: akulah al-Haq
Kata Darwin: akulah monyet
Kata sahabatku sambil tertawa:
Tiap orang menurut pengakuannya.
(Akbarullah Abadi, penyair Urdu)
Ini kisah al-Hallaj. Kisah akan tragedi kematiannya yang tragis. Karenanya tulisan ini sedikit mengungkap, terutama dilihat dari sudut teologis dan politik.
Nama lengkapnya al-Husain Ibnu Manshur al-Hallaj. Lahir di desa Thour, Persia, pada tahun 244 H./858 M. Bersama orangtuanya ia pindah ke kota Wasith, mengikuti ayahnya yang bekerja di pemintalan benang.
Di kota Wasith inilah al-Hallaj mempelajari al-Qur’an dengan seksama, dan dalam usia 12 tahun ia telah hafal al-Qur’an di luar kepala (hafizh). Kecerdasannya luar biasa, bahkan kalbunya sangat tajam dan peka.
Sejak saat itu al-Hallaj banyak merenung dalam upaya menyelam ke dalam lubuk makna al-Qur’an.
Sahl bin Abdullah at-Tustari adalah guru pertamanya dalam bidang tasawuf. Itu hingga usianya 20 tahun. Sesudahnya ia meninggalkan kota Wasith menuju kota Basrah.
Di kota itu ditemuinya Amr al-Makki, berguru kepadanya. Setelah itu al-Hallaj menuju kota Baghdad, berguru kepada “bapak kaum Sufi” Junaid al-Baghdadi.
Di kota Baghdad itu pula al-Hallaj menjalin hubungan dengan pengikut Imam al-Qusyairi. Juga bertemu dengan sahabat karibnya, yang lalu berguru kepadanya, asy-Syibli (fam/marga as-Siblie yang kita kenal di Hadramaut Yaman, bahkan kita kenal di Indonesia, itu berawal dan dinisbatkan dari namanya).
Bagi al-Hallaj, tasawuf tak lain adalah semacam revolusi untuk memperbaiki ruhani manusia dalam beribadah. Juga semacam revolusi merombak ketidakadilan dan memperbaiki moralitas masyarakat.
Guna memperteguh ruhaninya al-Hallaj bermukim di Mekkah selama kira-kira setahun. Dua kali setidaknya ia melakukan hal yang sama. Di tanah suci itu banyak perenungan yang dilakukannya dan bertafakur pada Allah SWT.
Diperkirakan di tanah suci itulah ia memulai menuliskan sajak-sajaknya yang punya muatan dalam dan penuh pesona.
Sekembali dari tanah suci Mekkah, al-Hallaj disambut antusias para pengikutnya yang makin banyak. Itu menimbulkan kecurigaan pihak istana dan kalangan yang tidak suka dengan ajaran sufistiknya, yang lalu membisikkan fitnah kesesatan ajarannya.
Al-Hallaj tetap kokoh menyebarkan dakwahnya, dengan menyerang hidup foya-foya di kalangan pembesar, menghantam kebejatan dan ketidakadilan yang semakin merajalela.
Maka konsekuensi dari sikap dakwahnya menimbulkan ketidaknyamanan bagi mereka yang berkuasa dan kalangan yang menikmati privilege istana. Lalu tuduhan tidak mengenakkan harus ia terima.
Dua kali al-Hallaj diadili, tapi semua itu gugur. Tidak dapat membuktikan tuduhan-tuduhan yang dialamatkan padanya. Beberapa kali ia mendekam di penjara, hanya untuk membatasi ruang geraknya.
Al-Hallaj menerima tuduhan yang bersifat teologis, dimana ia dianggap telah mengklaim ketuhanan yang didasarkan pada kepercayaan bahwa ia telah memiliki “karamah”, yang bisa menghidup-matikan manusia.
Pada saat itu al-Hallaj menulis beberapa tulisan yang kemudian, setelah kematiannya yang tragis, murid-muridnya menghimpun tulisan-tulisannya itu yang diberi nama Kitab ath-Thawasin.
"Jika engkau meninggalkan dan pergi
ke daerah-daerah yang jauh darinya,
engkau tidak akan menemukan jalan,
dan tak seorang pun akan mendekatimu.
Wahai, Jiwa yang sakit!
Engkau tak akan menemukan seorang pun
yang menyelamatkanmu.
Kata Bijak dari Yang Paling Bijak
di dunia ini laksana pasir di hadapan Dia." ( Thasin 1: 16).
Beberapa muridnya pun akhirnya ditahan, dan ditemukan tulisan lainnya Sirr al-Ilah (Rahasia Tuhan), yang menurut Ibnu Dhiya’ memuat lebih banyak pelecehan agama, korporealisme dan bid’ah daripada yang dapat diutarakan lidah orang-orang beriman.
Barangkali karena inilah al-Hallaj dituduh karena “teori persaksian” yang mengatakan “manusia tuhan” (divinezed human) adalah saksi ketuhanan yang bersifat materi, yang berbicara dengan suara Tuhan (Dr. Mulyadhi Kartanegara, Sekapur Sirih: Eksekusi al-Hallaj, Persoalan Teologi Atau Konspirasi Politik?, dalam buku Ana al-Haqq).
Kasus al-Hallaj penuh dengan nuansa politik dan teologis, karena al-Hallaj sendiri dipandang berbahaya oleh para pembesar Syi’ah, disebabkan dalam beberapa hal ia bertentangan dengan kepentingan gerakan bawah tanah Syi’ah.
Tetapi untuk menimbulkan antipati masyarakat terhadapnya, maka ia dituduh sebagai agen Qarmathiyah, yang ajaran-ajarannya sangat bertentangan dengan ortodoksi mayoritas Sunni (ibid.).
Tragedi kematian al-Hallaj amat mengerikan. Ia diangkat ke tiang gantungan, dipaku kedua tangan dan kakinya, kemudian sesudah itu dicincang tubuhnya, dibakar dan debunya disebarkan ke seluruh penjuru angin.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu tak tahan melihatnya dan mencucurkan air mata. Itulah pembunuhan tragis yang sangat kejam di Baghdad, yang dikenal dengan sebutan “tragedi al-Hallaj” (Ma’sat al-Hallaj).
Al-Hallaj, Pengaruhnya dalam Sastra Timur dan Barat
Tulisan ini tidak sedikit pun dimaksudkan untuk membela al-Hallaj. Sama sekali tidak. Tapi peristiwa sejarah memilukan yang diterima al-Hallaj adalah realita sebagaimana adanya. Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat pengaruh al-Hallaj dalam Sastra Sufi.
Kisah perjalanan al-Hallaj hingga kematiannya yang dramatis dan mencekam, telah banyak menginspirasi sastrawan baik di Timur maupun Barat untuk menuliskan atau mengambil sebagai tema pada karya-karya mereka. Tidak saja dalam karya sastra klasik tapi juga modern.
Tulisan-tulisan berkenaan dengan al-Hallaj baru kira-kira seabad kemudian dipublikasi. Sebelumnya tidak ada yang berani menyimpan karya-karyanya. Bahkan seorang sahabat al-Hallaj bernama Ibnu ‘Atha’, telah mati dikeroyok orang-orang pro istana, yang dianggap sebagai pengikut dan pembela al-Hallaj.
Tercatat orang pertama yang menulis tentang al-Hallaj adalah Abu al-Wafa’ Ibnu Aqil pada tahun 465 H./1073 M. Abu al-Wafa’ dikenal sebagai seorang yang teguh pada agama dan zuhud.
Lalu penulis terkemuka berikutnya yang menggambarkan al-Hallaj sebagai orang yang sedang mabuk cinta dan dalam hingga ke tahap trance. Ia adalah al-Ghazali, dalam karyanya Misykat al-Anwar (Misykat Cahaya-cahaya).
Dalam karyanya itu al-Ghazali menyebut, “Ucapan-ucapan para kasmaran dalam keadaan mabuk cinta itu hendaknya dilipat saja dan jangan dikisahkan.”
Al-Ghazali tampak terang-terangan membela al-Hallaj dengan caranya yang elegan.
Berikutnya Abdul Qadir al-Jilani, adalah pribadi penting kedua setelah al-Ghazali yang membela al-Hallaj bahkan memujinya.
Dalam buku Nasyr al-Mahasin al-Ghaliyah (Penyebaran Sifat-sifat Baik yang Mahal), dimana al-Jilani menggambarkan perjalanan ruhani al-Hallaj dengan bahasa yang begitu kuat dan mempesona. Itu kekuatan yang sulit ditandingi. “Kemudian ia pun menyanyi dan berkata dengan lisan kepayang kalbunya, ‘Ana al-Haqq’.”
Dalam prosa Arab klasik, sebuah karya penting yang ditulis oleh Abu Said Ibnu Abi al-Khair, katanya:
Pada hari di mana ia berkata
Akulah Yang Haq
Di manakah gerangan ia?
Ia berada di dalam-Nya
Allah, Allah.
Setelah itu banyak lagi penyair terkemuka lainnya yang menulis tentang al-Hallaj dalam karya-karya di antaranya, Abu A’la al-Ma’arri, as-Suhrawardi (penyair ini pun menemui ajalnya seperti al-Hallaj), Abu al-Hasan Ali as-Sabti (penyair Maroko).
Menarik kita kutip sajak dari as-Sabti ini, yang seolah ia bicara layaknya al-Hallaj:
Katakan pada saudara-saudaraku
Mereka melihatku dibunuh dan mati
Lalu mereka menangisiku
Karena mereka melihatku begitu sedih
Kalian kira aku ini mayatmu?
Demi Allah, aku bukan mayat itu
Aku seekor burung, dan itu hanya sangkarku
Penjara dan bajuku suatu waktu
Janganlah sabetan maut menakutkanmu
Ia hanya perpindahan dari sini ke sana.
Masih banyak penulis lain yang menulis tentang al-Hallaj, di antaranya yang paling menonjol dan di banyak bukunya adalah Ibnu Arabi, dan masih banyak lainnya.
Dan pada sastra modern abad ke-20, kita dapati beberapa yang meneliti dan menulis esai tentang al-Hallaj, dan yang paling menonjol adalah Louis Massignon (Orientalis Prancis). Ia tekun mengumpulkan tulisan-tulisan al-Hallaj yang berserakan, lalu menerbitkannya dalam Recueil des Textes Inedits d’ al-Hallaj (Kumpulan Tulisan-tulisan yang Belum Diterbitkan dari al-Hallaj).
Dan di tahun 1932 penyair terkemuka Pakistan, Muhammad Iqbal, menulis kumpulan puisinya, berjudul Javid Namah (Kitab Keabadian). Mengandung dialog-dialog puitis, misal Tentang Mengapa al-Hallaj Dihukum Mati:Di dadaku ada gambar-gambar pengarakan
Itulah rakyat yang berbondong ke arah kubur
Mukminin menyerupai orang-orang kafir
Muslimin mengingkari dzat pribadi
Kata mereka: Ruh itu batil
Bercampur tanah dan fana zail.
Adapun dalam sastra Arab modern, penyair pertama yang meminati al-Hallaj bisa disebut di sini adalah Jamil Siddiq az-Zahawi, dimana di tahun 1934 ia menulis sebuah drama puitis berjudul Tsaurah fil Jahim (Revolusi di Neraka). Az-Zahawi terang-terangan meletakkan al-Hallaj sebagai teladan dan contoh hidupnya. Lalu 21 tahun kemudian Salah Abdil Sabour menulis drama puitis yang fenomenal berjudul “Tragedi al-Hallaj”.
Di tahun 1966 penyair Iraq ternama, Qis Laftah Murad, menulis sebuah kumpulan puisi berjudul Aghani al-Hallaj (Nyanyian al-Hallaj). Sang penyair berkata tentang al-Hallaj, “Yang menyentakkanku ke arah al-Hallaj bukanlah transendensinya, penderitaan dan akhir hayatnya... Banyak orang yang menderita seperti dia, banyak pula yang mengakhiri hidupnya dengan kegigihan dan penentangan. Yang membuatku jatuh cinta pada al-Hallaj tak lain adalah bahwa ia merupakan potret manusia yang begitu unik dari tabiat zaman, dan orang-orang yang hidup waktu itu...”
Kita kutip sebuah puisi yang disampaikan Murad, seperti ungkapan yang keluar dari mulut al-Hallaj:
Lukaku telaga harga diri
Yang pantainya tanpa batas
Lukaku yang kuletuskan
Tak pantas sedikit pun kuadukan
Kumuntahkan dari bumi, galaksi dan angkasa
Kalau lukaku sebuah kecapi
Penyanyi pun akan tampil menyanyi
Kalau lukaku hanya sedikit
Air mataku tak akan tumpah
Ladang kemurungan tak akan menakutkan
Anak-anak kecil dan para perempuan.
Ana al-Haqq (Akulah Kebenaran) akan terus menjadi perdebatan sengit di sepanjang pemikiran Islam, tetapi juga memberi inspirasi bagi kalangan Sufi. Kehidupan, ajaran dan kematiannya, memberi warna dalam periode penting sejarah kesusastraan Islam.**
-Penulis berhutang budi pada Dr. M. Fudoli Zaini dan Gilani Kamran, yang menjadikan tulisan ini menjadi berwarna.
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.