"Aku tak Bisa Bernapas," Lelaki Kulit Hitam AS Tewas Lagi
George Floyd, sebelum meninggal, menuturkan kata "Aku tidak bisa bernafas". Seperti itulah Elis, lelaki kulit hitam, tewas di Washington, Amerika Serikat. Kematian lelaki Afrika-Amerika berusha 33 tahun ini, mengundang kegeraman sejumlah pihak di negeri Paman Sam itu.
Dalam pemeriksa medis, seperti dilanrir sputniknews pada Jumat 5 Juni 2020, mengungkapkan bahwa Ellis, yang terbunuh di Tacoma, Washington, pada bulan Maret. Ia tewas karena kekurangan oksigen, dan tekanan fisik yang dialaminya.
Laporan itu pun mencantumkan, faktor penyebab kematian Ellis karena dirinya memiliki riwayat penyakit jantung, selain penyakit jantung laporan tersebut juga menyebut Ellis mengalami keracunan metamfetamin.
Para pemeriksa medis menyimpulkan, kematiannya adalah pembunuhan. Petugas Departemen Kepolisian Tacoma melihat Ellis berhenti pada 3 Maret di sebuah persimpangan.
Menurut Troyer, polisi melihatnya menggedor jendela kendaraan lain. Ellis kemudian mendekati petugas dan melemparkan salah satu dari mereka ke tanah. Empat petugas polisi lainnya kemudian memborgol Ellis.
Setelah Ellis mengatakan kepada petugas bahwa dia tidak bisa bernapas, dia berguling ke samping. Polisi kemudian meminta bantuan medis.
“Alasan utama mengapa dia ditahan adalah agar dia tidak melukai dirinya sendiri atau mereka. Begitu dia mengatakan dia tidak bisa bernapas, mereka meminta bantuan medis,"kata Troyer.
Lalu, ketika tenaga medis tiba di tempat kejadian, Ellis masih bernapas, tetapi dalam waktu 40 menit, dia dinyatakan meninggal.
Sementara, Gubernur Washington Jay Inslee dari Washington juga mengatakan, para pejabat negara bagian tersebut akan mendorong untuk detail penyelidikan atas insiden tersebut.
Aksi Massa Merembet ke Australia
Puluhan ribu para demonstran di Australia bersiap untuk beraksi pada akhir pekan ini. Aksi tersebut ditujukan untuk mendukung gerakan Black Lives Matter.
Dilansir dari Dailymail pada Jumat, demonstran telah diberi lampu hijau untuk melanjutkan acara pada hari Sabtu, waktu setempat. Meskipun diberikan izin, para demonstran diharapkan tetap melakukan pembatasan, karena saat ini COVID-19 masih terus mewabah.
Namun ternyata, aksi tersebut menimbulkan polemik karena dinilai tidak layak diselenggarakan di tengah wabah pandemi.
Salah satu warga bernama Giuseppe Franzoni (84) mengatakan bahwa ia menentang aksi tersebut mengingat pada bulan April negara tersebut mati-matian berjuang melawan virus Corona.
“Ini adalah rasa tidak hormat total terhadap 102 warga Australia yang telah meninggal secara tragis. Orang-orang tidak mengerti. Mereka memiliki hak untuk protes, tetapi sekarang bukan saatnya," katanya.
Para pemimpin di dua negara bagian yang paling terpukul di New South Wales (NSW) dan Victoria berselisih atas protes itu dengan Perdana Menteri Victoria Daniel Andrews.
Mereka mengatakan kepada para pemrotes untuk tinggal di rumah dan tidak menyelenggarakan aksinya.
"Menurut penilaianku, dan penilaian para ahli medis kita, tidak aman untuk mengadakan pertemuan sebesar itu," imbuhnya.
Menteri Kepolisian New South Wales, David Elliottjuga sangat mengecam para demonstran karena berkumpul selama pandemi.
“Siapa saja yang menghadiri pertemuan massal saat pandemi benar-benar gila. Mereka gila," katanya.