Aku & NU: Dari Darah hingga Pergumulan Kebangsaan
Oleh: Najib Azca
Banyak untaian tali temali dalam hidup yang menyambungkanku kepada Nahdlatul Ulama (NU). Tapi dua yang terpenting: darah dan pergumulan kebangsaan.
Awalnya adalah temali darah. Hubunganku dengan NU disambungkan oleh ibu kandungku, Hajjah Faridah binti Haji Zarcasy. Haji Zarcasy, atau kami biasa memanggilnya Mbah Ko, adalah seorang tokoh NU dan pengusaha yang lumayan kaya pada masanya. Pada masa hidupnya beliau membangun rumah cukup besar yang terletak persis di depan Masjid Jami Kauman—yang hingga kini masih berdiri megah dan ditempati oleh anak bungsunya keluarga Om Ali Sidqy.
Saat masih kecil aku sempat melihat foto Mbah Ko dan Mbah Nadhiroh, istri beliau, nenekku, bersama Bung Karno di sebuah acara NU, entah apa. Entah foto itu sekarang di mana. Menurut sebuah cerita yang kudengar dan belum bisa diverifikasi, Mbah Nadhiroh bahkan pernah menjadi anggota DPRD di Pekalongan mewakili Muslimat NU.
Ihwal Haji Zarcasy, ada informasi dari sejarawan Pekalongan Mas Arief Dirhamzah, bahwa bisa jadi beliau dulu pendiri dan pemilik majalah Pelita Dagang yang didirikan pada 1924. Majalah itu kemudian berganti menjadi surat kabar “Soeara Hindia” yang dipimpin oleh Parada Harahap dengan redaksi di Pekalongan MD. Semail dan Reksosoemitro Jr
(Sumber data buku berjudul “Ikan Layang Terbang Menjulang: Perkembangan Pelabuhan Pekalongan menjadi Pelabuhan Perikanan pada 1900-1990” karya Sutedjo Kuwat Widodo terbitan Universitas Diponegoro 2005).
Barangkali demi melanjutkan pendidikan dan karakter ke-NU-an itulah maka ibuku disekolahkan oleh Mbah Ko ke Madrasah Mambaul Ulum Surakarta, sebuah lembaga pendidikan Islam terkemuka yang didirikan oleh Raja Paku Buwono (PB) X pada 23 Juli 1905 di Ibukota Kerajaan Surakarta. (Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/93310/mambaul-ulum-surakarta-madrasah-pencetak-tokoh-bangsa). Sayangnya, Ibu tidak menyelesaikan sekolahnya hingga selesai.
Namun pengalaman bersekolah di sana membuat ibuku berteman baik dengan sejumlah tokoh Muslimat NU, seperti Ibu Hj. Umroh Mahfudhoh, istri Prof. KH. Tolchah Mansoer, ibunda Mas Fajrul Falaakh (almarhum), Mbak Safira Rosa Machrusah , dan Mas Romahurmuzy. Belakangan saya juga tahu bahwa ibunda Gus Ipul (Syaifullah Yusuf) dan Cak Imin (Muhaimin Iskandar) juga teman Ibu semasa bersekolah di sana.
Hingga akhir usianya Bue—demikian kami lazim memanggil beliau—adalah seorang aktivis Muslimat NU yang bersemangat dan rajin bersilaturahmi. Beliau misalnya ikut membangun dan mendirikan sebuah TK Muslimat yang berasal dari wakaf di dekat rumah kami. Setiap kali beliau berkunjung ke Jogja hampir selalu mampir ke rumah Bu Nyai Umroh—beberapa kali aku diajak mengantarkan beliau, termasuk ketika takziyah Prof. Tolchah wafat. Perjumpaan beliau dengan Ibunda Gus Ipul juga terjadi dalam acara Muslimat di Wisma Haji Pondok Gede pada suatu ketika pada awal 1990an.
Temali darah yang kedua berasal dari bapakku, Haji Ali bin Haji Amien. Seorang pedagang batik dan aktivis koperasi PPIP (Persatuan Pembatikan Indonesia Pekalongan), setahuku beliau sempat menjadi bendahara NU Kodya Pekalongan selain rajin mengikuti forum Bahtsul Masail yang dilakukan di Masjid Jami Kauman. Ketika sudah sepuh, beliau menjadi salah satu imam di Masjid Jami Kauman.
Ketika suatu hari NU Kodya Pekalongan mengundang Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU untuk mengisi acara ceramah umum di Masjid Jami Kauman, beliau diinapkan di rumah kami, tepatnya menempati kamarku. Kebetulan rumah kami memang terletak tidak jauh dari Masjid Kauman sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik becak jika perlu. Aku masih mengingat peristiwa itu karena Gus Dur ketinggalan dua barangnya: sebuah sarung goyor Tjap Ketjubung serta buku berbahasa Inggris karya W. Motgomerry Watt berjudul “Muhammad, Prophet and Statesman.”
Aku tidak banyak tahu tentang Mbah Haji Amien, ayah bapakku, karena beliau sudah wafat sebelum aku sempat mengenal beliau—entah tahun berapa. Apalagi tentang Mbah Amir, ayahnya simbahku, yang konon sosok yang lumayan ‘istimewa’ di Pekalongan.
Aku baru mendengar sedikit cerita keistimewaan beliau ketika seorang saudaraku sowan kepada Habib Luthfi bin Yahya, seorang ulama dan tokoh sufi yang dihormati di Pekalongan. Ketika meminta doa restu untuk sebuah kedudukan tinggi yang hendak dicapainya, dia disarankan untuk berziarah, berdoa dan mengirimkan bacaan Surat Yasin dan Tahlil untuk Mbah Amir di pemakaman Sapuro. “Beliau orang yang istimewa,” demikian ujar Bib Lutfi. Entah, apa persisnya 'keistimewaan' beliau...
Meski memiliki temali darah yang kuat dengan NU, namun sayangnya aku tidak memiliki hubungan ‘struktural’ yang lekat dengan NU. Barangkali itu dipengaruhi oleh bapakku yang konon sempat menjadi anggota Gerakan Pemuda Islam (GPI), seorang organ pemuda di bawah Masyumi. Mungkin karena itu pula kemudian anak-anaknya dikirim bersekolah ke perguruan yang berafiliasi kepada Yayasan Ma’had Islam Pekalongan—bukan di madrasah yang dikelola oleh Jamiyah NU.
Yayasan Ma’had Islam merupakan sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh sejumlah tokoh Islam progresif di Pekalongan, sebagian besar dari kalangan Sayyid dan Habaib yang didukung oleh para pedagang Muslim Pekalongan. Perguruan Ma'had Islam didirikan pada 8 November 1942 oleh Ustadz Abdullah bin Hamid Al-Hinduan bersama sejumlah sahabatnya. Ia melakukan pembaharuan dalam dunia pendidikan Islam dengan memadukan pelajaran agama dan pelajaran umum seusai studi lanjut di Mesir.
Begitulah: aku menempuh pendidikan dasar di SD Islam Kauman dan pendidikan menengah di SMP Ma’had Islam Pekalongan sebelum berlanjut di SMA Negeri 1 Pekalongan. Pada masa-masa itu aku juga menjadi aktivis di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), sebuah organisasi pelajar yang berada dalam ‘naungan’ ideologis Masyumi.
Meski begitu, aku tidak pernah benar-benar meninggalkan ‘garis pemikiran’ NU ala Gus Durian. Walaupun sempat jadi Ketua Umum PII Kodya Pekalongan yang menolak kebijakan pemerintah “Asas Tunggal Pancasila”, dalam sebuah acara pada 1985-86 aku pernah seorang diri menolak pendapat bahwa “Pancasila bertentangan dengan Islam.” Bagiku, problemnya bukan pada Pancasila sebagai ideologi negara melainkan pada pemaksaan dan penunggalan ‘asas berorganisasi’ alias praktek otoritarianismenya!
**
Temali berikutnya, mungkin jauh lebih penting, yang menyambungkanku kepada NU terjadi pada saat pergumulan gagasan dan pemikiran kebangsaan. Hal itu terutama terjadi pada masa awal kuliah di Fisipol UGM dan selanjutnya ketika menjadi jurnalis di tabloid DeTIK di Jakarta.
Karena merasa sudah ‘khatam’ menjadi aktivis ‘Islamis’ (PII) sejak SMP hingga SMA dan mengikut jenjang pengkaderan dari tingkat basic hingga advance, aku terfikir untuk memulai petualangan baru: menjadi aktivis gerakan ‘nasionalis’ pada saat kuliah. Dalam fikiranku waktu itu terbayang pentingnya terjadi konvergensi pemikiran keislaman dan kebangsaan seperti yang acap diungkapkan pemikir Islam progresif seperti Nurcholish Madjid dan Kuntowidjojo.
Namun, alih-alih kesengsem kepada para aktivis ‘pejuang pemikir dan pemikir pejuang’ GMNI pada waktu itu aku justru kepincut kepada sosok santri gondrong ndeso namun cerdas yang kutemui pada masa awal kuliah: Yahya Cholil Staquf.
Belakangan kuketahui kakak kelasku di departemen Sosiologi itu putera sulung tokoh terkemuka NU KH. Cholil Bisri dan keponakan Kyai Budayawan Gus Mus alias KH. Mustofa Bisri. Sambil berkuliah di Sosiologi UGM, dia juga nyantri di Pondok Pesantren Krapyak, Bantul—yang dijalaninya sejak bersekolah di SMAN 1 Yogyakarta.
Yang menarik, Gus Staquf—demikian kami biasa memanggilnya di kampus—tidak membawa bendera NU untuk beraktivitas di kampus. Pada masa awal aku berkuliah, dia adalah semacam 'Rais Am' Mushola Fisipol UGM, sebuah lembaga dakwah keagamaan yang bercorak inklusif dan progresif. Bukan hanya memperbincangkan isu-isu keagamaan, di Mushola Fisipol UGM kami leluasa mendiskusikan aneka isu zaman dan peradaban; dari Neo-Marxisme hingga Revolusi Kapitalisme, dari pemikiran Mazhab Frankfurt hingga Piramida Pengorbanan ala Peter Berger. Maka teman-teman aktivis sosialis dan nasionalis pun nyaman terlibat dalam berbagai acara Mushola Fisipol UGM.
Konon, sebelum menjadi Rais Am Mushola Fisipol UGM Gus Staquf adalah Ketua HMI Komisariat Fisipol UGM yang memutuskan ‘membekukan diri’ pada saat terjadi perpecahan antara faksi HMI-MPO versus HMI-Dipo. HMI-MPO menolak “Asas Tunggal Pancasila” sedang faksi HMI-Dipo menerimanya sebagai bagian dari strategi dan kompromi politik terhadap rezim Suharto.
Begitulah, pergumulanku di kampus Fisipol UGM akhirnya kembali mendekatkan diriku dengan akar ke-NU-anku; kepada Islam yang inklusif dan progresif. Selain Staquf, ada juga Muhaimin Iskandar, sosok ‘darah biru’ lain di lingkungan NU yang belakangan menjadi perintis kebangkitan kembali PMII di kampus UGM. Cak Imin berkuliah di Jurusan Sosiatri angkatan 86, sedangkan Staquf di Sosiologi 84.
Di kampus aku lebih banyak berjamaah dengan Gus Staquf, kadang nunut menginap di Pondok Krapyak bersama sejumlah teman. Dalam sejumlah acara di Yogya, Gus Dur menyebut generasi NU masa depan adalah sosok-sosok seperti Staquf dkk itu; mereka yang berakar kuat pada tradisi pesantren namun juga akrab dengan khazanah ilmu dan pemikiran modern.
Selain terlibat di Mushola Fisipol UGM, aku juga terlibat di aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) SINTESA dan Senat Mahasiswa (Sema) Fisipol UGM. Di SINTESA aku sempat menjadi Pemimpin Redaksi, sedangkan di Sema Fisipol UGM aku didapuk menjadi Bendahara.
Nah, pada saat menjadi aktivis Sema Fisipol UGM inilah aku kemudian bertemu dan berteman dekat dengan sosok penting NU lainnya yaitu Gus Ipul alias Syaifullah Yusuf—yang saat itu menjadi Ketua Umum Sema Fisip Universitas Nasional (Unas) Jakarta dan sekaligus Ketua Umum Ikatan Senat Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Indonesia (ISMAISPI).
Pergumulanku dengan Gus Ipul belakangan membawaku terdampar ke Jakarta: menjadi jurnalis di tabloid DeTIK yang dikomandani oleh budayawan Erros Djarot. Mulai dipersiapkan terbit sejak awal 1992, DeTIK memang bukan media massa biasa; ia merekrut para aktivis kampus dan aktivis pers kampus untuk bekerja di tabloid politik yang ‘berani tampil beda’ di bawah rezim otoriter saat itu.
Ketika sebagian besar media massa tiarap menghadapi ancaman pembredelan pers oleh pemerintah, DeTIK tampak mencorong dengan keberaniannya menulis dan menyingkap isu-isu politik yang sensitif seperti korupsi, suksesi dan fragmentasi elit politik. Menjelang dibredel oleh Menteri Penerangan Harmoko pada 21 Juni 1994 bersama Tempo & Editor, tiras DeTIK sempat mencapai hampir 500 ribu eksemplar setiap minggunya. Angka yang tinggi pada masa itu!
Kembali ke ihwal ke-NU-an. Di DeTIK, selain menjadi jurnalis Gus Ipul juga menjadi semacam ‘asisten pribadi’ Pemred Erros Djarot. Ia nyaris selalu mendampingi Mas Eros untuk berbagai acara dan pertemuan penting. Meski kemampuan menulisnya tidak menonjol, tapi kecakapan dan keahlian untuk melobi dan menembus sumber dari Gus Ipul tergolong ‘luar biasa’.
Di balik Gus Ipul ada sosok Gus Dur, sang paman dan saudara sesusuan ibunya yang Ketua Umum PBNU dan menampung hidupnya selama tinggal di Jakarta. Begitulah Gus Dur seperti menjadi ‘penasehat utama’ DeTIK. Beliau hampir selalu menjadi narasumber utama DeTIK, baik melalui wawancara maupun mengirimkan tulisan. Kami juga punya hubungan baik dan dekat dengan Gus Iim alias Hasyim Wahid, adik bungsu Gus Dur, sosok unik yang memiliki minat kuat di bidang intelijen dan spiritualisme.
Belakangan, pada 1993-1994, Cak Imin juga bergabung ke DeTIK dengan berperan sebagai Ketua Bagian Riset dan Dokumentasi. Dia bersama tim riset dan dokumentasi selalu mensupport kami dengan berbagai bahan bacaan dan kajian setelah kami melakukan rapat redaksi di awal pekan. Juga menjelang deadline penulisan di akhir pekan.
Di DeTIK juga ada sosok NU ‘kultural’ lainnya yaitu: Emha Ainun Nadjib, santri dan kyai mbeling asal Jombang yang mengisi kolom tetap berjudul ‘Opini Plesetan’ pada setiap edisi. Melalui gaya tulisannya yang unik, renyah dan ‘nyleneh’, Cak Nun membuat catatan reflektif tentang politik Indonesia secara kritis namun plastis-metaforis sehingga relatif aman dari cengkeraman rezim otoriter.
Melalui berbagai persentuhan dalam pergumulan kebangsaan itulah hubunganku dengan NU, baik secara intelektual, kultural dan spiritual, terus terbangun hingga kini. Khususnya ihwal bagaimana mewacanakan keislaman dalam bingkai kebangsaan; bagaimana membangun narasi kebangsaan dalam ruh keislaman.
Selamat #Harlah95NU
Selamat terus berkhidmah NU: menyebarkan Aswaja dan meneguhkan komitmen kebangsaan! (Sleman, 31 Januari 2021, Salam Takzim),
* Najib Azca, Guru Kecil di Kampus UGM