Aktivis Sebut Minyak Goreng Langka Pelanggaran HAM, Kok Bisa?
Presiden Joko Widodo didesak melakukan evaluasi menyeluruh pada industri sawit dari hulu hingga hilir secara transparan. Seruan itu berasal dari organisasi sipil mengikuti masalah langka dan mahalnya minyak goreng yang berkepanjangan. Mereka juga menyebut ada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada praktik penimbunan dan kartel minyak goreng.
Evaluasi Industri Sawit
Deputi Direktur Sawit Watch Achmad Surambo menyebut, evaluasi menyeluruh atas industri sawit bermanfaat untuk mengetahui apakah kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng terjadi akibat ketidakefisienan atau akibat mekanisme tidak wajar dalam rantai produksi dan perdagangan crude palm oil/minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak goreng.
Seruan Sawit Watch dibuat bersama-sama dengan sejumlah organisasi lain, di antaranya ELSAM, HuMA, PILNET, dan Greenpeace Indonesia.
Dikuasai 4 Perusahaan Besar
Dalam seruan tersebut, mereka juga mengemukakan sejumlah masalah yang muncul di rantai industri sawit dari hulu ke hilir. Di antaranya adalah, berdasarkan data Concentration Ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019, sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai empat perusahaan besar pemilik pengolahan CPO, dan sejumlah produk turunan, salah satunya minyak goreng.
Industri Biodesel
Selain dampak buruk dari kepemilikan empat perusahaan besar, aktivis juga menyebut keberpihakan pemerintah pada industri biodiesel menyebabkan industri pangan dalam hal minyak kelapa sawit, dikesampingkan. Hal ini membuat tren konsumsi minyak kelapa sawit bergeser ke industri biodiesel.
"Pengusaha kini lebih cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaannya tidak bakal merugi," kata Rambo, dikutip dari kompas.com, Minggu 27 Maret 2022.
Pasalnya ada kucuran subsidi yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional. "Sebaliknya, jika CPO dijual ke pabrik minyak goreng, pengusaha tak mendapatkan insentif seperti itu," jelasnya.
Ia memaparkan data, konsumsi minyak kelapa sawit untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton tahun 2019 menjadi 7,23 juta ton tahun 2020. Di sisi lain, di waktu yang sama, konsumsi minyak kelapa sawit untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton pada 2019 jadi 8,42 juta ton di 2020.
Perkebunan Sawit Picu Konflik Lahan
Sementara itu, Deputi Direktur HuMA Erwin Dwi Kristianto mengungkit bahwa konflik perkebunan, terutama kebun sawit, masih jadi penyebab konflik lahan paling tinggi. HuMA mencatat, sedikitnya terjadi 161 konflik, dengan jumlah area terdampak seluas 645.484 hektar, serta melibatkan korban masyarakat terdampak sejumlah 49.858 jiwa.
Selaras dengan itu, data Konsorsium Pembaruan Agraria menemukan ada 74 konflik agraria akibat perkebunan sepanjang 2021, dengan total luasan mencapai 276.162.052 hektar. Dari jumlah itu, 80 persen konflik terjadi di sektor perkebunan sawit.
Perkebunan Sawit Ilegal Menjamur
Masalah lain, berdasarkan analisis Greenpeace Indonesia dan The Tree Map menemukan seluas 3,12 juta hektar (ha) perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan hingga akhir tahun 2019. "Potensi hilangnya penerimaan negara dari pajak kebun sawit tersebut tentunya tak sebanding dengan dampak sosial dan lingkungan yang dialami oleh masyarakat sekitar," kata juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra.
Ia melanjutkan, jika masyarakat adat dan warga yang tinggal di sekitar hutan kehilangan sumber pendapatan, menjadi korban bencana asap akibat kebakaran lahan, serta berisiko menghadapi amukan satwa liar akibat meningkatnya konflik manusia dan satwa liar.
Minyak Goreng Langka Langgar HAM
Sejumlah aktivis dari organisasi sipil itu kemudian sepakat bahwa negara harus mengambil langkah untuk mengontrol harga pasar dan menjamin ketersediaan minyak goreng.
Mengingat pentingnya minyak goreng untuk menunjang kebutuhan harian, kelangkaan dan melambungnya harga minyak goreng dinilai telah menyengsarakan dan berdampak pada hak-hak masyarakat. "Di antaranya hak ekonomi, hak atas kesejahteraan, hak atas kesehatan dan hak atas rasa aman," jelas Judianto Simanjuntak mewakili PIlnet.
"Dalam konteks itu, segala bentuk praktik penimbunan dan kartel adalah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kelangkaan minyak goreng dan lonjakan harga menunjukkan kegagalan pemerintah Indonesia menjalankan politik pangan yang demokratis, berdasarkan keadilan sosial, dan kepedulian terhadap ekologi," pungkasnya.