Aktivis Sebut Malaysia juga Gunakan Consent di Kasus Perkosaan
Menandai kampanye 16 Hari Perempuan tanpa Kekerasan per Kamis 25 November 2021, Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual mengingatkan pentingnya Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUUTPKS). Mereka juga menyebut sejumlah negara muslim menggunakan consent dalam undang-undang mereka.
Zinah dan Consent
Dalam webinar bertajuk 'Proses Legislasi RUU TPKS Dalam Ancaman' Ratna Batara Munti menekankan jika RUUTPKS khas mengatur tentang tindak kekerasan seksual. Maka argumen yang menginginkan agar consent atau kata persetujuan dikeluarkan dari RUU justru akan bertolak belakang dari tujuan undang-undang dibuat.
Menurutnya kata consent bukan berarti melegalkan zina, sebab ada undang-undang dan norma berbeda yang sudah mengatur tentang perbuatan zina itu. "Kalau sudah ada consent atau persetujuan, ya berarti bukan kekerasan seksual. Intinya kan di situ," kata Ratna yang juga bagian dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual.
Selan itu, advokat yang tergabung dalam LBH APIK itu melanjutkan, hasil kajian dari 17 negara lain, termasuk di dalamnya negara Muslim justru menggunakan kata consent atau mengeluarkan pasal zina.
Menurutnya Malaysia menggunakan kata consent dalam undang-undang serupa. Sedangkan Sudan mengeluarkan pasal zina dari undang-undang serupa sebab justru merugikan perempuan korban kekerasan seksual.
"Di Malaysia itu bisa dicek, kata consent itu ada di penal code mereka. Sudan itu mengeluarkan redaksi zina dari aturan perkosaan di tahun 2015," kata Ratna, Rabu 24 November 2021.
Tuntutan RUUTPKS
Dalam webinar yang sama, mereka menyampaikan empat tuntutan terkait RUUTPKS yang sampai saat ini masih dibahas di Panitia Kerja (Panja) RUU PKS Badan Legislasi DPR RI.
Jaringan menuntut agar Panja tetap mempertahankan judul RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sebab ada kecenderungan mengganti nama undang-undang mengikuti pemaksaan sejumlah pihak untuk memasukkan pasal tentang perzinaan.
"Kalau mau bikin undang-undang yang mengatur perzinaan, silakan. Jangan numpang di RUU ini, RUU TPKS memang khusus untuk tindak kekerasan seksual," kata Bivitri Susanti, Pakar Hukum Tata Negara di forum yang sama.
Tuntutan berikutnya adalah agar DPR mengamankan RUU TPKS agar tetap pada tujuan dan maksud semula. Fokus pada isu kekerasan seksual, dan bukan isu lain di luar konteks kekerasan seksual, seperti isu seks bebas atau isu asusila.
Selanjutnya jaringan menuntut agar ada upaya menghindari potensi kriminalisasi terhadap korban dengan menutup upaya- upaya pihak tertentu yang berambisi mencampuradukkan isu zina dan sejenisnya dengan kekerasan seksual.
Terakhir, tidak hanya fokus pada pencegahan tetapi juga menguatkan substansi RUU TPKS di semua aspeknya, khususnya pemidanaan, penanganan, dan layanan terpadu untuk pemulihan korban, sehingga RUU TPKS bisa berjalan sesuai dengan harapan dan tujuan penyusunan. "Ini sebab ada upaya RUUTPKS hanya fokus pada pencegahan saja, tidak menyentuh penindakan dan rehabilitasi," lanjut Vivi Widyawati, dari Perempuan Mahardika.
16 Hari Perempuan Tanpa Kekerasan
Webinar itu diselenggarakan untuk memperingati 16 Hari Perempuan Tanpa Kekerasan. Hari ini diperingati secara internasional setiap 25 November hingga 10 Desember 2021.
Di Indonesia, Komnas Perempuan mulai menggunakan hari internasional ini sebagai salah satu agenda pergerakan sejak 2003 silam. Sedangkan di tingkat internasional, agenda ini dimulai oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.
Selama 16 Hari Perempuan Tanpa Kekerasan, akan diperingati pula sejumlah agenda kampanye internasional.
Di antaranya Hari AIDS Sedunia per 1 Desember, Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan per 2 Desember, Hari Internasional bagi Penyandang Cacat per 3 Desember 2021, Hari Internasional bagi Sukarelawan pada 5 Desember, Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan pada 6 Desember, dan Hari HAM Internasional pada 10 Desember.
Advertisement