Aktivis Kritik Rencana TNI/Polri Isi Jabatan Sipil
Pemerintah berencana mengizinkan kembali anggota TNI/Polri untuk mengisi jabatan sipil. Sejumlah aktivis melempar kritik atas wacana yang juga dikenal sebagai Dwi Fungsi ABRI di masa Orde Baru.
TNI/Polri Isi Jabatan Sipil
Pemerintah kini sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah terkait manajemen aparatur sipil negara (ASN). Aturan yang rencananya memiliki 22 bab dan terdiri dari 305 pasal itu, juga akan membahas tentang jabatan ASN yang bisa diisi oleh prajurit TNI dan Polri, serta sebaliknya, menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB)Abdullah Azwar Anas.
Hal lain yang akan dibahas di PP yang menjadi revisi UU ASN ini, termasuk pengembangan kompetensi, perencanaan kebutuhan, pengadaan ASN, digitalisasi, hingga hak dan kewajiban ASN, dikutip dari Tempo.
Kritik Aktivis
Direktur Imparsial Gufron Mabruri menyebut PP itu akan mengancam demokrasi, sebab melegalisasi kembalinya praktik Dwifungsi ABRI, seperti pada masa Orde Baru.
Sedangkan, Setara Institute dalam keterangan tertulisnya, menyebut perlakukan kembali Dwi Fungsi ABRI di era Jokowi , sebagai pengkhianatan nyata atas amanat Reformasi 1998 yang menghapus Dwi Fungsi ABRI (kini TNI/Polri) dan mengamanatkan profesionalisme TNI di bidang pertahanan/keamanan.
Sehingga Setara menyampaikan sejumlah catatan terkait PP tersebut. Antara lain:
1. Penyusunan RPP ASN semestinya mengokohkan komitmen Reformasi TNI/Polri, sehingga tetap meletakkan dua alat negara ini sebagai instrumen negara yang kuat dan profesional pada bidang pertahanan dan bidang keamanan negara, dan tidak didorong untuk mengokupasi jabatan-jabatan pemerintahan yang secara substantif dan selama ini menjadi tugas dan fungsi ASN.
2. Peraturan ini sebenarnya dapat menguatkan pembatasan jabatan sipil bagi TNI/Polri sesuai UU TNI dan UU Polri. Berbagai Jabatan ASN yang dapat diduduki prajurit TNI dalam PP ASN semestinya tetap mengacu kepada ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU TNI yang telah merinci jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit TNI tanpa melalui mekanisme pensiun dini, sebagaimana juga disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN. Begitupun merujuk pada UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri Pasal 28 ayat (3), sebagaimana penjelasannya bahwa jabatan-jabatan tersebut perlu dipastikan memiliki sangkut paut dengan kepolisian dan ada penugasan resmi dari Kapolri. Sementara terhadap jabatan-jabatan ASN di luar ketentuan UU TNI dan UU Polri itu, PP ASN ini perlu menegaskan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan, sebagaimana Pasal 47 ayat (1) UU TNI, serta merujuk kepada Pasal 28 ayat (3) UU Polri yang menegaskan bahwa Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
3. UU ASN mengatur bahwa jabatan ASN terdiri dari Jabatan Manajerial dan Non-Manajerial. Pengaturan PP ini semestinya memberikan gambaran yang jelas perihal kriteria dan/atau jabatan-jabatan apa saja yang dapat diduduki prajurit TNI/Polri untuk jabatan ASN. Kriteria dan syarat yang ketat perlu dilakukan agar RPP ini tidak menjadi pintu masuk yang seluas-luasnya bagi penempatan TNI/Polri pada jabatan sipil yang dapat memicu massifnya kembali praktik Dwifungsi ABRI dan merusak tatanan demokratis negara ini.
4. Mengingat dalam UU ASN memiliki konsep resiprokal, di mana ASN juga dapat mengisi jabatan-jabatan tertentu di lingkungan TNI/Polri, maka perlu diperhatikan agar pengaturan dalam rancangan PP ini tidak menambah persoalan mengenai karir-karir ASN dan prajurit TNI/Polri ke depannya. Penempatan sesuai kebutuhan Kementerian/Lembaga harus menjadi prinsip yang diutamakan, sehingga penempatan dapat tepat sasaran. RPO Manajemen ASN harus dipastikan menjadi instrumen untuk mewujudkan birokrasi berdampak, seperti jargon Kemenpan/RB, bukan untuk menjadi sarana perluasan penempatan TNI/Polri pada jabatan-jabatan ASN.